World Mental Health Day

Laki-laki dan Kesehatan Jiwa

11 Oktober 2019 10:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
World Mental Health Day Foto: Dok. Jiemi Ardian
zoom-in-whitePerbesar
World Mental Health Day Foto: Dok. Jiemi Ardian
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu tangga lagu di Indonesia dihiasi oleh lagu 'Aku Bukan Superman'. Lagu tersebut menceritakan tentang laki-laki yang menangis karena ditinggal pacarnya. Namun, di balik lagu dengan template biasa (putus-galau-nangis) ini, ada lirik yang membuat saya tergelitik
ADVERTISEMENT
Sejak muda kita menanamkan pesan kepada anak laki-laki, bahwa tangisan adalah kelemahan. Kita menanamkan pesan bahwa kesedihan dan emosi lainnya adalah tanda seseorang kurang laki-laki. Pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada generasi selanjutnya tentang laki-laki yang tidak boleh menangis? Tidak boleh merasakan emosi? Lantas kita heran jika banyak laki-laki terjebak dalam masalah alkohol, perkelahian, ketidakhadiran dalam pengasuhan, atau bahkan tindak kriminal? Generasi laki-laki seperti apa yang kita harapkan jika kita para laki-laki tidak diizinkan untuk merasakan emosi layaknya manusia?
ADVERTISEMENT
Laki-laki dan Bunuh Diri
Beragam penelitian telah menunjukkan krisis kesehatan jiwa pada laki-laki, termasuk juga masalah penggunaan narkotika dan zat adiktif, dan rendahnya akses layanan yang digapai oleh laki-laki. Sekalipun dianggap lebih kuat dan tangguh seperti superman, menurut American Foundation of Suicide Prevention laki-laki 3,54 kali lebih sering meninggal akibat bunuh diri ketimbang perempuan.
Dalam perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2019, yang bertemakan “Focus on Suicide Prevention” tidak lengkap tanpa menyinggung kelompok laki-laki, yang selalu kuat dan tangguh ini. Secara sosial kita lebih bisa menerima anak perempuan yang menangis ketimbang laki-laki yang menangis. Secara naluriah banyak orang akan berkata spontan “cowok enggak boleh nangis”, sementara respons yang akan sangat berbeda didapatkan ketika anak perempuan menangis. Tidak heran seorang anak laki-laki tumbuh dengan luka yang terbawa hingga dewasa, tanpa kesadaran bahwa emosi ini sesuatu yang harus dikenali.
ADVERTISEMENT
Stereotype tentang laki-laki yang cenderung menumpuk emosinya dan perempuan yang lebih mudah bercerita juga ada benarnya. Menimbulkan masalah tersendiri ketika bicara tentang isu bunuh diri. Kita laki-laki memiliki lebih sedikit opsi untuk bercerita, karena mengakui emosi bisa berarti kelemahan. Kita lebih takut dikatakan orang lain lemah, ketimbang jujur mengakui bahwa emosi ini wajar dan kita butuh pertolongan.
Asumsi masyarakat modern bahwa kita adalah pribadi yang mandiri dan mampu menanggulangi permasalahan sendiri juga sesuatu yang sangat mengakar dalam cara berpikir toxic masculinity. Laki-laki dituntut mampu soliter, mandiri, kokoh, dan tidak tertandingi. Jika tidak, maka dia dianggap kurang laki-laki. Padahal tidak ada seorang pun yang mampu bertahan sendiri. Setiap kita membutuhkan orang orang lain, untuk saling mendukung dan menolong. Tidak ada orang yang layak ditinggalkan sendiri, kita butuh kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Laki-laki dan Pencarian Pertolongan
Dalam pencarian pertolongan kesehatan fisik, laki-laki 32 persen lebih jarang ke dokter ketimbang perempuan. Bukan karena laki-laki lebih sehat, tapi karena ketidakmampuan dalam mengekspresikan keluhan atau ketakutan dianggap lemah menjadi hambatan mencari pertolongan. Pencarian pertolongan kesehatan jiwa oleh laki-laki? Saya bisa membayangkan angkanya lebih rendah daripada ini. Kita sebagai masyarakat sedang meletakkan laki-laki dalam posisi yang sangat rentan untuk mengalami masalah emosional, dan di saat yang bersamaan membuat mereka juga sulit menggapai pertolongan karena tabu yang diciptakan dalam mengungkapkan emosi.
Jika seseorang tidak mengerti apa yang dia rasakan dan alami, tidak memahami bahwa sedang mengalami stres, wajar saja jika dia tidak tahu bagaimana mencari pertolongan. Hal ini pula yang menjadikan laki-laki lebih rentan mengalami ketergantungan zat, karena kecenderungan self medication dari rasa sakit emosional yang dirasakan. Laki-laki dua sampai tiga kali lebih mungkin mengalami ketergantungan alkohol ketimbang perempuan, padahal ketergantungan alkohol memperburuk kondisi depresi, gangguan tidur, kecemasan, dan masalah emosional yang dialami, dan juga mempertinggi risiko kebunuhdirian.
Ilustrasi depresi Foto: Hailey Kean
Stigma dan Tantangan
ADVERTISEMENT
Cara pandang bahwa laki-laki harus kuat, tidak boleh menunjukkan sisi emosional, tangguh, mampu bertahan sendiri, kokoh, dan seterusnya itu sudah terlalu berlebihan dan ketinggalan zaman. Dunia yang cepat ini membutuhkan orang orang yang mampu berkolaborasi, tidak cocok dengan semangat kompetisi sendiri-sendiri ala laki-laki. Dunia yang kita hidupi juga berbahagia karena keterhubungan, bukan kesendirian. Pandangan lama tentang laki-laki harus kuat dan non-emosional sudah layaknya ditinggalkan saja.
Gangguan jiwa bukan kelemahan, ada banyak faktor biologi yang saling kait-terkait disana. Gangguan hormonal, fungsi saraf, genetik, dan lain sebagainya, sehingga menganggap gangguan jiwa sebagai bagian dari kelemahan laki-laki adalah kesalahan pikir yang keliru. Mengetahui gangguan ini dan mengatasinya bukanlah tanda kelemahan, melainkan kesadaran.
ADVERTISEMENT
Mengakui kelemahan bukanlah tanda kelemahan, itu tanda kesadaran. Mengakui butuh bantuan juga bukan tanda kelemahan, itu tanda kita mampu memahami batasan diri dan bertumbuh melampauinya. Justru pura-pura kuat, berusaha sendiri, menyangkal sisi emosional dan mengabaikan kesejahteraan jiwa, inilah tanda kelemahan. Kita tidak kuat dengan pura pura kuat, kita kuat dengan menyadari kelemahan dan bertumbuh bersama-sama melampauinya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Membantu laki-laki yang terhambat stigma, perlu dimulai dari mengizinkan pria dalam menunjukkan emosinya. Para pria perlu diberi ruang dan kesempatan untuk belajar bahwa menunjukkan emosi dan kerentanan bukanlah sebuah kesalahan. Kita perlu berani untuk merasa berhak menjadi tidak sempurna, dan juga kemudian bertumbuh darinya. Kita bisa memulai dengan mengizinkan diri sendiri menangis di bioskop tanpa perlu menahan air mata, jika saya merasa film itu menyentuh. Dengan mengizinkan diri terlihat rapuh menangis di bioskop, kita sedang mengizinkan diri sendiri merasakan emosi, mengizinkan diri menjadi manusia.
ADVERTISEMENT
Beberapa laki-laki ada yang berani membuka diri dengan permasalahannya (kepada orang yang tepat), dan itu juga baik. Dengan menyadari bahwa banyak orang mulai terbuka dengan permasalahan jiwa yang dialami, dan kemudian dengan mendapat pertolongan berhasil membuatnya kembali meraih bahagia, kita akan belajar bahwa tidak apa untuk mencari pertolongan. Justru dengan diam dan berusaha tegar, jika berlebihan, dapat merusak kesehatan dan kesejahteraan hidup.
Walaupun demikian mungkin beberapa orang merasa tetap sulit untuk terbuka dan bercerita dengan teman, beberapa platform online saat ini sudah ada dan kita bisa memulai dari sana. Paling tidak kita punya banyak opsi pada masa kini untuk berbagi kisah, cerita, atau konseling. Layanan seperti ibunda.id bahkan sekarang sudah mempunyai curhat call, atau jika kita memutuskan untuk menemui secara langsung bisa juga dengan counseling corner di beberapa co-working space di beberapa kota. Sehingga kita bisa pergi konseling, tanpa tampak pergi konseling.
ADVERTISEMENT
Pertolongan terhadap masalah kesehatan jiwa itu tersedia dan mudah dijangkau, kita hanya perlu mengizinkan diri untuk ditolong. Karena semua orang berhak kembali bahagia.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten