Kaum Urban: Orang Asing di Rumah Sendiri

Jane Ardaneshwari
Jane Ardaneshwari bekerja sebagai jurnalis media gaya hidup antara 1998-2017. Kini bekerja mandiri sebagai penulis, editor, writing coach, dan pengulas makanan.
Konten dari Pengguna
25 Maret 2020 20:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jane Ardaneshwari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga dengan dua anak. Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga dengan dua anak. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sore ini, seorang kawan menulis tagar #mulaimatigaya di lini masa media sosialnya. Kawan lain mengunggah video putranya yang sedang mencuci piring, dengan imbuhan teks “…mengalihkan keinginan anakku main ke rumah temannya dengan menyuruhnya cuci piring. Dia kerjakan juga meski sambil cemberut.”
ADVERTISEMENT
Sejumlah posting lainnya menyiratkan benang merah yang sama: mereka tak betah di rumah sendiri. Peraturan pemerintah untuk beraktivitas di rumah di tengah wabah Corona ini, dirasakan seperti vonis tahanan rumah. Mati gaya di hari ke-11. Apakah fakta itu ironis, manusiawi atau keduanya sekaligus?
Faktanya, kaum urban Indonesia sejatinya adalah penghuni ruang publik. Lima hari dalam seminggu mereka ulang-alik ke tempat kerja dan menghabiskan waktu rata-rata 13 jam per hari di luar rumah. Dengan asumsi jam kerja 9 to 5, mereka harus berangkat pukul 6.00 pagi jika masih memiliki anak usia sekolah. Lalu, apakah kita benar-benar bisa pulang tepat pukul 17.00?
Berdasar pengalaman saya dulu saat bekerja di media, nyaris mustahil. Apalagi jika ada tugas liputan, undangan acara dari relasi atau ada janji wawancara. Dari 11 jam waktu kita yang tersisa, berapa jam yang masih tersisa setelah dikurangi waktu tidur? Lima jam atau kurang dari itu? Dan, seefisien apa selama ini kita memanfaatkannya untuk berkomunikasi dengan pasangan dan anak serta mengurus aneka ”urusan dalam negeri".
com-Ilustrasi keluarga bahagia di hari tua Foto: Shutterstock
Lalu, bagaimana dengan akhir pekan? Bukankah, euforia orang Indonesia terhadap ”sihir” mal alias pusat perbelanjaan masih saja berlangsung? Mal adalah ”berhala” baru kaum urban. Bagi kita. mal bukan sekadar pusat perbelanjaan. Mal adalah rumah kedua kita kaum urban. Bahkan, mal adalah rumah kita yang sebenarnya! Mal selama ini kita fungsikan sebagai ruang makan keluarga, ruang duduk, ruang bermain (menonton bioskop dan arena permainan), ajang silaturahmi (acara berbuka puasa, halal bihalal, reuni), tempat ibadah (gereja dan mushola), kamar tidur (ada beberapa hotel yang beroperasi dalam mal), kamar mandi (bagi yang habis berolahraga di pusat kebugaran di mal), bahkan perpanjangan ruang rapat dan ruang kerja! Coba ingat-ingat, bagaimana ekspresi wajah anak Anda jika Anda memutuskan bahwa akhir pekan ini “kita di rumah saja” dibanding saat Anda mengajaknya ke arena permainan di mal. Masih juga mau mungkir?
ADVERTISEMENT
Semua fakta di atas sudah menjawab mengapa keharusan “di rumah saja” dalam waktu kurang dari sebulan, sudah membuat kita gelisah. Sederhana saja, sebenarnya: selama ini kita tidak pernah mengenal rumah kita sendiri. Apalagi jika kita belum mampu memiliki rumah pribadi, entah masih menumpang pada mertua atau kerabat.
Konsep rumah bagi kaum urban, ternyata begitu cair dan mungkin saja, sebenarnya semu. Kolektivitas budaya orang Indonesia melampaui sekat-sekat kekerabatan dan dinding-dinding rumah mereka. Mobilitas hidup kaum urban itu sendiri lalu memaksa mereka memperbarui makna rumah. Itu sebabnya, mal bukan lagi sebuah bangunan (a house) namun juga telah bertransformasi menjadi sebuah tujuan (a home), setidaknya, sebuah rumah singgah (pied à terre). Mungkin itu sebabnya, kita tidak pernah betul-betul ”pulang” saat kita berada di rumah kita sendiri. Selama ini kita ternyata tidak benar-benar mengenal rumah kita dengan baik. Belum lagi fakta pahit selanjutnya: apakah kita sudah mengenal diri kita yang sebenarnya? Siapa sebenarnya diri kita, “semesta kecil” dalam “semesta besar” bernama dunia?
ADVERTISEMENT
Agama sebenarnya telah menawarkan kepada kita sejumlah laku kontemplatif. Para penganut Hindu mengenalnya sebagai nyepi dan meditasi. Meditasi juga dikenal dalam Islam dan Buddha. Dalam Kristen dan Katolik pun, ada retret dan rekoleksi. Demikian pula laku puasa dan berpantang yang ada dalam setiap agama.
Mungkin Corona memberi kita kesempatan untuk mengambil jeda dari keriuhan hidup. Memberi kita kesempatan untuk mengenal rumah kita, termasuk segala isi dan semua penghuninya, dengan lebih baik. Mengajak kita melakukan hal-hal yang selama ini belum juga sempat kita lakukan atas nama sejumlah alasan. Atau bahkan, mengerjakan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Melihat anak kita yang tengah belajar berjalan dengan mata yang baru. Mendengarkan pasangan kita bercerita dengan telinga yang baru, tanpa harus membuatnya berbagi perhatian dengan gawai kita. Menghidu aroma masakan dari dapur dengan penciuman yang baru, tanpa harus tergesa-gesa menghabiskan sarapan karena harus bergegas mengejar waktu. Menanggapi pertanyaan orang tua kita dengan kata-kata yang lebih empatik.
Dengan demikian, setidaknya Corona tidak hanya mencerabut kehidupan kita. Ia juga memberi kita penglihatan baru, pendengaran baru, penciuman baru, cara pandang baru. Lebih dari itu, kehidupan yang baru.
Tetap sehat itu penting. Jaga kewarasan itu HARUS!