Reduktivitas Kegiatan Bermain dan Pelanggaran Hak Anak di Masa Pandemi

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 22:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Bermain, Sumber : freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Bermain, Sumber : freepik

Masalah – masalah Pembatasan Bermain dan Permasalahan Anak di Rumah

ADVERTISEMENT
Keluarga adalah suatu kelompok sosial (social group) dengan ikatan primer, suatu sistem sosial (social system) dan sebuah lembaga sosial (social institution) (Crandall & Eshleman, 2003). Studi yang dilakukan oleh Valeri Strauss (2021) menyatakan bahwa kegiatan bermain anak telah mengalami deprivasi atau kejenuhan. Kegiatan bermain merupakan aktivitas yang baik untuk tumbuh kembang anak, baik secara kognitif, fisik, maupun emosional (Widhoroso, 2020). Kegiatan bermain anak yang terganggu ternyata menjadi suatu masalah serius bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama proses anak dalam membangun watak atau karakter sosial. Menurut Brown (2014), konsekuensi dari deprivasi bermain anak (play deprivation) yang dihitung dari 10 tahun pertama dalam hidup anak antara lain : perilaku agresif karena disregulasi emosional (emotional dysregulation), meningkatnya depresi umum (prevalence of depression), tendensi untuk menjadi tidak fleksibel dalam berfikir (become inflexible in thought), berkurangnya pengendalian diri (diminished impulse control and less self regulation), manajemen agresi yang buruk (poor management of aggression), serta kerapuhan dan kedangkalan dalam ketahanan hubungan interpersonal. Kegiatan bermain seharusnya menjadi hak anak yang tidak boleh dirampas oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi Covid – 19, aktivitas manusia sangat terbatas, termasuk aktivitas anak dalam bermain dan belajar. Intensitas anak bertemu dengan orangtua juga semakin besar. Terdapat sekitar 80 juta anak di Indonesia (atau sekitar 30% populasi dunia) yang merasakan dampak sekunder yang timbul baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rohayani, 2020). Rata – rata, penyebab pelanggaran anak di masa pandemi karena implikasi dari dampak sekunder orangtuanya. UNICEF telah menghimbau bahwasanya anak – anak adalah korban yang tidak terlihat. Bentuk – bentuk pelanggaran sekunder salah satunya adalah pelarangan bermain sebagai hak anak. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak – anak karena PPKM (Rohayani, 2020).
Karena pembatasan bermain anak dilarang, maka yang terjadi adalah orangtua cenderung mengalihkan perhatian bermain anak, dari fisik ke gadget. KPAI mencatat sebanyak 34.8% anak bermain gadget 2-5 jam per hari dan sebanyak 24,4% anak bermain lebih dari 5 jam per hari di luar belajar (Al Ansori, 2021). Sementara itu, sebanyak 79% anak tidak memiliki aturan penggunaan gadget. Bila terus menerus dibiarkan, dampak yang ditimbulkan cukup membahayakan. Diantaranya dapat terjerumus dalam pornografi, konten negatif, penipuan, dan lain sebagainya. Sebanyak 104 anak dan remaja selama tahun 2020 dilaporkan memiliki gangguan kejiwaan dan terdampak kecanduan game di gadget (Gual, 2021). Selain itu, fenomena yang terjadi ketika anak dilarang bermain secara fisik adalah tekanan yang anak terima saat menjalani hari – hari panjang dirumah. Peningkatan pelanggaran anak sejalan dengan tekanan emosional orangtua pada masa pandemi. Anak dianggap sebagai pelampiasan karena sifatnya yang dekat dan tidak berdaya untuk melawan (Suyanto, 2013). Beberapa faktor tersebut antara lain : kekerasan verbal (teriakan, bentakan, atau amukan), mengkritik, serta pelampiasan emosi kepada anak. Selain itu, berdasarkan hasil survey yang dilakukan KPAI secara online sejak 8 – 14 juni 2020, melibatkan 25.146 anak tersebar di 34 provinsi di Indonesia, anak mengaku acapkali mendapat cubitan (39,8%), dijewer (19,5%), dipukul (10,6%) dan ditarik (7,7%) (Rahmawati & Udasmoro, 2021 ). Sementara itu, terdapat pula kekerasan psikis antara lain dimarahi (56%), dibandingkan dengan anak lain (34%), dibentak (23%), dipelototin (13%), dan lain sebagainya (Rahmawati & Udasmoro, 2021 ).
ADVERTISEMENT

Faktor – faktor Penyebab dan Solusi Alternatif Pengentasan Pelanggaran Hak Anak di Masa Pandemi

Perlu diketahui, kasus pelanggaran hak anak selama pandemi dipengaruhi oleh faktor eksternal yang bersifat memaksa (exterior and constrain) seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim (Sudarso, 2017; Rahmawati & Udasmoro, 2021 ). Durkheim menjelaskan bahwa individu akan selalu terikat oleh peraturan dan kontrol dari luar dirinya sejak lahir dari kandungan. Ketika individu berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma umum (collective consiousness), maka akan dikenakan sanksi. Bagi anak – anak, ketika sang anak melanggar, maka akan mendapat sanksi dari anggota keluarga termasuk orangtuanya. Anak selalu diposisikan sebagai kelas sosial paling rendah dalam relasi sosial (Rahmawati & Udasmoro, 2021 ). Anak dianggap sebagai objek aturan, norma, penertiban bagi orangtuanya. Dampaknya adalah anak tidak memiliki hubungan seimbang dengan orangtua. Tanpa sadar, relasi orangtua dengan anak menjadi relasi asimetris yang merugikan, eksploitatif, dan cenderung abusive (Suyanto, 2013).
ADVERTISEMENT
Faktor umum dari munculnya kasus pelanggaran anak pada masa pandemi adalah psikis. Bagi anak, pelarangan bermain keluar atau secara fisik dapat membuat anak menjadi bosan dan agresif. Dampak secara luasnya adalah anak tidak lagi mendapat dukungan sosial, terutama dari sekolah ataupun teman dekatnya. Faktor lain yang muncul adalah fasilitas bermain anak di dalam rumah yang tidak lengkap. Setidaknya, ada tiga tipe kondisi keluarga dilihat dari peranan orangtua dalam pemenuhan hak – hak anak (Rahmawati & Udasmoro, 2021 ), yaitu : (1) orangtua menyadari hak – hak anak dan mampu memenuhinya. (2) orangtua menyadari hak – hak anak tapi tidak mampu memenuhinya. (3) orangtua tidak menyadari hak – hak anak. Kenyataan kedua dan ketiga paling banyak terjadi di Indonesia semasa pandemi, terutama pelanggaran hak anak dalam hal bermain. Bermain bagi anak sangat perlu, sebab aktivitas bermain sangat dibutuhkan anak sebagai wadah interaksi dan penyembuhan. Beberapa identifikasi pendekatan yang dapat orangtua lakukan untuk menolong anak untuk bertahan dan berkembang selama masa PPKM, antara lain (Hays - Grudo & Morris, 2021) :
ADVERTISEMENT
1. Bangun relasi dengan sesama anggota rumah (connect with one another) : orangtua harus membangun kegiatan mengobrol, mendengarkan, dan bermain bersama anak tanpa ada gangguan. Buatlah kegiatan disaat renggang atau sebelum tidur. Membangun komunikasi dengan anak akan membantu anak mengetahui bahwa mereka berharga dan dilindungi
2. Mendukung pertemanan anak (support children’s friendships) : orangtua harus menjaga dan memberi kesempatan anak untuk belajar mengurangi stres dari teman sepermainannya. Orangtua dapat memfasilitasi komunikasi anak dengan teman – temannya lewat sosial media.
3. Bantu anak untuk tetap terlibat dengan komunitas atau kelompok (help children stay involved in club or groups) : orangtua harus membantu anak untuk menyalurkan konektivitas anak dengan grup – grup yang ada di virtual. Hal tersebut akan membantu anak untuk membangun nilai, norma, dan moralitas, serta memiliki sense of belonging atau pengembangan diri yang baik.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, penting untuk menjaga aktivitas anak saat dirumah, terutama ketahanan saat mengerjakan tugas – tugas sekolah. Salah satu sifat keluarga berdasarkan fungsinya sebagai kelompok sosial ialah sebagai pencipta kultur serta basis proses belajar anak. Keluarga seharusnya menjadi tempat awal dan utama sebagai perlindungan anak. Aktivitas bermain anak tidak boleh hilang kualitasnya sekalipun penyelesaiannya dilakukan secara virtual atau maya.