Menjadi Besar dengan Pikiran: Tiongkok dalam Estafet Ideologi

Jovial Elshadai Lalenoh
Religious Studies Pedagogue - Mahasiswa Master di STF Driyarkara Jakarta.
Konten dari Pengguna
25 November 2023 14:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jovial Elshadai Lalenoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: AI reconstruction
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: AI reconstruction
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perhatian internasional tertuju kepada Tiongkok ketika mencetak lonjakan GDP sepuluh kali lipat semenjak era Deng Xiaoping. Sekarang tinggal masalah waktu bagi Tiongkok untuk melampaui negara adikuasa tunggal, Amerika Serikat. Dunia mengira kemampuan bertransaksi Tiongkoklah yang menjadi pemicu tunggal kemajuan.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa faktor kemajuan Tiongkok memiliki pemicu majemuk. Salah satu yang paling penting dan akan dibahas di sini adalah estafet pemikiran sejak Tiongkok mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Sosialisme. Benang merah setiap pewaris pemikiran adalah bagaimana mereka mengadopsi, memodifikasi, dan mengimplementasikan secara ketat ‘karakteristik Tiongkok’ dalam ajaran negara. Tulisan ini membahas bagaimana warisan ajaran Sosialisme dari era Mao Zedong, Deng Xiaoping, Jiang Zemin, hingga Xi Jinping, diestafetkan sehingga menyuburkan pertumbuhan Tiongkok.
Mao Zedong (1949-1976), peletak dasar paham Sosialisme sebagai ajaran resmi negara Tiongkok, menekankan pemikirannya pada ‘kontradiksi’: ajaran Karl Marx yang melihat pergulatan antara kelas pemilik alat produksi dan kelas pekerja dalam materialisme sejarah. Dalam On Contradiction, Mao mengatakan perubahan dalam alam berisi kontradiktif, sama halnya dengan perubahan masyarakat. Dalam masyarakat kontradiksi tersebut adalah daya produksi dan relasi produksi antar kelas, dan antara yang lama dan yang baru (Mao 1967, 87).
ADVERTISEMENT
Perseteruan tersebut merupakan gerak antagonisme internal yang terus ada dan terselesaikan seiring berjalannya sejarah. Ini membuka kemungkinan bahwa pemikirannya sendiri juga memuat pertentangan internal yang nantinya dapat dimodifikasi dan diadaptasikan sesuai dengan ‘karakteristik Tiongkok’ (Zhoungguo tese, 中国特), yaitu kondisi nyata yang dialami rakyat Tiongkok. Mao berposisi aktivis, yakni konsep bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan melalui perjuangan dan pertentangan (Knight 2005, 177). Penyelesaian kontradiksi akan diakhiri dengan gerakan aktivistik: revolusi sosial.
Apakah 26 tahun kepemimpinan Mao berhasil menyelesaikan kontradiksi itu? Sejarah mencatat kegagalan The Great Leap Forward menghasilkan tiga tahun kelaparan besar (sannian da jihuang, 三年大饥荒) di tahun 1959-1961. Korban dalam masa tiga tahun sulit ini (san nian kunnan shiqi, 三年困難時期) diperkirakan mencapai 35 juta jiwa (Schwiedrzik 2003, 42). Ini adalah masa di mana penduduk menunjukkan resistensi demi bertahan hidup dengan berbohong, menipu, mencuri, menyelundup, bersembunyi, memanipulasi (Dikötter 2015, 918). Namun, dalam kontradiksi yang tak terantisipasi ini, roh ajaran Mao justru tidak berhenti beradaptasi dalam proses pewarisannya.
Sumber: AI reconstruction
Situasi terpuruknya ekonomi Tiongkok, meredupnya komunisme internasional, dan suksesnya negara-negara kapitalis mendorong Deng Xiaoping (1978-1989) setelah lengsernya Guofeng, melakukan pembebasan pikiran (jiefang sixiang, 解放思想) pada ajaran negara. Pembebasan tersebut tercermin dalam jargon Deng “Tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”, mengisyaratkan tidak apa-apa Sosialisme Tiongkok beriringan dengan unsur lain asalkan mampu mendorong kemajuan. Deng berpikir bahwa kontradiksi dua kutub sistem ekonomi kapitalisme dan Sosialisme harusnya bisa saling melengkapi (Boer 2021, 40). Menghadapi kontradiksi ini, Deng pun menggagas ‘Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok’ (Zhongguo tese shehui zhuyi, 中国特色社会主义).
Sumber: AI reconstruction
Esensi pemikiran ini adalah penyelesaian masalah-masalah khusus Tiongkok dengan membebaskan serta mengembangkan daya produksi, eliminasi polarisasi dan eksploitasi, pencapaian kemakmuran bersama, termasuk perjuangan untuk mencapai yang saintifik, harmonis, dan perkembangan damai (Hongzhi 2011, 19). Kapitalisme akan melayani negara tetapi bukan untuk melawan otonomi nasional dan harus didasari pada revolusi sosialis (Dirlik 2019, 36). Kapitalisme tidak menjadi ideologi tetapi didomestifikasi dalam sistem ekonomi negara sampai tiba saatnya kondisi Tiongkok siap untuk mencapai komunisme.
ADVERTISEMENT
Dengan pandangan alternatif ini Deng tidak meninggalkan prinsip dasar pemikiran Mao. Ia justru tetap menerima warisan ide dan di saat yang sama mengakui kekeliruan yang harus segera dibenahi demi menyelamatkan Tiongkok. Deng merujuk kepada perkataan Mao “mencari kebenaran berdasarkan fakta” (shishiqiushi, 实事求是) sebagai semangat yang dianggapnya padam sejak era Revolusi Kebudayaan (Mitter 2008, 64).
Sebelumnya, Mao sudah melihat bagaimana Lenin mengombinasikan Marxisme dengan fakta masyarakat Rusia, namun ia sadar bahwa Tiongkok memiliki partikularitas fakta yang berbeda. Mao menerjemahkannya dengan “menembak panah ke sasaran”, panah tersebut adalah Marxisme-Leninisme dan sasarannya adalah kondisi faktual Tiongkok (Hongzhi 2011, 37). Inilah yang dilanjutkan Deng dengan melihat fakta Tiongkok: kontradiksi yang ada adalah antara ekonomi pasar dan terencana sehingga harus ada pembebasan atau liberalisasi relasi produksi.
ADVERTISEMENT
Dengan kebijakannya, Deng mengubah ekonomi terpusat Tiongkok menjadi ekonomi akomodatif terliberalisasi. Misalnya, membangun zona ekonomi eksklusif yang diterapkan di 4 provisinsi (Shenzen, Zhuhai, Xiamen, dan Shantou) di tahun 1979, untuk mengembangkan transaksi dengan pihak luar dalam bentuk investasi asing langsung dan mereformasi ekonomi Tiongkok yang tertutup (Butt 2018, 174-175). Tidak butuh waktu lama bagi Deng sehingga berhasil mencapai perkembangan ekonomi dengan laju rata-rata 9,8% dengan 15% pada titik tertingginya (Cai 2021, 27).
Gagasan Sosialisme yang lebih cair dari Deng membangun jalan baru bagi para pewaris selanjutnya untuk mengeksplorasi berbagai elemen yang perlu diimbuhkan ke dalam ajaran negara. Karena keterbukaan dan reformasi (gaige kaifang, 改革开放) yang dipicu oleh Deng, Jiang Zemin (1989-2002) sebagai penerusnya membuka peluang bagi kelas sosial lain untuk masuk dalam menggerakkan ekonomi-politik Tiongkok dengan teori ‘tiga perwakilan’ (san ge daibiao, 三个代表).
Sumber: AI reconstruction
Jiang menganggap partai harus mewakili tiga kelas, yakni kekuatan produksi maju, kebudayaan maju, dan keseluruhan rakyat Tiongkok dengan kepentingannya. Sebuah bentuk ekspansi elitisme dengan merangkul korporasi privat, dan bentuk teknokratisme karena saintis, intelektual, inovator, dan para pakar, diakui dan diwakilkan oleh partai (Mühlhahn 2019, 529). Jiang terang-terangan melakukan pembauran dengan sektor privat dengan memberikan mereka akomodasi konstitusional.
ADVERTISEMENT
Apakah dengan masuknya korporasi privat membuat Jiang meninggalkan Sosialisme? Jiang menegaskan bahwa ini adalah bentuk implementasi ‘Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok’ yang inovatif. Jiang menyamakan prakarsanya dengan inovasi yang dilakukan Mao dalam Revolusi Demokratik Baru. Sektor privat dan kaum teknokrat menurut Jemin berperan penting dalam menunjang kekuatan produksi masyarakat sosialis dalam pekerjaan yang sungguh-sungguh dan sah (Mohanty 2003, 241).
Jiang menambahkan, tidak pantas untuk melihat pijakan politik sesorang hanya dari valuasi propertinya, tetapi harus dari besarnya kesadaran politiknya, integritas moralnya, dan performanya (Mohanty 2003, 241). Walaupun sebenarnya ini dilakukan untuk merangkul kelas-kelas yang berpotensi melawan partai dengan menjadikanya suatu poros dukungan (Dickson 2003, 14).
Pemikiran Jiang dijadikan konstitusi partai dengan semangat perwujudan masyarakat makmur (xiaokang shehui, 小康社会) dengan target spesifik seperti membuat lonjakan GDP di tahun 2010 dan 2020 (Mohanty 2003, 237). Ini memicu perkembangan ekonomi masif, munculnya perusahaan-perusahaan baru ke dalam sektor strategis, serta lepasnya monopoli pasar oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1992 jumlah penguasaan negara terhadap industri produksi sudah menurun 50% akibat privatisasi dan adanya pemberian wewenang untuk melakukan penawaran saham ke publik yang digalangkan dengan slogan ‘menggenggam yang besar dan melepaskan yang kecil’ (Brar 2020, 123). GDP Tiongkok naik dua kali lipat setiap tujuh sampai sembilan tahun (1995-2004 dan 2011), dan tidak ada satu pun negara yang mengalami perkembangan sepesat ini (Cai 2021, 28).
Setelahnya, Hu Jintao (2002-2012) sebagai penerus Jiang Zemin, membubuhkan penafsiran kembali pemikiran Konfusius layaknya akar pohon ke dalam ‘Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok’ sebagai batangnya, dan ke dalam kebudayaan lain sebagai cabangnya (Mühlhahn 2009, 543). Disebutkan pertama kali dalam kongres Partai Komunis Tiongkok ke-16 bulan November 2002, Hu mengangkat ide ‘masyarakat harmonis’ (hexie shehui, 和谐社会) dari konsep sosiologi Konfusianisme, dengan kesadaran bahwa Marxisme-Leninisme meninggalkan celah yang harus diisi dengan ‘karakteristik Tiongkok’, yakni warisan budaya mereka sendiri.
Sumber: AI reconstruction
Momen Olimpiade Beijing mempromosikan istilah ini hingga media massa juga memperbaiki diksi jieji (阶级, kelas), turunan dari istilah Marxisme-Leninisme, dengan jieceng (阶层, strata) yang bernuansa konfusianistik serta berdasar pada hierarki dan kemajemukan status sosial (Ai 2009, 690). Hu menafsirkan ‘masyarakat harmonis’ sebagai masyarakat tanpa kelas, di mana partai memperjuangkan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan kelas (Xing 2009, 216).Hu kelihatannya ingin membuat fusi kebudayaan lokal dengan pemikiran progresif Tiongkok menjadi paradigma penggerak yang lebih komprehensif.
ADVERTISEMENT
Integrasi pemikiran yang dilakukan Hu adalah bagian dari ide nya ‘pandangan saintifik terhadap perkembangan’ (kexue fazhan guan, 科学发展观) untuk mewujudkan ‘masyarakat sosialis harmonis’(shehuizhuyi hexie shehui, 社 会主义和谐社会). Pandangan ilmiah ini bergerak bukan hanya dalam semangat ‘rakyat-sentris’ tetapi juga bagaimana redistribusi peran partai untuk mengejar kesetaran dan keadilan sosial, redistribusi antara yang beruntung secara sosial-ekonomi dan yang tidak, di dalam visi besar ‘penyerataan secara keseluruhan’ agar ekspektasi rakyat terhadap disparitas yang berkembang menjadi berkurang (Holbig 2009, 49).
Sementara konsep ‘harmoni’ membawa pengakuan adanya kontradiksi sosial yang serius sebagai konsekuensi alamiah dan suatu transisi ekonomi dengan membangkitkan elemen etika Konfusianisme seperti ritual dan spiritualitas, untuk keteraturan sosial dan stabilitas (Holbig 2009, 51).
Sumber: AI reconstruction
Seberapa jauh era Hu memanifestasikan warisan pembebasan pemikiran dan ekonomi? Di tahun 2009 China Mobile dan China Petroleum (Sinopec) keuntungannya melebihi gabungan profit dari 500 perusahaan privat terbesar di Tiongkok (Brar 2020, 123). Meskipun demikian, ide Hu banyak dinilai tidak terwujudkan dengan baik. Survey CASS tahun 2004 menunjukkan masalah peningkatan korupsi serta penyuapan, di tengah-tengah keuntungan sektor batubara yang meningkat (Fewsmith 2008, 258).
ADVERTISEMENT
Dalam mewujudkan keadilan merata, Hu juga memberi perhatian pada ekonomi pedesaan dengan penghapusan pajak agrikultur pedesaan dan pembayaran lainnya (Dokumen no. 1). Di tahun 2004 produksi gandum meningkat sejajar dengan pendapatan petani yang tumbuh 6,8% hingga tahun 2005 (Fewsmith 2008, 268).
Paramount leader pun berada di tangan Xi Jinping (2012-sekarang), secara konsisten meneruskan pemupukan ide Sosialisme yang bercirikan Tiongkok. Dengan Chinese Dream (Zhongguo meng, 中国梦), dambaan besar untuk revitalisasi Tiongkok, Xi memikirkan penggapaian kemakmuran, pembaharuan nasional, dan kebahagiaan bagi bangsa.
Sumber: AI reconstruction
Untuk pertama kalinya sejak era Mao, rakyat Tiongkok didorong untuk ‘bermimpi’. Makna mimpi Tiongkok sebenarnya mencakup ide Konfusianisme dan ‘profit-sentris’ kapitalisme kontemporer (Chai 2013, 97), berkorespondensi dengan konsep khas Konfusius tentang li (禮; ritual, kebaikan) dan yue (樂; musik, keindahan). Budaya kehidupan tradisional Tiongkok seperti seni dan literatur ternyata tidak luput dari perhatian Xi sebagaimana dalam era Hu.
ADVERTISEMENT
Xi mengelaborasikan ide ini dengan doktrin ‘Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan karakteristik Tiongkok untuk era baru’ (Xi Jinping xin shidai Zhongguo tese shehui zhuyi sixiang, 习近平新时代中国特色社会主义思想). Dengan pemikiran ini, Xi berupaya untuk membangun hubungan lebih dekat antara Tiongkok dengan dunia (Yangkuo 2022, 149). Pemikiran ini merepresentasikan adaptasi Marxisme dengan konteks Tiongkok yang melayani pada era baru Sosialisme Tiongkok termodernisasi yang berdasarkan pada pemerintahan serta penguatan partai (Peters 2017,1300).
Ada dua tahap target Xi, pertama, pencapaian modernisasi sosialis pada 2020-2035. Kedua, pengembangan Tiongkok menjadi negara sosialis-modern yang besar, makmur, kuat, demokratis, berkebudayaan maju, harmonis, dan indah pada 2035-2050 (Peters 2017, 1300). Implementasi program Xi Jinping ini mencakup berbagai lini seperti ekonomi, politik, pemberadaban ekologis, pertahanan nasional, dan pembangunan militer (Yangkuo 2022,159).
ADVERTISEMENT
Bagaimana pemikiran Xi termanifestasi dalam prakteknya? Mimpi Xi ingin menarik perhatian internasional yang damai dan globalisasi terbuka berdasarkan perdagangan (Peters 2013, 1303). Belt and Road Initiative (BRI), adalah salah satu upaya Xi untuk membawa ekonomi Tiongkok mendunia dengan volume investasi masif kurang lebih US$ 1 triliun. Program ini bukan hanya soal konektivitas Tiongkok dengan dunia, tetapi juga bagaimana membuat produk manufaktur digital modern Tiongkok menjadi lebih menarik dibandingkan milik Barat (Mohanty 2020, 60).
Perkembangan ekonomi di bawah pemerintahannya juga tidak perlu diragukan. Sejak 2012 setiap tahunnya ekonomi nasional tumbuh 7,2%, penambahan lebih dari 13 juta pekerjaan perkotaan, dan peningkatan sebanding dalam pendanaan riset dan pembangunan senilai 1,57 triliun Yuan, volume perdagangan global, perbaikan lingkungan, pemberantasan kemiskinan, dan perkembangan pelayanan ekonomi (Peters 2017, 1300). Sejak 2013-2016 pendapatan per kapita penduduk di daerah tertinggal meningkat rata-rata 10,7% (Xinhuanet 2017). Tiongkok kelihatan dengan pasti masih akan terus berkembang secara ekonomi, dan akan berperan penting dalam pergerakan ekonomi global.
Sumber: AI reconstruction
Setelah melihat perjalanan progresi ajaran negara Tiongkok, saya mengundang pembaca untuk merefleksikan suatu hal, bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk mempromosikan sistem otoriter berhaluan tunggal pada fenomena post-sosialis Tiongkok sebagai sistem yang terbaik. Sebaliknya, bukan sistem itu yang ingin ditawarkan, tetapi bagaimana kita dapat mempelajari bahwa perkembangan pesat diperoleh lewat sikap konsistensi kepada ide dasar, mengimplementasikan ide, dan di saat yang sama terbuka pada kekeliruan, perbaikan dan aktualisasi ide.
ADVERTISEMENT
Suatu ajaran hanya dapat bertahan ketika memiliki kemampuan adaptabilitas yang tinggi, sebagaimana ekosistem kehidupan yang mensyaratkan organisme di puncak rantai makanan harus siaga dan beradaptasi dengan lingkungannya agar tidak menciptakan predator yang baru. Sistem pemikiran yang besar tidak bisa melulu eksklusif dan terisolasi, harus ada kesediaan untuk ditinjau dari berbagai sudut pandang, dan yang paling penting, diterapkan.
Sebagai manusia Indonesia, kita harus terbuka pada reformasi pemikiran tanpa meninggalkan ide-ide dasar Pancasila dengan berfikir secara kontekstual bahkan interkontekstual, lalu bersedia meneruskannya. Jika tidak, ide luhur negara hanya akan sampai pada tataran ide dan tak akan pernah terurai dalam konteks konkret. Semoga dengan menerapkan estafet ide, adaptasi, remodifikasi ide, dan realisasi ide secara ketat, Indonesia dapat meraih visi besar Indonesia maju di tahun 2045, atau bahkan lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Jovial Elshadai Lalenoh,
Mahasiswa Magister STF Driyarkara Jakarta.