'Compulsive Buying Disorder' (CBD): Fatal untuk Finansial dan Mental

JETTI FAJAR MUSTIKA
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
17 November 2021 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari JETTI FAJAR MUSTIKA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi orang yang sedang berbelanja online. Sumber: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang yang sedang berbelanja online. Sumber: ShutterStock
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa yang tidak suka belanja? Tentu semua orang suka belanja, entah itu untuk kebutuhan hidup ataupun sekadar memenuhi keinginan memiliki barang tersebut. Tapi, pernah nggak sih kalian rasanya ingin berbelanja terus-menerus? Padahal, barang yang kalian beli tidak terlalu dibutuhkan dan malah terkesan membuang-buang duit. Hati-hati terkena Compulsive Buying Disorder (CBD)!
ADVERTISEMENT
Perilaku CBD ditandai dengan keasyikan, dorongan, atau perilaku yang berlebihan dan tidak terkontrol dengan baik terkait belanja dan pengeluaran, yang mengarah pada konsekuensi merugikan. Jika tidak melakukan kegiatan berbelanja, orang dengan CBD akan merasa murung, sedih, dan gelisah. CBD diperkirakan memengaruhi 2 hingga 8% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat. Mengapa seseorang bisa berbelanja hingga tahap di mana ia terkena CBD? Jawabannya adalah, ketika kita melakukan hal yang kita sukai, contohnya di sini adalah berbelanja, maka secara otomatis tubuh akan melepaskan senyawa dopamin.
Dopamin adalah senyawa kimia di dalam otak yang memicu kegembiraan sesaat ketika kita melakukan hal yang kita anggap menyenangkan. Orang yang merasakan kegembiraan akan cenderung bertindak repetitif atau mengulang-ulang hal yang membuatnya gembira. Nah, dari tindakan repetitif tersebut, lama-lama seseorang akan kehilangan kontrol kapan ia akan berhenti melakukan kegiatan berbelanja. Di tahap ini seseorang mencapai tahap Compulsive Buying Disorder (CBD).
ADVERTISEMENT
Apakah seseorang dengan CBD bisa disembuhkan? Bisa. Melalui terapi/treatment dari ahli seperti psikolog maupun psikiater. Namun, orang dengan CBD pada umumnya sudah tahu bahwa perilaku berbelanja tanpa kontrol mereka dapat berdampak buruk, tetapi mereka tidak tahu bagaimana harus berhenti dan kapan akan berhenti. Momok menakutkan akibat CBD yaitu masalah finansial dan mental. Sebelum majunya teknologi seperti sekarang khususnya dalam kegiatan berbelanja, orang-orang selalu membeli barang dengan pembayaran cash, sehingga lekat dengan istilah “tidak punya uang = tidak bisa membeli”.
Berbeda di era sekarang, mulai merebak market place yang menyediakan fitur pay later, yaitu fitur yang bisa digunakan untuk membeli barang dengan pembayaran di akhir. Selain itu, banyak bermunculan pinjaman online yang memberikan pinjaman uang tunai dengan syarat yang mudah. Dua fitur tersebut mematok bunga tagihan yang tinggi sekitar 3% dari harga setiap satu barang. Lahirnya fitur pay later dan pinjaman online dianggap mempermudah orang dengan CBD dalam memenuhi hasrat berbelanjanya sehingga semakin menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
Padahal, dua fitur tersebut merupakan "jebakan batman" yang membuat seseorang akan terus-menerus berbelanja tanpa memikirkan tagihan uang yang akan mereka bayar pada jatuh tempo. Hal tersebut menimbulkan tidak stabilnya finansial, di mana lebih besar pengeluaran berbelanja daripada pemasukan. Jika kondisi finansial seperti itu terjadi secara menerus, maka bukan tidak mungkin akan mengalami kebangkrutan bahkan lilitan utang. Aksi dari penagih pinjaman online juga dapat memengaruhi mental dari si peminjam, yaitu dengan cara menelepon terus-menerus, melontarkan kata-kata kasar, hingga tidak segan untuk mengobrak-abrik rumah nasabah sampai melukainya.
Menyeramkan banget ya, efek dari Compulsive Buying Disorder (CBD)? Untuk itu, ada beberapa tips agar kalian tidak terjerumus dalam perilaku CBD ini. Bagaimana caranya? Yang pertama, usahakan melakukan pembayaran secara cash maupun debit, dengan pembayaran tersebut kita benar-benar fokus membeli barang sesuai dengan jumlah uang yang kita punya, jika jumlah uang yang kita punya tidak cukup untuk membeli barang-barang yang kita inginkan, hal itu akan menjadi "warning" kita untuk stop dalam berbelanja.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, jangan gunakan fitur pay later, pinjaman online, dan sejenisnya. Fitur-fitur tersebut membuat kita terperdaya untuk terus berbelanja tanpa memikirkan kemampuan finansial kita ke depannya. Yang ketiga, buatlah catatan keperluan apa saja yang akan kita beli saat berbelanja. Catatan ini berguna bagi kita untuk fokus tentang apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekadar gelap mata dalam membeli barang.
Untuk teman-teman khususnya para remaja, berhati-hati terkait kegiatan berbelanja, ya. Jangan sampai terjerumus dalam perilaku Compulsive Buying Disorder (CBD) yang akan merugikan kita secara finansial dan mental. Usahakan untuk fokus membeli apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Kelola uang dengan baik dan jangan tergiur oleh fitur atau promo belanja yang berkeliaran di situs belanja online dan tempat perbelanjaan.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Christenson GA, Faber RJ, de Zwaan M, Raymond NC, Specker SM, Ekern MD, Mackenzie TB, Crosby RD, Crow SJ, Eckert ED, et al. Compulsive buying: descriptive characteristics and psychiatric comorbidity. J Clin Psychiatry. 1994 Jan;55(1):5-11. PMID: 8294395. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8294395/
Mueller A, Mitchell JE, Marino JM, Ertelt TW. (2010). Compulsive Buying. Encyclopedia of Behavioral Neuroscience. 317-321. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-045396-5.00178-0