news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Self Diagnosis terhadap Kondisi Kesehatan Mental di Era Digital

Jorot Tua Parasian Simorangkir
Mahasiswa Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
27 November 2022 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jorot Tua Parasian Simorangkir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada era digital ini, tidak dihiraukan lagi sudah banyak orang yang menggunakan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter sebagai alternatif/sumber informasi, salah satunya informasi mengenai masalah kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2020, awal masa pandemi Covid-19, masalah kesehatan mental menjadi topik yang seringkali dibahas di media sosial dan membuat banyak orang terutama di kalangan remaja melakukan diagnosis diri terhadap kesehatan mental mereka. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan diagnosis diri karena merasa berhubungan dan mengalami hal yang sama dengan kreator konten yang mereka lihat di media sosial. Diagnosis diri atau self diagnosis sendiri adalah taksiran yang menunjukkan bahwa individu menderita suatu penyakit hanya berlandaskan informasi yang ia dapat sendiri (Halodoc, 2021).

Apakah self diagnosis berbahaya?

Tujuan dari diagnosis ahli adalah untuk menentukan rangkaian pengobatan yang tepat, karenanya self diagnosis, yaitu mendiagnosis diri Anda sendiri tanpa rangkaian pengobatan apa pun dan oleh karena itu tidak berguna dan hanya memperburuk situasi. Dikatakan bahwa self diagnosis dapat memperburuk situasi yang sebenarnya karena seseorang dapat membesar-besarkan apa yang sebenarnya tidak terjadi. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit yang lebih besar karena skenario yang dibuat sendiri.
ADVERTISEMENT

Bagaimana proses self diagnosis melalui media sosial?

Ilustrasi Konten tentang Penyakit Mental. Dokumen Pribadi
Pada konten di TikTok terdapat kreator konten yang mengidap penyakit mental seperti BPD (Borderline Personality Disorder) menceritakan gejala yang dialami dan beberapa gejala tersebut berkenaan dengan orang-orang yang merasa mengalaminya juga. Orang-orang yang merasa memiliki penyakit mental yang sama ini hanya berspekulasi dengan informasi yang mereka dapatkan dari media sosial tanpa adanya tindakan lanjut seperti pergi ke psikolog/psikiater. Hal inilah yang berdampak buruk bagi mereka sendiri karena mereka melebih-lebihkan keadaan diri mereka padahal kenyataannya tidak demikian. Tidak hanya itu, self diagnosis membuat seseorang berpikir bahwa keadaan mentalnya baik-baik saja tetapi kenyataannya, ia mengalami masalah kesehatan mental.

Apa saja yang seharusnya dilakukan alih-alih self diagnosis?

Maka dari itu, berhentilah melakukan self diagnosis dan pergilah ke tenaga profesional seperti psikolog/psikiater jika Anda mengalami gangguan seperti:
ADVERTISEMENT
Kesimpulan yang bisa didapat dari fenomena ini adalah, tindakan diagnosis atas kesehatan mental hanya dapat dilakukan oleh tenaga profesional seperti psikolog/psikiater melalui proses dan jangka waktu yang tepat. Berhentilah menggunakan penyakit mental sebagai identitas yang "keren" dan menganggapnya sebagai sebuah tren karena hal ini juga berdampak kepada orang-orang yang benar-benar memiliki penyakit mental. Dengan datang ke para ahli dan menceritakan dengan jujur sudah membantu diri kita selangkah lebih maju dan membantu orang-orang disekitar kita juga.
Referensi
dr. Makarim, F. (12 Oktober 2021). Bahaya Self-Diagnosis yang Berpengaruh pada Kesehatan Mental. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental
ADVERTISEMENT
Darmadi, D. (06 Januari 2022). "Self Diagnosis" dan Pamer "Mental Illness". detiknews. https://news.detik.com/kolom/d-5886182/self-diagnosis-dan-pamer-mental-illness/amp
Marshed. (2020). Talking About Insanity. Youtube. diakses pada 12 Juni 2022. https://youtu.be/5dDWQppINM8