Diskresi, Diskresi, Korupsi!

Janwan S R Tarigan
Peneliti Malang Corruption Watch
Konten dari Pengguna
26 Februari 2022 18:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Janwan S R Tarigan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Galeri Website Resmi kemendagri.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Galeri Website Resmi kemendagri.go.id
ADVERTISEMENT
Tiap kasus korupsi yang berhasil diungkap penegak hukum selalu saja menjadi perbincangan menarik di masyarakat. Meski kasus korupsi hampir berulang diberitakan di berbagai media dalam hitungan minggu bahkan dalam sehari, tidak membuat sepi perhatian, penanda atensi publik pada isu korupsi cukup besar. Di satu sisi, korupsi memang menarik dibahas karena menyuguhkan teka-teki politik nan penuh kejutan.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, dampak korupsi nyata merugikan rakyat yang membuat publik geram lalu berujung pada satu pertanyaan mendasar, bagaimana formula yang tepat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini? Pertanyaan yang jawabannya hingga kini belum ditemukan. Beragam pendekatan pemberantasan korupsi masih terus diuji coba dan tidak ada satu pendekatan tertentu yang final dan terbukti ampuh melawan korupsi. Terbukti korupsi berulang terjadi di berbagai sektor pemerintahan menggerogoti sendi-sendi bernegara.
ADVERTISEMENT
Kisah korupsi trio pejabat ini hanya sedikit contoh dari banyak kasus korupsi yang dapat menggambarkan betapa leluasanya koruptor melakukan aksinya. Selain karena persoalan moral yang bobrok, korupsi juga disebabkan sistem yang buruk. Perilaku korup bisa dilekatkan pada individu per individu yang rakus dan selalu mencari keuntungan, sementara sistem yang bobrok akan membuka peluang dan memfasilitasi orang-orang yang punya niat korupsi. Pertemuan kedua aspek ini melahirkan korupsi yang bertubi-tubi.
Dalam konteks korupsi pengelolaan dana PEN, nuansa diskresi ada pada Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri yang punya kewenangan “meloloskan” permintaan dari daerah. Ada beberapa pos yang harus dilewati Pemerintah Daerah agar dapat mencairkan pinjaman bantuan dana PEN Daerah. Salah satunya adalah Kemendagri berwenang memberi surat pertimbangan kepada Kemenkeu dan kemudian dicairkan oleh PT SMI.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Permenkeu Nomor 43/PMK.07/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Pemkeu Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional Untuk Pemerintah Daerah, bahwa “Berdasarkan surat minat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan ayat (2), Kepala Daerah dapat mengajukan surat permohonan Pinjaman PEN Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan Direktur Utama PT SMI,..”
Selanjutnya dijelaskan pula dalam Pasal 10 ayat (3) “Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan atas permohonan Pinjaman PEN Daerah dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dengan demikian Menteri Dalam Negeri berwenang memberi pertimbangan dan usulan daerah penerima bantuan dana PEN Daerah. Secara Tupoksi kewenangan tersebut bisa diwakilkan organ yang secara khusus mengurusi keuangan daerah yaitu Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri.
ADVERTISEMENT
Banyaknya pos yang harus dilalui untuk mendapat bantuan dana PEN Daerah ini turut membuka ruang korupsi, khususnya jenis suap. Terlebih kewenangan yang dijalankan Kemendagri melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah tidak diatur secara detail prosesnya termasuk dalam pengawasannya. Pada titik inilah kewenangan yang dijalankan pejabat terkait disebut diskresi.
Kasus ini juga merupakan cermin masih buruknya tata kelola anggaran pusat dan daerah. Pasca desentralisasi diharapkan pemerintah daerah dapat mandiri mengelola dan menggali potensi daerahnya, akan tetapi faktanya pemerintah pusat tetap memiliki intervensi yang besar ke daerah. Di samping dalam pengelolaannya baik di pusat maupun di daerah masih minim transparansi dan partisipasi yang membuat tidak adanya kontrol publik.
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jelas menekankan bahwa pengelolaan keuangan publik harus menerapkan asas transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Dengan demikian rakyat sebagai pemilik anggaran publik dapat mengawal perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban pengelolaan anggaran agar pro rakyat dan bebas dari korupsi. Begitupun sebaliknya ketika anggaran publik dikelola secara eksklusif oleh pemerintah, maka penyalahgunaan anggaran sangat rentan terjadi.
Dapat dibayangkan betapa merugi masyarakat atas terjadinya korupsi seperti bantuan Dana PEN Daerah tersebut. Kebijakan yang dimaksudkan membantu Pemerintah Daerah yang terdampak pandemi Covid-19, akan tetapi ditilap sebelum dicairkan. Sangat mungkin kemudian pasca pencairan pun masih akan ada korupsi lanjutan di tingkat pemerintah daerah, karena sejak awal sudah diperoleh dengan suap. Lalu kemudian, sejauh mana manfaat kebijakan ini sampai di masyarakat? Tentu minim. Pertanyaan berikutnya, dengan sistem yang sama diterapkan pada setiap daerah yang mengajukan bantuan Dana PEN, apakah juga terjadi di daerah lain? Semoga diungkap tuntas dan ada perbaikan serius ke depan baik dalam aspek moral (kultur) maupun sistemnya.
ADVERTISEMENT