
Saat rezim Orde Baru mulai berkuasa, Indonesia baru berusia 23 tahun. Negara yang masih muda sangat rentan dengan isu-isu stabilitas politik, sosial, dan kesejahteraan rakyat. Guna menghadapi rezim Orde Lama pimpinan Soekarno yang cenderung stagnan dalam perkembangan isu-isu itu, konsep stabilitas politik dijadikan senjata utama dalam menggerakkan mesin politik era Orde Baru.
Sebagaimana yang dilakukan banyak negara di dunia, pemerintah baru menjadi antitesis pemerintah lama. Beberapa hal yang dilarang di masa sebelumnya (Orla) diberi karpet merah di pemerintahan Soeharto. Bahkan muncul istilah de-Soekarnoisasi, yakni menghapuskan segala pengaruh Soekarno dalam tatanan politik negara.
Panji-panji stabilitas politik ternyata tidak hanya berimbas pada kondisi sosial politik saja, tapi juga ekonomi, hukum, sampai seni budaya. Jika Soekarno melarang musik “ngak ngik ngok” macam Beatles dan Elvis yang sarat semangat nekolim, Orde Baru memposisikan musik pop sebagai barang haram yang harus dihindari. Penyanyi kondang Betharia Sonatha dengan tembang “Hati yang Luka” menjadi contoh paling nyata. Lagu ini seperti najis akut yang harus dimusnahkan. Ia diberi merek “Lagu Cengeng” dan dilarang untuk diputar di stasiun TV negara (TVRI).
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814