Whataboutisme, ‘Menyelesaikan’ Masalah dengan Menambah Masalah

Jerrycho Tectone Akbar Jayanegara
Pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 15:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jerrycho Tectone Akbar Jayanegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perdebatan merupakan salah langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Perdebatan merupakan salah langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
PeduliLindungi merupakan aplikasi buatan pemerintah Indonesia yang berfungsi sebagai sarana untuk melacak pengguna yang terinfeksi COVID-19 guna menghentikan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Status warna hijau, kuning, merah, dan hitam akan diberikan kepada pengguna sesuai dengan kondisi kesehatan pengguna pada saat itu. Klasifikasi ini memungkinkan pemerintah Indonesia untuk menentukan langkah yang harus diambil untuk tiap status warna.
ADVERTISEMENT
Untuk memaksimalkan peran PeduliLindungi, pemerintah Indonesia menjadikan aplikasi yang sudah diunduh sebanyak 50 juta kali ini sebagai salah satu syarat wajib untuk menempuh perjalanan di Indonesia.
Mengingat pentingnya peran aplikasi ini, tentu mengagetkan rasanya jika Laporan Praktik Hak Asasi Manusia Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa aplikasi PeduliLindungi dituding melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan tersebut menyatakan bahwa aplikasi PeduliLindungi diduga mengambil data-data yang sifatnya sensitif dari pengguna. Selain itu, aplikasi ini juga dinilai bisa mengakses kamera dan melihat isi gawai tanpa sepengetahuan pengguna. Pemanfaatan data yang telah berhasil diambil oleh pemerintah Indonesia juga menjadi salah satu poin utama laporan tersebut.
Beberapa pihak otoritas Indonesia sempat memberikan tanggapan terkait laporan tersebut. Salah satu otoritas yang memberikan tanggapan adalah juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah. Teuku Faizasyah merespons laporan ini dengan bertanya "Apakah tidak ada kasus HAM di AS, serius?".
ADVERTISEMENT
Mendengar respons seperti ini, kemungkinan besar kita akan berpikir, "Benar juga, di sana (AS) juga pasti ada kasus pelanggaran HAM." Merupakan hal yang "normal" untuk berpikiran seperti itu di lingkungan masyarakat kita. Namun, apakah respons seperti ini merupakan respons yang tepat?

Respons yang Tepat

Coba bayangkan skenario ini. Suatu hari, Anda sedang dalam perjalanan pulang kampung mengendarai mobil Honda Brio yang dua hari lalu diserempet motor. Sehari sebelumnya, Anda sudah diingatkan oleh istri Anda untuk membawa mobil tersebut ke bengkel. Namun, Anda memutuskan untuk tidak melakukannya.
Di tengah perjalanan, mobil Anda tiba-tiba mogok, sesuatu yang anak TK pun tahu akan terjadi. Di tengah kondisi serba susah tersebut, istri Anda berkata, "Aku sudah kasih tahu buat bawa mobil ke bengkel. Lihat sekarang, rusak mobilnya!" Mendengar perkataan seperti itu, Anda berkata, "Tetapi, Kamis kemarin siapa yang bikin mobilnya keserempet motor?".
ADVERTISEMENT
Sekarang, apakah sanggahan tersebut terdengar masuk akal? Tidak, bukan? Sanggahan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperkeruh masalah dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang sedang Anda hadapi untuk menghindari menjadi pihak yang bersalah. Praktik ini lebih akrab dikenal dengan nama whataboutisme.

Whataboutisme

Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada festival sastra lit.Cologne di 'Guerzenich' pada 13 Maret 2013 di Cologne, Jerman. Foto: Ralf Juergens/Getty Images
Whataboutisme merupakan bentuk paling populer dari salah satu kesesatan logika, tu quoque. Whataboutisme (Bagaimana dengan…) adalah sebuah praktik yang dilakukan untuk mengaburkan kritik dan menghindari tanggung jawab dari suatu permasalahan dengan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain, umumnya terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pihak yang melontarkan klaim.
Teknik ini merupakan alat propaganda usang Uni Soviet yang acapkali digunakan untuk memutarbalikkan tuduhan yang dilontarkan oleh pihak Barat terhadap Uni Soviet dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Barat untuk menekankan bahwa "musuh" justru jauh lebih tidak beradab.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, poin utama dari whataboutisme adalah “Kamu tengik, aku tengik, kita semua tengik, tidak perlu berusaha menjadi lebih baik karena itu tidak mungkin.” Praktik ini berusaha untuk menyoroti kemunafikan pihak yang melontarkan klaim karena perbuatannya tidak konsisten dengan klaim dia keluarkan. Karena tidak ada pihak yang benar-benar luput dari kesalahan, praktik ini mengisyaratkan bahwa semua orang bebas untuk berbuat sesuka mereka.
Respons juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia merupakan manifestasi sempurna dari praktik whataboutisme. Pihak otoritas Indonesia dihadapkan dengan dugaan pelanggaran HAM dan menanggapinya dengan menunjukkan bahwa di Amerika Serikat juga ada pelanggaran HAM.
Amerika Serikat memang tidak luput dari kasus pelanggaran HAM, tetapi hal itu tidak lantas menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di aplikasi PeduliLindungi, bukan? Kita semua berhak membicarakan pelanggaran HAM yang pernah dilakukan Amerika Serikat, tetapi pembicaraan tersebut tidak boleh mengalihkan perhatian kita dari menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di aplikasi PeduliLindungi.
ADVERTISEMENT

Harga Mahal Whataboutisme

Plt. Jubir Kemlu, Teuku Faizasyah. Foto: Dok. Kemlu
Sayangnya, sanggahan seperti ini merupakan salah satu sikap mengelak dari tanggung jawab yang paling lumrah dilakukan oleh masyarakat. Sanggahan seperti ini dipilih karena terdapat perasaan lega saat mengetahui bahwa orang lain sama buruknya dengan kita. Lagi pula, bukankah Anda juga merasa lega saat mengetahui bahwa nilai ulangan teman sebangku sama jeleknya dengan nilai Anda?
Akan tetapi, merasa lega karena mengetahui bahwa nilai ulangan teman sebangku sama jeleknya dengan nilai kita bukan merupakan langkah yang konkret untuk menyikapi kehidupan. Perlu diingat, tujuan utama dari whataboutisme adalah bukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi untuk menghindari menyelesaikan suatu permasalahan. Apabila praktik seperti ini diteruskan, efek yang bisa ditimbulkan bersifat fatal dan kemungkinan sulit untuk dipulihkan.
ADVERTISEMENT
Praktik whataboutisme bisa menggerus kemampuan kita untuk menentukan hal-hal yang sifatnya penting karena segala bentuk kritik akan dibalas dengan kritik yang serupa. Praktik ini juga akan menggagalkan segala kesempatan untuk menggelar debat yang solutif karena semua orang lebih sibuk mencari kesalahan orang lain.
Selain itu, segala bentuk pertanggungjawaban akan sulit dilaksanakan karena pertanggungjawaban tersebut akan dipelintir dengan narasi yang bernada "Masih ada yang lebih buruk dari aku."
Dalam konteks bernegara, sanggahan seperti ini juga bisa berdampak pada kredibilitas Pemerintah Republik Indonesia di mata dunia internasional. Tentu diskusi mengenai suatu permasalahan hanya akan jalan di tempat jika salah satu pemimpin negara lebih sibuk mencari kesalahan negara lain daripada menanggapi permasalahan yang tersebut.
ADVERTISEMENT
Di titik ini, ada kemungkinan Anda berpikir bahwa saya hanya melebih-lebihkan tanggapan sederhana dari juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Namun, saya rasa Anda harus mendengar tanggapan lanjutan yang dia berikan.
Di kesempatan yang sama, juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan bahwa tidak ada negara yang sempurna dalam isu Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk Amerika Serikat. Benar, juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia secara tidak langsung menyatakan bahwa kita sebaiknya tidak perlu berusaha untuk berupaya menjadi lebih baik karena di luar sana masih ada yang lebih buruk dari kita, prinsip utama dari praktik whataboutisme.