Ekses Arab Spring di Tanah Suriah

Jurnal Aladdin
Melihat Timur Tengah dari atas karpet terbang merah. Panggil saja aku Om Aladdin.
Konten dari Pengguna
26 Mei 2018 22:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jurnal Aladdin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arab Spring (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Arab Spring (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Delapan tahun lalu, Mohammed Bouazizi membakar dirinya lantaran izin membuka toko sayuran miliknya dipersulit pemerintah. Karena kejadian itu, amarah warga sipil tersulut. Rasa muak terhadap rezim Ben Ali yang telah 23 tahun berkuasa di Tunisia sampai pada puncaknya.
ADVERTISEMENT
Demonstran dari sepenjuru negeri menuntut mundurnya presiden. Hingga pada Januari 2011, Ben Ali mengundurkan diri dan kabur ke Arab Saudi. Sepuluh bulan setelah itu, pemilihan umum bebas digelar untuk pertama kalinya.
Tumbangnya Ben Ali lantas dengan cepat menjalarkan aksi protes serupa ke negara-negara tetangga: Mesir, Libya, dan Yaman. Warga sipil beradu nyawa dengan pasukan militer. Namun seperti Tunisia, diktator-diktator yang telah bercokol puluhan tahun di ketiga negara itu berhasil digulingkan.
Demokratisasi berdarah itu lebih dikenal dengan sebutan “Arab Spring”, atau musim semi di Arab, diartikan sebagai momen bergantinya negara dengan kepemimpinan otoriter menjadi demokratis. Nama-nama lain menyusul Ben Ali sebagai ukuran keberhasilan gerakan itu: Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Gadaffi di Libya, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Suriah?
Pada tahun yang sama ketika negara Arab Spring pertama mulai bergejolak--Tunisia, seorang bocah Suriah berusia 14 tahun membuat grafiti di tembok sekolahnya. Sebaris tulisan ditujukan untuk sang presiden, Bashar Al-Assad: "berikutnya, giliranmu."
Bocah itu, Mouawiya Syesneh, tak menduga coretan yang ia buat bersama tiga orang temannya itu akan membawanya ke penjara. Ia bersama teman-temannya dijemput paksa dari rumah dengan keadaan tangan diborgol.
Berdasarkan pengakuannya pada Al Jazeera pada 2017, selama 45 hari di tahanan, ia dan teman-temannya dipukuli, disiksa, sambil diancam akan dibunuh. Satu waktu, Mouawiya dibawa ke kamar mandi yang basah, dikucuri air dari shower, lantas disetrum dengan kabel yang dialiri listrik.
ADVERTISEMENT
Agresi rezim Suriah atas protes kecil dari anak-anak itu menunjukkan betapa siapnya Assad jika Arab Spring melanda negeri tempatnya berkuasa. Melihat protes dari rakyat sipil yang berhasil menggulingkan presiden di negara-negara tetangga, ia menganggap perlu untuk mengambil tindakan represif. Termasuk dengan menyiksa anak di bawah umur tanpa proses hukum yang jelas.
Maka ketika para ayah dari anak-anak yang ditawan karena grafiti di tembok sekolah itu meminta kejelasan ke pihak aparat, perkataan ini yang mereka dapat: "Lupakan anak-anak itu, pulang ke rumah dan buat anak lagi, kalau tidak bisa bawa lah wanita-wanita kalian biar kami yang buat anak bersama mereka." Hal biadab seperti itu bisa kita dengar dalam video dokumenter Al Jazeera berjudul "The Boy Who Started the Syrian War".
ADVERTISEMENT
Assad kentara sekali menutup celah apapun yang dapat menjatuhkannya dari kekuasaan.
Sebulan lebih di dalam penjara, warga yang khawatir pada nasib Mouawiya dan kawan-kawannya turun ke jalan. Namun protes rakyat yang penuh damai diperlakukan pasukan militernya sebagai sebuah pemberontakan bersenjata. Barikade aparat melemparkan gas air mata ke kerumunan demonstran. Ribuan pendemo hanya meminta Mouawiya dan kawan-kawannya dibebaskan.
Sore hari pada momen yang sama, sebuah helikopter mengitari pendemo dan mulai melepas tembakan. Dua orang terbunuh di hari itu, lainnya mengalami luka-luka.
Perhentian "Musim Semi" di Suriah
Tujuh tahun berjalan sejak gelombang Arab Spring tiba di Suriah. Namun seperti yang kita tahu, istilah "musim semi" itu mungkin tidak relevan lagi, sebab gejolak yang dimulai itu belum berakhir. Suriah masih jauh untuk dikatakan sebagai sebuah negara demokrasi. Bashar Al-Assad masih tentram di tampuk kekuasaannya, tak terusik, lebih-lebih dengan penjagaan milisi Shabiha yang kebal hukum.
ADVERTISEMENT
Belum selesai sampai di situ, Rusia merapat ke barisan Assad melawan warganya sendiri yang hanya dibantu mujahidin pemberontak.
Tunisia meraih kemenangannya selama 1 bulan, Libya 8 bulan, Yaman 10 bulan, dan Mesir 18 hari. Suriah mungkin jadi tempat pemberhentian musim semi dari negara-negara itu, mungkin juga tidak. Mungkin peperangan di sana berlangsung cukup selama tujuh tahun, mungkin lebih.
Satu yang pasti, bila melihat tumbangnya diktator-diktator itu, kita hanya bisa yakin bahwa jalan menuju demokrasi memang berliku.