Polemik Balai Wartawan, Ketika Sejarah Diukur dengan Nominal

Konten Media Partner
22 Agustus 2017 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Malang, (Kabarpas.com) – Dikutip dari blog Satrya Nugraha sala, satu anggota Masyarakat Malang Peduli Aset Bangunan Bersejarah serta mantan Presiden BEM Fakultas Pertanian Unibraw 2000-2002, yang berjudul ‘Selamatkan Bangunan Bersejarah Kota Malang’ ditulis pada tahun 2010 lalu. Ada sekelumit cerita tentang Balai Wartawan yang seharusnya saat ini menjadi aset cagar budaya Kota Malang.Menurut Satrya, Balai Wartawan dapat dikategorikan dalam bangunan sejarah yang wajib di lindungi, karena berdasarkan realitanya gedung tersebut telah beralihfungsi dari semestinya awal berdirinya gedung tersebut saat ini, Hal ini juga di perkuat dengan adanya perlindungan kawasan wisata cagar budaya dan sejarah yang sudah diatur dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Khususnya pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penetapan kawasan strategis wisata dilakukan dengan memperhatikan aspek antara lain (a) sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata, (b) potensi pasar, (c) lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah, (d) perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, (f) kesiapan dan dukungan masyarakat dan (g) kekhususan wilayah. “Berdasarkan data dari Research and Consultant Prima Mandiri, menyebutkan bahwa gedung Balai Wartawan PWI Malang Raya sejak tanggal 26 Mei 1980 dan peresmiannya tanggal 28 Agustus 1983 sampai sekarang adalah sewa kepada Pemerintah Kota Malang,” terang Satrya saat ditemui wartawan Kabarpas.com dikediamannya, Selasa (22/8). Kemudian tanah seluas 748m2 merupakan aset Pemkot Malang, sedangkan bangunan seluas 213m2 merupakan dana hibah Pemkot Malang, Pemkab Malang dan beberapa donatur lainnya. “Artinya ketika misalnya bangunan gedung graha PWI akan dipindahtangankan atau dialihfungsikan sebaiknya mengajak koordinasi dengan pihak Pemerintah Kota Malang, Pemerintah Kabupaten Malang, pihak DPRD Kota Malang, mantan Ketua dan pengurus PWI Malang Raya sebelumnya serta tokoh masyarakat peduli pers. Karena proses pembangunan gedung pada tahun 1980-an melibatkan banyak pihak,” imbuh pria yang juga pengurus KNPI Kota Malang tersebut. Seharusnya, masing-masing pihak saling mengkaji peraturan seputar pelepasan aset bangunan bersejarah. Yaitu pertama, mempelajari perjanjian sewa menyewa tanah, tanggal 26 Mei 1980 No. SK / 621 / Pend / V / 80, Soekardi Ranoeprawiro bertindak untuk dan atas nama PWI Cabang Malang dengan Walikotamadya Tingkat II Malang. “Kedua, mempelajari Keputusan Walikota Malang Nomor : 593.1 / 341 / 35.73.406 / Tahun 2008 tentang Ijin Pemakaian Tempat-Tempat Tertentu Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Kota Malang. Ketiga, perlu mempelajari UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan khususnya pasal 12 yang mengatur penetapan kawasan wisata dimana gedung Balai Wartawan PWI menjadi kawasan wisata budaya dan wisata bangunan bersejarah. Keempat, mempelajari masukan-masukan kebijakan Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD Kota Malang yang terkait dengan kebijakan pelepasan aset dan sebagainya,” terangnya. Menurutnya, proses pengkajian penetapan Balai Wartawan PWI Malang Raya sebagai kawasan wisata bisa melibatkan pakar sejarah, DPRD Kota Malang, budayawan, tokoh masyarakat, wartawan senior yang independen, semua pengurus PWI Malang Raya. Indikator penetapan bisa dari aspek sejarah berdirinya, aspek pengelola yang merawat Balai Wartawan PWI Malang Raya selama ini, aspek simbol pergerakan wartawan jaman dahulu, aspek menghargai jasa kepala daerah (Ebes Sugiyono) yang membantu fasilitasi Balai Wartawan PWI Malang Raya dan aspek menghargai tokoh-tokoh wartawan tahun 1980-an yang berjuang pendirian Balai Wartawan PWI Malang Raya dan sebagainya. “Pengalihan fungsi Balai wartawan memunculkan penyataan kecil untuk kita semua khususnya untuk oknum-oknum yang berkaitan dengan ini apakah nominal harga dapat menggantikan sebuah aset sejarah perjuangan gedung balai wartawan ?” tanya Satrya. Sementara itu, Menurut M. Romadhony Pembina media Anak Negeri serta Kordinator Wartawan Peduli & Kordinator AMATI (Aliansi Masyarat Anti Korupsi) mengatakan dengan adanya pengalihan fungsi aset daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum saat ini harus dikembalikan sebagai semestinya. “Kita sudah berupaya dengan menghimbau pada 2010 lalu. Memang kami bergerak tanpa ada tendensi apa-apa tapi kami maunya hanya dipertahankan dan dipelihara. Namun sekarang jalan satu-satunya dengan melakukan upaya hukum karena bangunan sudah diratakan. Kita bergerak dengan lebih tepat dengan rekan WARTAWAN PEDULI. Keinginan kita hanya satu, kembalikan Fungsi BALAI WARTAWAN,” tegas pria yang akrab disapa Abah Bro tersebut. Dalam prosesnya, lanjut Abah Bro, Balai Wartawan yang dulu renovasi hingga menjadi sekarang ini hanya seukuran bidang ruko perumahan 2 lantai, “Dan penerapannya lantai 1 digunakan untuk bidang komersil dan lantai 2 baru dipergunakan untuk kegiatan wartawan, melihat dari penerapannya saat ini sedang terjadi tindak penyelewengan oleh pihak yang terkait dalam isu balai wartawan saat ini,” pungkasnya.(*).
ADVERTISEMENT
Reporter : Kurnia
Editor : Memey Mega