Apakah prasyarat utama seorang raja yang ideal? Jawabannya akan dirujuk orang Jawa ke dalam naskah kuno mereka, yaitu Astabrata atau “delapan kebajikan negarawan”.
Baru-baru ini terbit kajian naskah-naskah skriptorium Pakualaman dari periode Paku Alam II (1830–1858). Di dalamnya dibahas naskah Sestra Ageng Adidarma setebal 346 halaman. Naskah ini memuat Astabrata tetapi juga menaruh sejumlah piwulang atau karya didaktik yang semua berpusat pada pendidikan moral. Salah satunya adalah dongeng Blegeduwong. Juru tulis Jayengminarsa mulai menulisnya pada 17 April 1841 dalam ragam bahasa Jawa krama dan ngoko atas prakarsa Paku Alam II.
Dongeng itu bercerita tentang seorang pejabat yang diberhentikan karena melakukan pembohongan publik. Ia menggelapkan pajak. Meskipun telah diberhentikan dan coreng oleh dosa kebohongannya, tetapi ia tidak kapok melakukan kebohongan kembali. Sebab itu penduduk memburunya. Namun, ia selalu lolos. Caranya dengan melakukan kebohongan secara berkelompok dan kembali merugikan banyak orang. Salah satunya dengan menyamar sebagai Blegeduwong atau burung raksasa milik raja. Sekujur tubuhnya dilumuri getah kemudian ditempelkan bulu ayam. Blegeduwong ini kemudian dimasukkan ke sangkar besar dan dibawa keliling sebagai tontonan penduduk, dengan perjanjian jika lepas harus membayar ganti rugi. Setiap desa akhirnya harus membayar ganti rugi karena Blegeduwong lepas. Si pejabat pembohong selamat dari hukum tetapi hidupnya menuai karma: seumur-umur ia terus jadi pelarian.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814