Bakat Bermusik: Mitos atau Fakta

Jefry Albari Tribowo
dr. Jefry Albari Tribowo, Sp.And adalah seorang dokter spesialis Andrologi dan produser musik di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Website: andrologibanjarmasin.com
Konten dari Pengguna
22 Juli 2021 10:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jefry Albari Tribowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Musik (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Musik (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah seorang musisi terbaik di muka bumi ini pernah menulis di halaman depan buku biografinya, bahwa apa yang telah ia capai selama ini bukanlah semata karena bakat yang diturunkan, melainkan karena usaha dan kerja kerasnya. Di masa kanak-kanaknya, ketika teman-teman sebayanya tengah asyik bermain konsol game, ia “dipaksa” oleh orang tuanya untuk berlatih gitar. Begitu pula seterusnya, kehidupan keras ia jalani semasa menjadi musisi, mulai dari mengamen, tampil tanpa dibayar, hingga ditolak berbagai label musik. Musisi tersebut adalah, Ed Sheeran.
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang cukup unik di salah satu wawancaranya bersama Jonathan Ross, di mana ia kembali mengungkapkan kepercayaannya bahwa ia tidak percaya dengan bakat. Ia kemudian memutarkan salah satu hasil rekaman pertamanya, dan seluruh penonton mendadak tertawa karena suaranya sangat jelek dan fals.
“Tapi, saya berlatih” ucapnya dengan santai. Hal ini seolah menjadi penegasan baginya bahwa ia percaya apa yang ia capai sekarang merupakan hasil kerja keras dan latihan dalam kurun waktu yang lama, bukan bermodalkan bakat semata.
Sekarang mari kita berbicara bakat musik, namun dari sudut pandang ilmiah. Beberapa publikasi ada yang menunjukkan bahwa kemampuan bermusik seperti persepsi dalam musik, memori dan pendengaran musikal, dan ketepatan nada, ternyata memiliki kaitan dengan bagian penyusun genetik manusia. Sehingga hal ini tentu dapat diturunkan dari orang tua ke anak-anaknya. Namun yang perlu diingat, semua penelitian tersebut tetap menggarisbawahi pentingnya latihan terlepas dari bakat yang ada.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya adalah kita tidak pernah tahu mana yang ternyata bisa menjadi bakat kita, karena kita hanya akan tahu setelah mencoba dan berlatih secara rutin. Itulah kenapa sebaiknya kita tidak boleh berlindung di balik kalimat, “saya tidak berbakat” untuk memfasilitasi kemalasan kita.
Salah satu ungkapan mengenai latihan yang populer adalah, perlu waktu berlatih selama 10.000 jam agar kita bisa menjadi seorang ahli. Ungkapan dipopulerkan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers. Ternyata, belakangan ungkapan tersebut ada sedikit kekeliruan.
Hal ini direvisi langsung oleh Ericsson, seorang psikolog yang penelitiannya menjadi referensi dalam buku tersebut. Dalam penelitiannya memang ia menyatakan bahwa rata-rata musisi memerlukan waktu 10.000 jam latihan untuk mencapai performa terbaiknya, namun ada beberapa musisi yang bisa mencapai skill terbaik mereka dengan jumlah latihan kurang dari 10.000 jam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ungkapan tersebut juga meninggalkan satu kalimat terpenting, yakni latihan yang disengaja. Misalnya seseorang yang telah bermain gitar selama 10.000 jam, akan tetapi ia hanya bermain secara sembarangan, tentunya hal tersebut bukan jaminan ia bisa menjadi seorang ahli.
Berbeda dengan seseorang yang telah bermain gitar selama 10.000 jam, dan ia fokus untuk mencari ilmu-ilmu baru melalui buku, video, dan sharing dengan mentor, tentu ia memiliki hasil yang berbeda. Kuncinya adalah fokus pada kualitas latihan, bukan berfokus pada kuantitasnya.
Kesimpulannya adalah, jika kita ingin mahir dalam kemampuan musik, mungkin faktor bakat bisa jadi salah satu hal yang berperan. Akan tetapi yang paling penting adalah latihan secara rutin dan berkualitas.