kumplus- Opini JJ Rizal- Keraton Surakarta

Negara Teater Vorstenlanden Republik

JJ Rizal
Sejarawan. Pengelola penerbit Komunitas Bambu.
16 Februari 2022 16:12 WIB
·
waktu baca 8 menit
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pada 15 Februari 1755, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Hartingh, mewakili VOC sebagai juru damai pertikaian keluarga Raja Jawa—Pakubuwana III dengan Sultan Mangkubumi—tiba di Jatisari, desa yang berada di antara Surakarta dan Giyanti. Tibalah saatnya setelah lama ditunggu-tunggu semua orang. Perdamaian telah kembali tercapai. Tanah Jawa yang permai akan keluar dari karut-marut perang. Setelah bicara dalam bahasa Jawa halus, Hartingh mengambil kedua tangan raja yang sesungguhnya bersaudara, paman dengan keponakan, mengajak mereka berdiri dan akhirnya saling bersalaman. Canggung tetapi rekonsiliasi resmi telah dicapai. Keduanya berjanji akan bahu-membahu untuk melawan keluarga mereka lainnya, Mas Said, pemberontak besar serta paling kuat yang masih bergerilya di gunung-gunung. Sebagai penutup pengalaman yang sulit dan emosional serta belum pernah ada dalam sejarah Jawa itu, segelas bir pun diteguk.
Namun kedua raja itu tidak perlu bahu membahu melawan Mas Said. Pemberontak ini, atas kemauannya sendiri, memasuki meja perundingan dengan VOC pada 1756. Ia menuntut sepertiga Kerajaan Jawa. Sulit diterima VOC. Jawa jangan sampai terbagi lagi. Pada Maret 1757, Hartingh kembali ditugaskan memimpin perundingan sekaligus rekonsiliasi di Salatiga. Pakubuwana III sepakat menemui Mas Said, tetapi Sultan Mangkubumi menolak. Baginya berdamai dengan Mas Said sama saja dengan menyudahi cita-cita menjadi penguasa tunggal Jawa. Mas Said dari perundingan itu mendapat gelar Mangkunagara dan menguasai 4.000 cacah dari wilayah Pakubuwana III serta mendirikan kepangeranan di dalam kota Surakarta. Demikianlah pembagian Jawa yang dikendalikan VOC mencapai bentuk yang permanen melalui perundingan-perundingan yang menghasilkan hukum formal dan menetapkan serta mengatur perbatasan-perbatasan tiga kerajaan Jawa Tengah. Wilayah ini kemudian disebut Vorstenlanden atau “Tanah Raja-Raja” yaitu Surakarta, Mangkunagara, dan Yogyakarta.
Sarjana antropologi John Pemberton menyebut setelah perundingan itu, raja-raja Jawa memasuki suatu masa Negara Teater. Aspek teater atau panggung dengan upacara, pertunjukan, arak-arakan, simbol-simbol menjadi inti eksistensi. Rakyatnya pun diarahkan seakan-akan hidup untuk mengikuti teater. Sultan Mangkubumi memilih pembangunan infrastruktur sebagai panggungnya. Ia menjelma dari seorang panglima perang menjadi sultan dengan ambisi menjadi raja pembangunan bangunan monumental terbesar dalam tradisi dan sejarah Jawa. Pembuatan bangunan-bangunan besar dan spektakuler adalah unsur yang esensial dalam menunjukkan haknya untuk diakui sebagai seorang raja. Catatan Hartings mengamini soal Mangkubumi sebagai pecinta besar bangunan-bangunan spektakuler yang mahal sebagai bagian dari tujuannya untuk “mendudukkan dirinya sebagai seorang penguasa”.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
check
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
check
Bebas iklan mengganggu
check
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
check
Gratis akses ke event spesial kumparan
check
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten