news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Disimilaritas Dualisme Hukum

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dualisme hukum adalah munculnya dua hukum yang masing-masing mempunyai klaim kebenarannya sendiri. Hukum-hukum tersebut adalah hukum adat (legal culture) dan hukum negara (legal state). Kemudian, Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki beragam suku dan budaya sehingga terjadi konflik budaya.
ADVERTISEMENT
Konflik budaya adalah hasil dari polarisasi pengalaman sosial, di mana masing-masing kebudayaan memiliki nilai, norma, standar hidup, dan pola pemikiran tertentu yang kemudian memunculkan kebingungan bagi mereka yang tidak menjadi anggota dari kelompok tersebut.
Pembahasan selanjutnya mengenai proses-proses bagaimana kemunculan hukum negara di atas hukum-hukum adat yang berlaku. Bagi negara yang modern atau sedang berada masa transisi menuju modern, di mana masyarakat sangat heterogen, diperlukan adanya suatu hukum yang dapat mengakomondasi dan menengahi kepentingan-kepentingan dari masyarakat yang heterogen itu.
Perumusan hukum adat dilakukan dengan proses-proses informal dan seputar kehidupan para anggotanya saja. Tetapi hukum negara dibentuk dan dirumuskan oleh badan khusus (legislatif) secara rasional dan positivistik.
Kedua hal tersebut menjadi masalah apabila alat untuk menangani problem sosial di masyarakat tidak tepat. Seperti contoh : pelaku gendam, santet, dan perang suku (konflik suku) akan lebih efektif apabila penyelesaiannya menggunakan hukum adat.
ADVERTISEMENT
Tetapi, apabila konflik atau permasalahan terjadi sudah berdampak tidak hanya bagi adat tertentu, tetapi masyarakat luas, diperlukan hukum negara sebagai dasar atau landasan konstitusional penyelesaian masalah.
Negara sudah seharusnya membuka ruang bagi hukum adat. Tetapi kebutuhan perlunya hukum pada level negara memaksa hukum adat yang berskala mikro menyesuaikan diri. Meski diakui dan diakomondasi eksistensinya, namun dalam prosesnya seringkali mengalami marjinalisasi (terpinggirkan/tidak dianggap).
Maka munculah legal gaps yang berujung pada konflik horizontal. Hukum adat yang terbiasa dengan proses penyelesaian dan perumusan yang informal mulai diganti dengan model penyelesaian adjudikatif (pengadilan).
Hukum negara secara teoritis kurang peka akan permasalahan khas dan kebutuhan masyarakat lokal yang cenderung tradisional. Tetapi, hukum adat juga tidak mampu mengakomondasi dan menampung penyelesaian-penyelesaian yang terjadi pada masyarakat modern. Hukum adat seringkali tidak rasional dalam memberi hukuman dan mengatur masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukan esensi keadilan dalam hukum itu, melainkan berhasil tidaknya hukum sebagai kaidah sosial dalam masyarakat.