Anak Rawan Terlantar dalam Arus Budaya Keluarga Modern

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
2 Maret 2021 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://seasonsmedical.com/childrens-health/child-neglect/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://seasonsmedical.com/childrens-health/child-neglect/
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Modernisasi telah mengubah habitus masyarakat. Sebagian besar perubahan tersebut terjadi pada sektor-sektor seperti: gaya hidup, proses interaksi , perilaku konsumsi, tren pasar, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya, perubahan modernisasi mengubah pola asuh (parenting) yang dilakukan oleh orang tua. Seperti contoh : orang tua yang keduanya bekerja biasanya menitipkan anaknya ke babysitter/ART untuk diurus, penggunaan gadget untuk menenangkan anak yang rewel, pembuatan akun media sosial sebagai branding anak, dan banyak hal lainnya.
Karena hal ini, anak berpotensi menjadi anak rawan. Anak rawan adalah anak yang hak-haknya terlantar bahkan dirampas untuk kepentingan oknum lain (Suyanto, 2013). Globalisasi arus teknologi informasi dan perubahan gaya hidup serta cara berpikir orang tua yang sibuk menjadikan anak berpotensi mengalami penelantaran (neglecting), ditambah pola asuh babysitter yang tidak manusiawi terhadap anak apabila kedua orang tua menitipkannya. Sebagai contoh penyiksaan dan tindak kekerasan anak yang dilakukan oleh ART di Jakarta Barat awal 2020.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari kumparan, ART tersebut menyiksa anak dengan mengikat kedua tangan menggunakan tali tambang, kemudian menutup wajah korban dengan kertas wallpaper sehingga korban tidak dapat bernapas. Penelantaran anak akan membuat anak menjadi rentan tersingkirkan (displacement) dan menjadi korban situasi. Contoh lainnya bahwa beban kerja yang hectic dan intens pada orang tua dapat meningkatkan stress dan suasana dirumah menjadi tidak nyaman. Anak seringkali menjadi korban pelampiasan dari orang tua. Hal tersebut terjadi karena faktor mental serta ketiadaan waktu untuk membangun relasi dengan anak.
Kesimpulan dari kasus-kasus di atas dapat dirumuskan bahwa penelantaran anak memiliki faktor-faktor antara lain (Aysysfa, 2017; Bagong, 2013):
ADVERTISEMENT
Kemudian, arus modernisasi yang ditandai dengan relasi yang "tidak saling mengenal" (unknown relationship), banyak dijumpai di perkotaan, khususnya di kota-kota metro bahkan megapolitan. Banyak dari orang tua yang menggantungkan tumbuh kembang anak kepada institusi yang sebenarnya tidak memberikan dampak signifikan. Padahal, keluarga merupakan pendidikan dan relasi primer. Hal tersebut diperkuat dengan teori tahapan sosialisasi karya George H. Mead (1863-1931) bahwa nilai dan norma masyarakat tersosialisasi pertama kali dalam keluarga sebagai tahap persiapan atau tahap meniru (preparatory stage) dan tahap bermain (play stage). Apabila pada tahapan ini tidak berhasil, maka yang terjadi adalah anak akan secara keliru mengenal dan bertindak dalam keluarga serta masyarakat di mana ia tinggal. Tidak hanya itu, anak akan terpinggirkan dan berpotensi berada pada area subkultur perilaku menyimpang.
ADVERTISEMENT
Ciri-ciri umum bahwa anak telah merasa ditelantarkan antara lain, sikap yang tiba-tiba berubah dan tidak stabil, mempunyai masalah makan dan pertumbuhan, sangat pasif sehingga sulit diajak aktif, sulit untuk berteman, sangat mudah bergaul dengan orang asing, sulit berimajinasi, serta inferior complex (rendah diri).
Sumber : https://www.wakecounseling.com/therapy-blog/child-emotional-neglect
Banyak pula anggapan yang menyatakan disaat anak-anak sudah memasuki usia sekolah dan remaja, peran orang tua dirasa tidak terlalu berpengaruh terhadap anak. Padahal, berdasarkan studi yang dilakukan oleh ETR Associates dan BRIGDE PROJECT, Parent-child connectedness (PCC) meningkatkan kualitas ikatan emosional antara orang tua dan anak, dengan derajat di mana ikatan tersebut saling menguntungkan dan terpelihara sepanjang waktu. Whiteman Brook misalnya mendeskripsikan empat dimensi mengapa hubungan antara orang tua dan anak harus berjalan baik :
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu menjadi tantangan yang harus dijawab oleh berbagai pranata yang mengelilingi anak. Dimulai dari pranata keluarga, sekolah, teman sepermainan, lingkungan sekitar, hingga anak mampu mandiri dan mengikuti nilai dan norma yang ada (social order). Kepekaan dan kemauan untuk membangun relasi sangat dibutuhkan.
Segala permasalahan yang dialami pada era modernisasi tidak menjadikan halangan orang tua tidak menelantarkan anak-anaknya sehingga hak-hak anak tidak terpenuhi.