Menelusuri Gerakan Komunitas Anti Vaksin di Indonesia

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
29 April 2021 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
A illustration from an 1894 anti-vaccination publication (The Historical Medical Library of the College of Physicians of Philadelphia).
zoom-in-whitePerbesar
A illustration from an 1894 anti-vaccination publication (The Historical Medical Library of the College of Physicians of Philadelphia).
ADVERTISEMENT
Vaksinasi di Indonesia sedang gencar dilakukan oleh pemerintah untuk menangkal Pandemi Covid - 19. Dilansir dari Kumparan, Indonesia menempati urutan ke-4 dengan total masyarakat yang sudah divaksin mencapai 11.844.572 orang pada program vaksinasi - 1 dan 6.998.304 orang pada program vaksinasi - 2 per 26 April 2021.
ADVERTISEMENT
Namun, gerakan antivaksin di Indonesia nyatanya masih ditemui, walaupun diisukan sudah menurun intensitasnya. Salah satu contoh dari gerakan ini masif terjadi di media sosial Facebook, Twitter dan Instagram.
Kalangan antivaksin di Indonesia dikelilingi oleh teori konspirasi "elit global" dan berita hoax, sehingga banyak kalangan yang menganggap virus ini hanya permainan para konspirator dunia. berbagai aktivitas dilakukan guna menyebarluaskan gerakan anti vaksin tersebut, mulai dari pembuatan grup di Facebook, perang buzzer di Twitter, sampai feeds di Instagram. Rata - rata yang saya temui, para anggota anti vaksin memang berafiliasi dengan grup - grup teori konspirasi flat earth, teknologi 5G, microchip, klaim aliansi dokter dunia, dan lain sebagainya.
Teori konspirasi di Indonesia semakin berkembang subur dengan munculnya influencer terkemuka yang memiliki pendapat serupa. Beberapa influencer seperti Jerinx, Rina Nose, Anji, Deddy Corbuzier, beberapa kalangan dokter dan tenaga ahli muncul sebagai anomalie di kala pandemi berlangsung. Alih - alih berusaha membongkar apa yang terjadi dibalik pandemi, konten mereka justru semakin membuat informasi runyam dan tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sikap dan komunikasi politik pemerintah cenderung meremehkan virus pada awal pandemi serta fenomena krisis pandemi. Itulah sebabnya mengapa banyak orang yang saat ini tidak percaya akan kehadiran virus yang telah menjangkit jutaan orang di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini penting untuk diangkat. Sebab, bagaimana mungkin program vaksinasi dapat berjalan baik sedangkan banyak orang yang tidak mempercayai eksistensi virus itu sendiri?
Studi yang dilakukan oleh Pereira,d.k.k (2020) menyatakan bahwa teori konspirasi biasanya memiliki sistem yang berfungsi sebagai pembenaran yang mendukung status quo. Caranya dengan mengarahkan perhatian publik ke dalam suatu bahaya imajiner yang seakan - akan nyata, sehingga mengalihkan dari ancaman yang asli (genuine threats). Begitu juga dengan berita hoax, dimana isinya mengalihkan tuntutan akan solusi yang memadai disertai dukungan penelitian ilmiah. Singkatnya, tidak ada cara solutif yang memadai dari teori konspirasi tersebut. Membership group antivaksin maupun teori konspirasi di media sosial ternyata merupakan komponen penting dalam membangun konsep diri dan membentuk pengalaman seseorang. Ideologi personal yang dibagikan secara masif lewat komunitas akan memengaruhi opini dan keputusan pribadi, apalagi ditambah dengan gagasan populer "kita" melawan "mereka". Dampaknya, wacana antivaksin tersebar luas ke berbagai sektor kehidupan serta mudah untuk merekrut anggota.
ADVERTISEMENT
Apabila ditinjau lebih jauh, maraknya komunitas antivaksin di Indonesia juga tidak terlepas dari algoritma media sosial yang disebut sebagai filter bubble effect (Hidayah, 2018). Filter bubble effect adalah efek suatu kondisi dimana individu terperangkap dalam sistem algoritma yang dapat mengisolasi intelektualitas. Oknum yang telah terkungkung dalam suatu arus besar informasi tertentu akan menolak (being rejected) kebenaran atau ideologi yang tidak sesuai dengan pandangannya, cenderung antikritik serta menimbulkan sikap loyalisme dan fanatik berlebihan. Efek lain yang ditimbulkan dari fenomena ini adalah klaim - klaim kesamaan (familiaritas) sehingga merusak dominasi akal sehat dan demokrasi. Para oknum yang terperdaya tidak sadar bahwa dirinya telah digerakan dan masuk kedalam "gelembung besar" itu.
Oleh sebab itu, komunikasi politik pemerintah harus berdasarkan kajian - kajian ilmiah yang telah teruji. Komunikasi internal pemerintah tidak boleh bercabang. Perlu diketahui bahwa kondisi munculnya grup - grup antivaksin dan konspirasi yang tersebar luas di dunia maya juga diakibatkan kondisi krisis pandemi, krisis ekonomi, krisis sosial - politik, dan krisis keamanan sehingga menimbulkan gerakan sosial (social movement) yang disebut sebagai rumor. Komunikasi politik pemerintah harus sehat dengan mengedepankan persuasi white propaganda, yaitu cara penyampaian informasi yang sehat, jujur, benar, sportif, dengan data yang jelas dan akurat (Sahid, 2011). Pemerintah juga harus menarasikan sejujur - jujurnya tentang side effect vaksinasi agar masyarakat memahami dampak buruk apabila tidak segera melakukan vaksinasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan grup antivaksin itu? Solusi yang dikemukakan oleh J. Habermas, masyarakat harus "mengaktifkan" rasionalitas dan pikiran kritis akan validitas dan kebenaran yang diklaim dalam bingkai keakuratan, kebenaran, dan kejujuran (Hidayah, 2018). Dengan demikian masyarakat Indonesia harus memiliki kemampuan literasi yang baik, setidaknya mempunyai persepsi bahwasanya kepercayaan itu mahal harganya.