Urgensi Deradikalisasi Teknologi: Apa dan untuk Siapa?

Jan Ekklesia
Sosiolog dan Pendiri GEMA Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Februari 2022 17:26 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Manusia dan Teknologi, Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Manusia dan Teknologi, Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Dunia kehidupan manusia (lebenswelt) adalah salah satu gagasan Edmund Husserl untuk menggambarkan bahwa dunia inilah sejarah manusia berasal. Gagasan tersebut menghasilkan metode yang terkenal dengan istilah fenomenologi. Fenomenologi berhasil membuat "dimensi baru" dalam menilai aspek-aspek nilai dan eksistensinya. Manusia membuat dirinya menjadi "berarti" dalam ruang lingkup nilai dan norma.
ADVERTISEMENT
Teknologi, mungkin ini yang mengubah tataran nilai dan norma masyarakat digital saat ini. Dahulu penilaian mengenai manusia hanya terbatas pada norma sopan santun saat sowan kepada orang tua. Tetapi sekarang, hal tersebut muncul seiring dengan etika bermedia sosial dan berinternet. Permasalahan demi permasalahan selalu muncul dalam dunia yang serba cair ini.
Saya mengingat apa yang dikatakan Zygmunt Bauman mengenai masyarakat modern, ditulisnya dalam buku berjudul "liquid modernity" (1999). Menurutnya, modernitas mengubah sendi-sendi masyarakat yang ada menjadi cair. Nilai dan norma yang dahulu dianggap sesuatu yang solid (padat), kini berubah secara besar-besaran menjadi sesuatu yang mudah diubah. Janji-janji politik, avatar di media internet, sampai pada produk kebijakan negara, semuanya menjadi cair. Segalanya dapat berubah pada tingkatan tertentu, sehingga dapat dikatakan fleksibel dan ekspansional. Itu berarti ada pola yang tidak dapat diprediksi dari kehidupan manusia pasca-modernitas ini.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan teknologi yang demikian disruptif ini mengesampingkan hal-hal yang bersifat reflektif-filosofis. Sampai-sampai lupa bahwa waktu adalah bagian dari manusia yang harus digunakan dengan bijak. Ternyata, bukan hanya fenomena sosial saja yang cair, tetapi sampai menyangkut "gambar diri" manusia kedepannya, ikut terbawa arus ini. Apa yang dipikirkan manusia mengenai teknologi sebagai "kaki tangan" kehidupan, sekarang justru berbalik menjadi sesuatu yang daripadanya kita bergantung.
Kata deradikalisasi ini nyatanya agak aneh, tetapi cukup pantas untuk saya sematkan. Biasanya, deradikalisasi digunakan untuk mengantisipasi tindakan terorisme. Tetapi, kita pun juga memiliki tanggung jawab untuk men-deradikalisasi kehidupan kita dari internet. Masalahnya bukan pada kebutuhan kita kepada internet, melainkan mencegah kita dari ketergantungan teknologi dan internet.
ADVERTISEMENT
Banyak orang membiarkan diri terperdaya oleh "likuiditas" internet ini. Aspek konsumsi, belanja, agama, preferensi, pendapat, dan lainnya dipengaruhi oleh internet. Teknologi macam apakah yang menghilangkan aspek-aspek antropologi manusia ini? Nyatanya kita memasuki fase "dehumanisasi", yaitu perubahan fungsi-fungsi manusiawi dan digantikan dengan teknologi, sehingga kita sama dengan ciptaan kita itu. Sementara ciptaan kita seakan-akan naik tingkat menyerupai penciptanya (antropomorfisme). Bukannya tidak mungkin pada abad baru, kita dan kultur manusia mencapai kematiannya dan digantikan oleh kultur cyborg.
Antisipasi teknologi yang semakin menggerus kehidupan manusia dapat dimulai dari apa yang dapat kita lakukan sehari-hari. Mulailah untuk lebih membiasakan diri mendengar suara sekitar ketimbang menggunakan headset, merasakan bagaimana berinteraksi dengan orang terdekat secara langsung ketimbang menggunakan Whatsapp atau media sosial. Berilah waktu dan tenaga untuk orang-orang tersayang. Jadilah diri sendiri, jadilah manusia yang sebenar-benarnya itu.
ADVERTISEMENT
***
Jan Ekklesia