Di Balik Konflik Masyarakat Adat Dayak Long Wai, Ada Pangan yang Harus Tersedia

Jannatul Ulya
Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University
Konten dari Pengguna
3 Mei 2021 13:29 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jannatul Ulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konflik. (Foto: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konflik. (Foto: Freepik.com)
ADVERTISEMENT
Bicara tentang potensi lahan di Indonesia memang tak ada habisnya. Indonesia dengan julukan tanah surga membuat siapa pun iri melihatnya. Potensi alam di dalamnya memberikan pandangan tersendiri bagi segenap masyarakat terkhusus masyarakat adat. Dari beberapa wilayah di Indonesia, Kalimantan merupakan salah satu pulau yang didiami oleh masyarakat adat Dayak Modang Long Wai, lebih tepatnya di Desa Long Bentuq, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Menelisik lebih dalam, menurut Ahyat (2016) dalam Jurnal Kajian Budaya dari Universitas Indonesia, Suku Adat Dayak Modang (Long Bleh dan Long Wai) berasal dari Apo Kayan yang sudah mendiami wilayah ini sejak satu abad lalu.
Lebih lanjut, mengutip dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), bagi masyarakat adat hutan merupakan bagian dari kehidupannya, sebagai penopang kehidupan sehari-hari dan titipan untuk generasi pendatang.
Secara logis, jika hutan adat diganggu tentu saja pemenuhan terhadap kehidupan pun akan terganggu, salah satunya pemenuhan terhadap pangan. Analisis lebih lanjut, berdasarkan salah satu tuntutan yang disuarakan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai kepada PT SAWA (Subur Abadi Wana Agung) dapat diketahui bahwa sebelum masuknya PT SAWA, lahan tersebut ditanami beberapa jenis tanaman pangan seperti durian, kelapa, petai, langsat, kopi, kakao, dan aneka pohon buah serta jenis tanaman kayu seperti kayu meranti, ulin, dan karet.
ADVERTISEMENT
Tetapi, setelah adanya izin konsesi yang diberikan kepada PT SAWA, lahan tersebut berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Mengutip dari laporan Teddy pada tahun 2015, menyampaikan bahwa akibat dari penggusuran hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, telah menyebabkan dua sungai tercemar.
Jadi, jelaslah sejak tahun 2006 perusahaan beroperasi di lahan adat Dayak Modang Long Wai menimbulkan beberapa kerusakan baik kerusakan terhadap ekosistem maupun kerusakan terhadap sistem sosial masyarakat adat karena alih fungsi lahan pangan dan kayu menjadi lahan perkebunan sawit.
Hal itu diperparah dengan tidak adanya tata kelola sumber daya alam (SDA) yang baik. Berbagai upaya untuk melindungi lahan adat telah mereka lakukan. Jika dirinci, perjuangan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai sudah sangat panjang. Bermula pada tahun 2008 ketika masyarakat melaporkan beberapa dugaan atas kerusakan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, tak mendapat respons.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut pada tahun 2011 ketika masyarakat adat Dayak Modang Long Wai meminta pengakuan atas wilayah adat mereka, tetapi tak kunjung ditindaklanjuti. Bahkan, di tahun 2015 terdapat SK Bupati yang mempersempit daerah Long Bentuq menjadi 9,000 hektar. Padahal pada tahun 1993 luas wilayah desa Long Bentuq adalah sekitar 50.000 hektar.
Perjuangan terkini (tahun 2021) adalah melalui jalan damai dengan mendatangi kantor PT SAWA. Namun, perusahaan tidak terima, sehingga warga melakukan blokade jalan yang digunakan untuk sarana transportasi perusahaan. Perlu digarisbawahi perjuangan terkini menuntut tanggung jawab perusahaan hanya sebesar 4,000 hektar sebagai pengembalian terhadap wilayah adat yang tergusur pertama kali, tetapi masih tak kunjung mendapat kejelasan. Akibat melakukan blokade jalan, 3 masyarakat adat harus dipanggil ke kantor kepolisian.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas, alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah transparansi pemerintah terhadap izin konsesi perkebunan sawit, pengakuan atas lahan masyarakat adat, dan pengelolaan SDA berbasis masyarakat (PSM). Berbicara tentang masyarakat, mencakup juga masyarakat adat.
Namun, mengingat sering kali transparansi tidak efektif sehingga jalan terbaik adalah PSM, karena masyarakat juga mempunyai pemikiran, pendapat, serta tanggung jawab atas keberlanjutan hidup.
Jika hutan untuk pangan berubah menjadi perkebunan sawit tentu bukanlah masalah biasa tetapi masalah luar biasa. Hal itu dikarenakan pangan menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus selalu tersedia kapan pun dan di mana pun.
Jannatul Ulya, Mahasiswi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University