“Semua akan baik-baik saja sekarang,” kata Achmad Mochtar pada ilmuwan Eijkman Instituut di penjara Kempetai.
Boleh jadi itu kalimat penghiburan, tetapi juga ungkapan optimisme seorang dokter-ilmuwan yang disertasinya di Belanda mematahkan hipotesis Noguchi Hideyo, ilmuwan besar Jepang yang berkali-kali dinominasikan Nobel untuk kajiannya soal leptospira dan kaitannya dengan demam kuning. Dokter-ilmuwan pribumi itu, yang ketika Jepang datang memimpin Eijkman Instituut, lembaga kedokteran dan higiene tropis paling prestisius di dunia karena dampak dan keunggulannya dalam hal kesehatan masyarakat tropis, yakin kelak Indonesia bisa merdeka sains dihormati.
Mochtar dipancung Kempetai di Ancol pada 3 Juli 1945. Di tempat lain di Jakarta, di waktu yang bersamaan, Badan Untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tengah bersidang menyiapkan UUD untuk Indonesia yang dekat akan merdeka. Pembukaannya menyebut bahwa salah satu alasan utama dibentuknya pemerintah Indonesia adalah “...untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sampai di sini para anggota BPUPK, mereka yang kelak disebut sebagai “Pendiri Bangsa” ini, tengah menegaskan nilai utama yang disebut Jawaharlal Nehru dalam bukunya The Discovery of India (1946) sebagai scientific temper atau perangai ilmiah. Sebuah perangai yang dijabarkan sebagai perihal penting dalam membangun India merdeka.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814