Hati Suhita dan Upaya Membaca Pikiran Kritis Wanita (Bag-1)

Konten Media Partner
28 September 2019 21:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hati Suhita dan Upaya Membaca Pikiran Kritis Wanita (Bag-1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KABARPAS.COM – NOVEL bukan hanya medium hiburan yang bertujuan unruk memberikan kesenangan semata kepada pembacanya. Namun, sebagaimana karya sastra pada umumnya, novel juga memberikan pengetahuan pada pembacanya. Oleh karena itu, membaca sebuah novel merupakan upaya penciptaan kembali (rekreasi) pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pembaca.
ADVERTISEMENT
Membaca novel Hati Suhita karya Khilma Anis, pembaca tidak hanya mendapatkan gambaran kritis tentang kepribadian seorang perempuan. Membaca novel tersebut seorang pembaca pengetahuan kedudukan perempuan dalam struktur masyarakat Indonesia. Maka, membaca novel karya Khilma Anis tersebut pengetahuan dan pemahaman pembaca mengenai perempuan dan kedudukannya di masyarakat Indonesia seakan ditantang.
Dalam novel Hati Suhita, stereotip perempuan yang direpresentasikan di masyarakat sebagai mahluk yang lemah, tidak memiliki kecerdasan, dan cenderung pasif seakan dibongkar. Dalam novel tersebut, perempuan tidak hanya dihadirkan sebagai sosok yang cerdas, tetapi juga sebagai sosok berkepribadian kuat dan memiliki keberanian untuk mengaktualisasi diri di masyarakat.
Itu tampak pada kutipan berikut (Anis, 2019: 16): Kadang aku ingin mengadu kepada orangtuaku, tapi kakek mengajarkanku untuk mikul duwur mendem jero …. Sebab aku adalah wanita. Kakek mengajarkan kepadaku bahwa wanita, adalah wani tapa, berani bertapa.
ADVERTISEMENT
Inilah yang tak boleh kulupa; Tapa-Tapak-Telapak. Kakek mengajarkan itu karena di sanalah kekuatan seorang wanita berada. Tapa akan menghasilkan keteguhan diri. Tapa akan mewujud dalam tapak. Tapak adalah telapak. Kekuatan wanita ada di telapaknya, atau kasih sayangnya. Sesungguhnya di bawah telapak wanita eksistensi dan esensi surga berada.
Selain menampilkan gambaran perempuan sebagai sosok yang kuat, memiliki ketegaran dan ketabahan, Khilma Anis, dalam novelnya tersebut, juga menghadirkan sosok perempuan sebagai mahluk yang cerdas. Itu tampak pada perwatakan yang dimiliki oleh dua tokoh perempuan yang mendominasi cerita, yakni Alina Suhita dan Rara Rengganis.
Dalam novel Hati Suhita, tokoh Alina Suhita tidak saja dihadirkan sebagai sosok yang berwatak tegar, tetapi juga cerdas. Kecerdasan tokoh Alina tampak pada kemampuan tokoh tersebut untuk menganalogikan setiap peristiwa yang dialaminya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Itu sebagaimana tampak pada kutipan berikut (Anis, 2019: 33):
ADVERTISEMENT
Mas Birru tidak tahu, ketika dia melemahkan orang lain, artinya dia membiarkan orang lain menyadari kekuatannya. Dia tak tahu, kepala Resi Drona yang terpenggal di padang Kurusetra, adalah perbuatan Drestajumna yang di dalam tubuhnya menitis dendam Ekalaya.
Tidak semua orang mampu untuk melakukan analogi antara realitas empiris dengan kecerdasan teoretis yang dimiliki. Hanya orang-orang yang memiliki kecerdasan dan kepintaran yang cukup baik yang memiliki kemampuan untuk mensintesiskan dan menghasilkan analogi antara pengetahuan dan realitas yang terjadi di hadapannya. Kemampuan untuk beranalogi dengan berbagai bacaan yang dimiliki oleh tokoh Alina Suhita merupakan upaya untuk memperlihatkan kecerdasan yang dimiliki oleh tokoh tersebut.
Selain melalui kemampuan untuk beranalogi, kecerdasan tokoh Alina Suhita juga ditampilkan melalui deskripsi cerita yang memperlihatkan keluasan khazanah pengetahuan tokoh tersebut. Tokoh Alina Suhita, tidak hanya memiliki pengetahuan tentang kebudayaan Jawa yang menjadi basis kebudayaan masyarakatnya, tetapi juga memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang mumpuni. Itu tampak pada kutipan berikut (Anis, 2019: 199):
ADVERTISEMENT
Kehebatan prajurit perempuan itu bahkan sampai membuat pejabat VOC keheranan melihat keterampilan Prajurit Estri sebagai prajurit berkuda. Ia yang terlatih secara militer, bisa takjub melihat prajurit perempuan Jawa menembakkan salvo dengan teratur dan tepat.
Hal yang sama juga tampak pada kepribadian tokoh Rara Rengganis. Tokoh tersebut ditampilkan oleh Khilma Anis dalam novel Hati Suhita sebagai tokoh yang tidak hanya kalem, dan aktif dalam kehidupan sosial, tetapi juga digambarkan sebagai sosok yang pintar. Itu tampak pada kutipan dialog antara tokoh Mas Birru dengan Rara Rengganis berikut (Anis, 2019: 89):
Kenapa gak drama tentang pendekar perempuan di Indonesia, Re? Atau wayang-wayang perempuan
Sebenarnya pengen banget. Waktunya belum ada. Jadi bertahap. Dia terkekeh. Lalu menjelaskan kalau dia tidak menangani langsung. Hanya bertanggung jawab membuatkan naskah saja. Dia sudah membentuk tim. Kebetulan saja dia punya sahabat kaya raya yang tinggal di Belanda dan menyukai seni. Sahabatnya ini mau mendanai pementasan anak-anak muda kreatif. Dia meyakinkan teman-temannya kalau ia akan tetap setia di dunia jurnalistik dan menjalani hobinya travelling dan sedikit sibuk di LSM. Drama-drama hanya kesibukan kecil.
ADVERTISEMENT
Berarti kapan-kapan bisa bikin film di pesantren ya, Re?
Mengemas sebuah pertunjukan drama bukanlah hal yang mudah. Begitu juga menulis naskah drama. Seorang penulis yang baik harus memiliki pengetahuan yang cukup sehingga karya tulisnya menjadi bermutu. Menurut Jean Paul Sartre (19051980), seorang filsus Eksistensial dari Perancis, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Seseorang dapat menulis dengan baik apabila bacaan-bacaan yang dimilikinya juga memiliki kualitas isi yang baik pula. Oleh karena itu, penulis adalah pembaca yang baik.
Kecerdasan sosok tokoh Rara Rengganis tidak hanya ditampilkan pada dialog tersebut. Upaya Khilma Anis untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang sosok tokoh Rara Rengganis yang cerdas, pintar, dan penuh pesona juga ditampilkan melalui narasi yang disampaikan oleh tokoh Alina Suhita. Sebagaimana tampak pada kutipan berikut (Anis, 2019: 92): Ia seperti Srikandi. Cantik, santun, berpengetahuan, dan dicintai Mas Birru.
ADVERTISEMENT
Selain menantang pemahaman pembaca mengenai stereotip perempuan, Khilma Anis, melalui novel Hati Suhati, menantang pembaca untuk melihat dan memaknai secara kritis tentang kedudukan perempuan di Indonesia.
Dalam masyarakat yang menganut sistem budaya patriarki seperti di Indonesia seorang perempuan dikonstruksikan sebagai mahluk yang lemah, tidak memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk berada di masyarakat. Ini menyebabkan perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua.
Menurut Simone De Beauvoir (19081986), seorang tokoh feminis, dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki perempuan dianggap sebagai liyan. Hal itu menyebabkan wilayah perempuan diposisikan sebagai subjek yang hanya layak berada arena domestik menciptakan suatu hubungan yang terdominasi dan tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan perempuan subordinat. Subordinasi tersebut membuat perempuan Indonesia selalu berada pada pihak yang tertindas, yang selalu mengalami pengibirian hak-hak individu.
ADVERTISEMENT
Dalam novel Hati Suhita pemahaman mengenai perempuan sebagai liyan atau subjek subordinat dalam budaya patriarki seakan menemui gugatan. Melalui tokoh Alina Suhita dan Rara Rengganis, Khilma Anis seakan ingin mengartikulasikan sebuah diskursus kritis mengenai perempuan dalam budaya patriarki.
Melalui aksi dan dialog kedua tokoh perempuan tersebut, Khilma Anis memberikan pemahaman dan gambaran kepada pembaca bahwa budaya patriarki adalah budaya yang tidak pantas untuk terus dirawat keberadaannya. Pemaknaan terhadap kedudukan perempuan dalam sistem budaya tersebut harus direvisi karena perempuan adalah mahluk hidup yang sama diciptakan Tuhan, oleh karena itu ia harus mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. (***).