Luna 25, Rusia dan Penguasaan Teknologi Antariksa

Jonathan Jordan
Research Fellow for Area Studies, INADIS. Peminat kajian Rusia, Eropa Timur dan Eurasia
Konten dari Pengguna
14 Agustus 2023 10:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonathan Jordan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ruang pameran di Memorial Museum of Cosmonautics, Moskow, Rusia (20/4/2023). Museum ini menghadirkan koleksi dan alat peraga terkait program antariksa Rusia, Foto hasil jepretan pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ruang pameran di Memorial Museum of Cosmonautics, Moskow, Rusia (20/4/2023). Museum ini menghadirkan koleksi dan alat peraga terkait program antariksa Rusia, Foto hasil jepretan pribadi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 11 Agustus 2023, Badan Antariksa Rusia (Roscosmos) meluncurkan wahana antariksa nirawak Luna 25 menuju Bulan dari bandar antariksa Vostochny, timur Rusia. Luna 25 adalah misi pertama Rusia ke Bulan sejak pendahulunya, Luna 24, tahun 1976-saat Rusia masih berbentuk Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Luna 25 akan masuk orbit bulan pada 16 Agustus dan akan mengupayakan pendaratan di kutub selatan Bulan dekat kawah Boguslavsky pada 21 Agustus, dan menjadi wahana pertama yang mendarat di sekitar kutub selatan Bulan. Kawasan ini dipilih karena potensi adanya air beku di sekitarnya, yang bisa menjadi sumber daya alam potensial dan membantu misi-misi berawak ke Bulan di masa depan.
Misi Luna 25 merupakan salah satu dari berbagai misi serupa ke Bulan yang dilakukan oleh banyak negara di abad ke-21, seiring penguasaan teknologi antariksa yang meningkat.
Amerika Serikat mempunyai program Artemis yang ingin melanjutkan sukses program Apollo di tahun 1960-an dan 1970-an, Tiongkok punya program Chang’e yang menjadi simbol kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan antariksa, begitu pula India yang mempunyai program Chandrayaan yang sendirinya ingin juga mendarat di kutub selatan Bulan seperti Luna 25.
ADVERTISEMENT
Luna 25 sendiri adalah bagian dari serangkaian proyek Luna-Glob-setelah ini Rusia akan meluncurkan Luna 26 hingga Luna 29 yang akan melaksanakan tugas yang lebih rumit. Misi berawak ke Bulan juga sedang direncanakan oleh sejumlah negara, seperti Amerika Serikat yang ingin kembali melaksanakan pendaratan manusia di Bulan melalui program Artemis, dan proyek ambisius International Lunar Research Station (ILRS) yang dipelopori Tiongkok dan Rusia, yang dikatakan akan ‘melebihi program Apollo’ Amerika Serikat.
Melihat Luna 25 dan proyek serupa, ada beberapa hal penting yang dapat menjadi refleksi di tengah meningkatnya kembali persaingan internasional dalam penguasaan teknologi antariksa.
Pertama, bagi Rusia sebagai negara yang meluncurkan misi, hal ini menunjukkan Rusia tetap merupakan kekuatan antariksa di tengah tantangan internal yang dihadapinya.
ADVERTISEMENT
Kedua, bagi dunia, persaingan teknologi antariksa dapat menjadi tantangan dan peluang di saat yang sama untuk kerja sama internasional, ketika geopolitik di Bumi sendiri sedang mengarah menuju konfrontasi.
Ketiga, bagi Indonesia sendiri, sudah waktunya melakukan peremajaan teknologi antariksa, khususnya dengan manfaat yang bisa didapat dan visi “Indonesia Maju” Indonesia 2045.
Rusia meluncurkan misi Luna 25 di tengah tekanan dan sanksi internasional atas perang Rusia di Ukraina, yang mengakibatkan kesulitan ekonomi di negara tersebut.
Kesulitan yang dihadapi Rusia membuat sebagian pakar menilai Rusia tidak lagi diperhitungkan sebagai kekuatan dunia yang selevel dengan AS dan Tiongkok dalam percaturan internasional modern dan hanya menjadi kekuatan destruktif yang menimbulkan kekacauan, seperti di Ukraina.
ADVERTISEMENT
Namun, melalui penguasaan teknologi antariksa, Rusia berusaha mematahkan stereotipe tersebut dan membuktikan masih ada hal positif yang dapat ditawarkannya untuk dunia dan menjadi daya tarik untuk kerja sama internasional.
Sejatinya, ketahanan Rusia yang tetap mampu menjalankan program antariksanya tidak mengejutkan, mengingat Rusia mempunyai tradisi yang sangat kuat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi antariksa.
Rusia meluncurkan satelit pertama (Sputnik) tahun 1957 dan antariksawan pertama, Yuri Gagarin, tahun 1961. Meskipun program antariksa Rusia menghadapi tantangan finansial imbas sanksi yang mengakibatkan beberapa penundaan proyek (termasuk Luna 25 sendiri yang seharusnya diluncurkan pada akhir 2010-an), namun misi-misi terbaru terus dikembangkan.
Selain program Bulan, Rusia juga merencanakan misi Venera-D ke Venus yang juga menghidupkan kembali program Venera era Soviet, program antariksa berawak menggunakan pesawat antariksa baru (Federation) dan proyek teleskop antariksa Spektr yang sudah berjalan sejak 2019. Komitmen untuk program antariksa dapat dilihat sebagai bentuk ketahanan nasional dan tetap relevannya Rusia sebagai kekuatan global.
Misi pendaratan bulan Rusia Luna 25. Foto: Dok. NPO Lavochkin
Bagi dunia, meningkatnya perhatian internasional pada misi antariksa dapat menjadi pisau bermata dua, Sejatinya, sejak dimulainya era antariksa tahun 1957, antariksa sudah menjadi panggung persaingan geopolitik kekuatan besar saat itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet,
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, persaingan ini dapat menjadi ancaman, terutama penggunaan antariksa sebagai tempat penyimpanan senjata pemusnah massal ataupun teknologi yang dapat menjadi ancaman bagi manusia, seperti rudal penjelajah antar benua dan satelit-satelit militer yang menjadi sumber data untuk peperangan.
Menghadapi situasi seperti ini, perlu ditekankan penghormatan terhadap hukum internasional yang berlaku, seperti Traktat Antariksa 1967 yang melarang penggunaan antariksa untuk penyimpanan senjata pemusnah massal, serta memanfaatkan forum internasional seperti Komite PBB untuk penggunaan antariksa secara damai (UNCOPUOS).
Namun, di sisi lain, persaingan internasional di antariksa bisa menjadi peluang kerja sama internasional, Sejarah membuktikan bagaimana persaingan geopolitik tidak menjadi hambatan kerja sama, seperti proyek Apollo-Soyuz tahun 1970-an dan Stasiun Antariksa Internasional (ISS) yang diprakarsai AS dan Rusia.
ADVERTISEMENT
Melalui kerja sama internasional di antariksa, hal ini akan menekankan perspektif bahwa umat manusia merupakan saudara, wakil Bumi, yang ingin menjelajah ke dunia-dunia yang lain.
Kerja sama ini juga dapat membantu pemecahan masalah internasional yang butuh tanggung jawab dan kolaborasi internasional, terutama tantangan perubahan iklim yang sangat krusial untuk ditangani di abad ke-21.
Terakhir, bagi Indonesia, penting untuk secara serius meningkatkan perhatian terhadap teknologi antariksa, terutama dengan visi Indonesia Maju 2045. Penguasaan teknologi antariksa merupakan hal mutlak dalam menentukan kemajuan peradaban suatu negara, mengingat semua negara maju memiliki program antariksa yang baik.
Peluncuran satelit yang rutin dilakukan Indonesia sejatinya menjadi tren positif yang harus ditingkatkan. Dapat pula dipertimbangkan pengiriman antariksawan Indonesia, seperti yang sudah dilakukan Vietnam dan Malaysia, yang dapat menjadi sumber kebanggaan nasional dan kontribusi nyata Indonesia bagi kemajuan teknologi antariksa.
ADVERTISEMENT
Dalam pengembangan program antariksa, pemerintah harus menyediakan dukungan penuh bagi lembaga terkait, khususnya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Namun, peleburan LAPAN bersama beberapa instansi sejenis ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih bermasalah dan justru dituding menghambat inovasi karena lebih bermuatan politis.
Oleh karena itu, tantangan birokrasi juga perlu dihadapi supaya Indonesia dapat lebih leluasa dalam merencanakan proyek-proyek antariksa yang bermanfaat tidak hanya untuk Indonesia, namun juga dunia.