news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Senja di Batas Asmat

jalamalut.com
Portal Jelajah Maluku Utara
Konten dari Pengguna
22 Februari 2019 23:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari jalamalut.com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para lelaki di rumah adat Jew, Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua sedang mewarnai tameng menggunakan kapur dan pewarna dari pinang. Foto: Faris Bobero
zoom-in-whitePerbesar
Para lelaki di rumah adat Jew, Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua sedang mewarnai tameng menggunakan kapur dan pewarna dari pinang. Foto: Faris Bobero
ADVERTISEMENT
Senja sudah turun di Mumugu Batas Batu, Asmat. Anton (6), Steven (5) dan Ema (5) tiba di rumah. Biasanya mereka pulang sekolah dengan riang, walau harus berjalan kaki selama satu jam. Kali ini, justru rona duka memancar di wajah ketiga bocah Papua ini.
ADVERTISEMENT
Saat tu, Falentina (52) sedang menunggu Anton, Steven, dan Ema. Beliau sedang memasak makanan untuk mereka bertiga. ”Cucu nenek sudah datang, ayo makan,” ujar Falentina, nenek angkat ketiga murid sekolah yang baru pualang itu.
Anton, Steven, dan Ema hanya diam, terpaku sedih. Anton bahkan mengambil kain untuk mengikat kepala, seakan tertekan dengan pikiran beratnya. Steven duduk di pojok dinding rumah sambil merangkul kedua lututnya dengan suara merintih. Ia menahan isak tangis, sementara Ema berdiri di pintu dapur juga tak dapat menahan tangis.
”Kalian kenapa? cucu nenek ini sedang dilanda apa?” tanya Falentina keheranan.
”Nenek, kita sudah kelas dua SD, tapi pak guru turunkan kita di TK lagi,” kata Ema terseduh-seduh.
ADVERTISEMENT
Hari itu mereka bertiga bahkan tak selera makan. Sampai malam harinya, Falentina dan Suaminya, Suabra (56) harus memaksa mereka bertiga makan.
Anton, Steven, dan Ema adalah anak-anak dari distrik Sawaerwa, desa tetangga Mumugu Batas Batu, Asmat yang jaraknya menempuh tiga jam perjalanan sungai menggunakan speed boat dari kampung Mumugu Batas Batu, tempat mereka tinggal. Suabra yang juga sebagai Penasehat Suku di Mumugu Batas Batu itu mengambil mereka dengan harapan untuk bersekolah.
Anak-anak Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua, saat belajar di halaman Pustu yang saat itu masih kosong. Foto: Faris Bobero
Suabra mengisahkan, pada tahun 80-an, orangtua/ayah Anton dan Steven pernah bekerja sebagai motoris speed boat penumpang namun kedua orangtua mereka meninggal dunia. ”Harapan orangtua Anton dan Steven, anak mereka tidak lagi hidup susah, sedangkan orangtua Ema berharap Ema bisa sekolah dan mempunyai cita-cita,” kata Suabra, matanya berkaca-kaca saat mengisahkan perjuangan orangtua ketiga anak itu ketika ditemui Guru SOKOLA di rumahnya.
ADVERTISEMENT
Selama tinggal bersama Suabra dan Falentina, Anton dan Steven bercita-cita menjadi Polisi Lalulintas, sedangkan Ema bercita-cita menjadi guru. Cita-cita tersebut pernah mereka sampaikan ke Khusnul Wahyu (30) guru SOKOLA yang mengajari mereka bertiga baca tulis.
Semenjak kejadian itu, mereka pulang dan tidak lagi belajar selama seminggu. Khusnul pernah menunggu tiga muridnya itu mulai pagi sampai sore hari namun ketiganya tidak kunjung datang. Akhirnya, Khusnul bersama Habibi Hibbu (30) dan saya bersepakat berkunjung ke rumah Suabra untuk mengetahui keberadaan mereka.
Sesampai di rumah Suabra, barulah kita mengetahui pokok masalah. Bukan guru yang menyuruh mereka bertiga pindah di kelompok bermain pada program Literasi SOKOLA Rimba, Papua.
Murid Sokola Asmat yang belajar dalam program Literasi Terapan Sokola Rimba di Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua. Foto: Faris Bobero
Waktu itu karena Habibi mengidap malaria jadi tidak mengajar untuk kelas baca-tulis dikte dan Khusnul yang mengambil alih mengajar di kelompok muridnya Habibi, sedangkan saya mengajar di kelompok murid baca dua suku kata. Karena banyak murid yang digabung hari itu, berkisar 90 lebih anak. Anton, Steven, dan Ema diajak oleh murid yang lain ke kelompok bermain.
ADVERTISEMENT
Setelah disampaikan ke Suabra bahwa ketiga murid tersebut tidak di turunkan kelas baru, ketiga murid tersebut mengerti dan mau belajar lagi.
Memberikan Contoh
Suabra, kakek angkat Anton, Steven, dan Ema, selalu memberikan contoh hidup mandiri belajar berkebun dan berternak. Tidak hanya itu, Suabra juga selalu memberikan contoh kepada masyarakat sekitar untuk membuat kebun dan berternak hewan seperti ayam, bebek, dan babi. Sebab, menurutnya, hampir sebagian besar masyarakat di Batas Batu hidup berburu dan mencari ikan di sungai. Mereka sangat bergantung dengan alam namun tidak berkebun. “Alam ini seakan memanjakan masyarakat di sini. Hasil buruan hari ini dimakan habis, besok berburu lagi,” kata Suabra, pensiunan Polisi itu.
Murid Sokola Asmat saat membuat kolam ikan di Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua. Foto: Faris Bobero
Meskipun masyarakat masih bisa mencari makan di hutan, namun mereka minim pendidikan formal sehingga menjadi suatu kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya. “Sayangnya masyarakat Mumugu minim akan pendidikan formal yang tidak tersedia. Masyarakat di sini belum berpikir akan perubahan yang akan datang, padahal daerah ini sudah mulai banyak pendatang seperti pedagang, pemburu kayu gaharu, dan para kontraktor,” katanya.
ADVERTISEMENT
Fasilitas Pendidikan
Persoalan lain di Mumugu Batas Batu pada tahun 2013, belum adanya guru dari pemerintah yang betul-betul ingin mengabdikan diri. Menurut masyarakat setempat, ada beberapa guru pernah datang bertugas di Mumugu Batas Batu dengan fasilitas tempat tinggal dan sekolah yang tersedia. Namun tidak mengajar secara serius.
“Dulu ada guru datang ke sini, mengajar cuma dua hari habis itu pulang tidak balik kesini lagi, habis itu ada yang datang lagi, karena cuma datang sebentar saja, masyarakat di sini pernah usir guru,” kata Kepala Suku Daniel Menja ketika ditemui guru SOKOLA di Jew/Rumah Bujang.
Murid murid Sokola Asmat menggunakan seragam bantuan, saat berada di gedung sekolah. Pada tahun 2013, belum ada guru ASN di Mumugu Batas Batu. Gedung tersebut digunakan sementara program Literasi Terapan oleh Sokola Rimba. Foto: Faris Bobero
Para guru tersebut hanya datang paling lama satu minggu bahkan hanya dua hari setelah itu tidak mengajar lagi. Hal itu berlangsung lama, hingga mengakibatkan anak-anak di Mumugu Batas Batu masih buta aksara hingga kini gedung sekolah terbengkalai.
ADVERTISEMENT
”Kalau guru datang hanya dua hari atau dua minggu, lebih baik tidak usah datang lagi,” ujar Kepala Suku.
Beberapa anak-anak seperti Yosepa Toraisop, Sempa Puih, Daniel Aribok, dan Natalis pernah bersekolah di Sekolah Tinggkat Dasar di Pusat Distrik Sawaerma. Namun karena alasan jarak sekolah yang jauh bahkan sering mendapat kekerasan dari guru, anak-anak ini memilih tidak bersekolah lagi.
Sempa bercerita bahwa ayahnya putus asa dan menyarankan Sempa tidak harus pergi sekolah di Sawaerma karena ayahnya sudah tua dan tidak mampu berburu. ”Bapak saya dengar dari Keuskupan Agast bahwa nanti ada guru SOKOLA RIMBA ke sini jadi saya belajar di sini saja,” kata Sempa Puih.
Selain itu, Yosepa Toraisop yang juga pernah sekolah di Sawaerma itu mengatakan, masih ingin melanjutkan sekolah hingga dapat mengejar cita-cita menjadi guru supaya ia dapat mengajar anak-anak kecil di Mumugu. ”Tapi saya takut masuk sekolah di Sawaerma, ada satu guru jahat sekali, saya dan teman-teman sering dipukul pakai kayu besar kalau kita bermain,” kata Yosepa.
ADVERTISEMENT
Peran Sokola Rimba
Keberadaan Guru SOKOLA yang bekerjasama dengan Keuskupan Agats, Asmat, bisa dikatakan melahirkan harapan baru bagi anak-anak Mumugu Batas Batu yang banyak menggantungkan harapan dan cita-cita.
Faris Bobero saat mengajar di program Literasi Terapan oleh Sokola Rimba di Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua. Foto: Lunk
Program Literasi SOKOLA Papua di Mumugu Batas Batu selama enam bulan, namun baru memasuki tiga bulan proses belajar-mengajar SOKOLA, perkembangan pengetahuan murid sudah sangat terlihat. Mereka sudah dapat membaca, menulis cerita/mengarang, berhitung-perkalian, dan pembagian angka.
Perkembangan anak-anak ini menjadi kabar baik di kampung tetangga, Mumugu bawa, Sawaerma maupun di Kabupaten Agats.. Anak-anak dari desa Sawaerma dan Mumugu Bawa, bahkan ada yang datang ke Mumugu Batas Batu, mereka meminta untuk diajarkan baca tulis oleh Guru SOKOLA.
Dalam proses mengajar, anak-anak murid SOKOLA dibagi dalam empat kelompok, pertama,kelompak bermain untuk tingkat anak di bawah umur 6 tahun, kelompok kedua, anak-anak umur 6 tahun ke atas dengan proses pengenalan huruf alphabet. Kelompok ketiga terdiri dari dua kelas, para murid yang sudah dapat membaca dua sampai tiga suku kata dan empat suku kata kelas sendiri. Kelompok ke empat, para murid yang sudah sampai di tinggkat belajar dikte, berhitung perkalian, dan pembagian angka.
Aktivitas anak-anak Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua. Foto: Faris Bobero
Proses belajar pun tidak mengenal ruang kelas, para murid lebih suka di ruang terbuka, belajar sambil bermain di seberang sungai, dan di hutan saat mencari makanan.
ADVERTISEMENT
Melihat perkembangan anak-anak, para orangtua pun ikut semangat menginginkan anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan sekolah, menyelesaikan pendidikan di bangku SMA bahkan ada orangtua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi guru, perawat, dan mantri supaya bisa membantu masyarakat Mumugu Batas Batu yang 90 persen mengidap penyakit kusta.
”Air mata saya sempat menetes, melihat beberapa orangtua sehabis bekerja angkat barang pedatang di pelabuhan kecil, mereka langsung menuju kios belanja buku tulis untuk anak-anak belajar,” ungkap Suabra. (*)
Penulis: Faris Bobero