Douwes Dekker dan Kredo Anti Kolonialisme yang Usang

Kahfi Ananda Giatama
Suka sejarah dan sepakbola. Bisa diajak ngobrol dan berteman di @kahfiananda8 (Twitter) dan kahfiananda (Instagram).
Konten dari Pengguna
17 Maret 2020 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Ananda Giatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Multatuli. FOTO: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Multatuli. FOTO: Kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Eduard Douwes Dekker sebelum menjadi alpha male dalam khasanah historiografi nasional sejak jaman kolonial hingga awal pergerakan nasional ialah seorang pejabat pemerintahan Belanda yang ditugaskan dari satu daerah ke daerah lain. Namun peruntungan nya berubah, manakala karir kepegawaian nya anjlok namun karir sebagai sastrawan justru moncer.
Max Havelaar dihembuskan ke alam pikir masyarakat pada 1860, seturut perkembangan waktu ia terus mendapatkan puja-puji atas usaha brilian dalam meludahi kerak-kerak kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa nya sendiri. Melalui alter ego nya, Multatuli berhasil membuka mata banyak pihak bahwa penghisapan dan penindasan manusia harus segera dihapuskan. Tugas manusia yaitu memanusiakan manusia!
Konon, Max Havelaar yang menjadi magnum opus kepenulisan Douwes Dekker lah yang mengilhami Soekarno dan kolega untuk merasa perlu melakukan perjuangan yang kita ketahui bersama berujung pada kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan diselesaikan secara paripurna melalui pengakuan kedaulatan secara penuh pada Desember 1949. Sedikit banyak, percikan-percikan kesadaran itu dirangsang berkat adanya novel ini yang membuat cendekiawan jaman tersebut mulai sepakat untuk berkata “mau sampe kapan kita begini terus? ayolah”
ADVERTISEMENT
Semenjak turun nya wahyu “Max Havelaar”, posisinya dalam sejarah nasional kian semakin sentral. Ia dan Douwes Dekker tak ubahnya sepasang perangkat yang wajib apabila ingin memulai penceritaan sejarah nasional yang romantis. Klaim tersebut kini tak bisa berlama-lama kita terima, sekarang kita wajib bertanya: Apakah layak Douwes Dekker layak menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme? Apakah Max Havelaar merupakan karya sastrawi atau proyek politik semata?
Penjajah Ya Penjajah Saja!
Salah satu quote Multatuli di Museum Multatuli. FOTO: Google
Douwes Dekker bernah berkata pada salah satu halaman novel Max Havelaar, bahwa ia dan Multatuli merupakan satu kesatuan. Meskipun ini kiasan, namun secara tersirat memang banyak sekali kemiriipan antara dua tokoh yang terperangkap dalam satu raga ini.
Sejak memulai proses kreatif dalam menulis karyanya, Douwes Dekker selalu memegang tinggi prinsip-prinsip egaliter khas Barat yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai humanis dan adil. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus pernah berujar bahwa manusia-manusia kiwari menciptakan agama baru yaitu agama yang humanis, kepercayaan yang memegang teguh kenikmatan manusia sebagai tolak ukur kesempurnaan iman.
ADVERTISEMENT
Namun pertengahan abad ke-18, Douwes Dekker sudah mencoba memperlakukan hal tersebut hanya saja kekeliruan memilih tempat percobaan berujung blunder fatal bagi karir kepegawaian nya. Dekker merupakan sebuah reformis sekaligus seseorang yang sangat perfeksionis, ia merupakan tipe-tipe pejabat pemerintahan yang cultural broker.
Semua perangai baik yang ia citrakan dalam cerita Max Havelaar tersebut ternyata tidak sejalan dengan apa yang ia alami ketika menjadi asisten residen Lebak. Cerita artifisial tersebut ia produksi untuk menutupi sifat-sifat tak patut dicontoh yang datang dari seorang yang selama ini diperlakukan oleh sejarah sebagai pahlawan.
Ketika baru datang ke Lebak dari Manado, Douwes Dekker yang merasa memiliki hubungan personal dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist tersebut tak merasa perlu untuk menghiraukan segala budaya dan adat tradisional yang berlaku di Lebak saat itu.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, residen Brest van Kempen ketika itu menilai bahwa Douwes Dekker merupakan pejabat baru yang sangat pongah. Terhadap atasan dalam hubungan kedinasan saja Dekker berani untuk tidak patuh, tentu kepada Bupati Lebak yaitu Raden Adipati Karta Natanagara ia lebih semena-mena. Dekker bahkan tidak mengindahkan untuk melakukan turne (perjalanan dinas) yang biasa dilakukan asisten residen terdahulu, ia merasa tidak perlu mengenal rakyat dan budaya pribumi.
Perilaku pongah Dekker tersebut menunjukkan bahwa ia merasa lebih superior sebagai seorang Eropa dengan tidak mau menghormati budaya dan adat tradisional yang sudah ada sebelumnya, bahkan Bupati dituduh telah melakukan penyelewengan berupa pemerasan dan pajak yang berlebihan. Dekker seolah-olah ingin membuat masyarakat Lebak lebih tercerahkan, namun cara yang dipakai sangat kolonialis.
ADVERTISEMENT
Kalau kata anak muda jaman sekarang, ungkapan yang cocok untuk perilaku Dekker yaitu “bocah kemarin sore kok songong amat”. Ulah Dekker memuncak ketika ia bermodalkan arsip pengaduan sebahagian warganya yang telah dibayar, berani untuk menggugat Bupati Lebak bahwa dirinya telah melakukan penyelewengan-penyelewengan yang menurutnya melanggar asas keadilan dan kesejahteraan.
Tak tanggung-tanggung, tuduhan tersebut jelas menampar seluruh masyarakat Lebak yang niscaya geram dengan kelakuan Dekker yang semena-mena itu. Bupati Lebak bukan hanya pejabat pemerintahan lokal melainkan sosok magis-religuis yang sangat dihormati dalam struktur keningratan Jawa. Hal ini tertuang dalam peraturan sejak 1870 yaitu daerah-daerah bekas Karesidenan Priangan mendapatkan hak istimewa untuk memerintah daerahnya sendiri meskipun terbatas, dan bupati daerah tersebut sejatinya merupakan penguasa sebenarnya walaupun terdapat pejabat pemerintahan Belanda seperti asisten residen dan residen.
ADVERTISEMENT
Coba anda bayangkan bagaimana nekadnya seorang Dekker yang notabene hanya seorang staff pemerintahan biasa memberanikan diri untuk menggugat si penguasa sebenarnya dengan cara yang tidak biasa (lewat pengadilan) tanpa tedeng aling-aling, lalu apa yang hendak Dekker cari?
Ia selalu berusaha menampilkan persona sebagai seorang yang sangat humanis dengan mengutamakan nilai keadilan, tapi semua itu hanyalah bualan sastrawi. Ditemukan fakta bahwa dalam sepucuk surat sesudah ia dinyatakan akan dipindahkan ke tempat lain, Dekker menulis kepada Gubernur Jenderal bahwa maksud sebenarnya gugatan terhadap Bupati hanya agar ia mendapat promosi jabatan!
Namun sikutan yang ia lakukan kepada Bupati Lebak ternyata tak mempan, alih-alih promosi justru yang terjadi Dekker malah mengundurkan diri dan pulang ke Belanda untuk memulai kisah monumental yang kini kita elu-elukan.
ADVERTISEMENT
Proyek itu Bernama Max Havelaar
Max Havelaar ditulis justru bukan di tempat kejadian perkara, melainkan ia lahir berjarak ribuan kilometer dengan pusat kejadian dan kenyataan yang sesungguhnya. Kita harus sepakat bahwa mau bagaimanapun Max Havelaar tetap saja karya sastra, meskipun kejadian nya memang benar terjadi dan dokumen pendukung yang digunakan tersebut asli, tetap saja ditambahkan elemen angan-angan untuk membumbui keadaan yang nyata dan berusaha semaksimal mungkin jumlah pembaca yang lebih besar.
Karya Dekker ini merupakan sebuah kisah fiksi yang memiliki fungsi sosial yang sangat dahsyat, Max Havelaar mampu memberikan pemaknaan yang sangat luar biasa efeknya dalam kaitan nya dengan awal mula munculnya kesadaran nasional. Pertempuran makna tersebut berhasil dimenangkan Max Havelaar sehingga ia kokoh sebagai ikon anti kolonialisme dalam sejarah nasional.
ADVERTISEMENT
Padahal apa yang terjadi dan apa yang dikonstruksi justru bertolak belakang, Max Havelaar penuh dengan estetika sedangkan tujuan Dekker sebenarnya merupakan proyek politik. Max Havelaar berusaha membunuh kolonialisme dan imperialisme, namun tujuan Dekker berkuasa absolut sehingga ia ingin menyingkirkan Bupati Lebak.
Proyek ini secara tidak langsung justru melanggengkan historiografi Indonesia yang rasis dan romantis. Bersifat rasis karena menganggap bahwa semua sifat-sifat negatif selalu dialamatkan kepada kaum pribumi sehingga kaum non-pribumi berkewajiban untuk membimbing masyarakat di tanah jajahan untuk menjadi manusia yang beradab.
Pemahaman ini justru melanggengkan peran inferior orang Indonesia pada historiografi nasional sehingga orang-orang pribumi selalu mendapat peran yang minor, dan jangan dikira pemahaman seperti ini juga mengglorifikasi perasaan selalu merasa adat ketimuran selangkah lebih mundur dibandingkan peradaban Barat yang modern.
ADVERTISEMENT
Bersifat pula romantis dalam memandang pembentukan sejarah nasional dengan menitikberatkan pada fakta sejarah hanya akan tercipta melalui kejeniusan individu-individu dalam mengubah alur suatu peristiwa. Ini seolah-olah menghilangkan kompleksitas yang terkandung pada suatu peristiwa, dileburkan menjadi hanya 1-2 orang yang berperan aktif menentukan sesuatu tanpa melibatkan konstituen yang banyak.
Romantisisme pembacaan sejarah seperti ini hanya kian memperkeruh historiografi nasional, dikotomi pun semakin curam dengan memandang setiap peristiwa berskala besar sebagai medan perttempuran dua pihak yang bertikai: pribumi vs kolonial, komunis vs non komunis, konservatif vs sekuler, dan sebagainya.
Epilog
Dekker dan Max Havelaar akan dipandang baik dalam kapasitas nya sebagai cerita fiksi yang menggugah kesadaran nasional, namun sejatinya dibalik itu semua, menurut hemat saya, ia tak layak menyandang status sebagai martir anti-kolonialisme karena motif primer yang dijadikan acuan bertindak baginya sarat akan nilai-nilai kolonialis seperti tidak menghargai adat ketimuran dan memandang remeh penguasa pribumi.
ADVERTISEMENT
Agak sulit untuk memisahkan sosok Multatuli dengan Dekker karena memang keduanya terjebak dalam satu kesatuan ragawi, sehingga apa yang dilakukan Dekker pada alam duniawi akan tetap tak bermakna meskipun dipoles sedemikian rupa dalam dunia yang berbeda.
Meskipun begitu, tentu pandangan ini tidak serta merta membuahi pemikiran rasis dalam memandang sejarah. Melainkan ingin mengingatkan bahwa sifat-sifat baik dan buruk yang ditunjukkan manusia tidak memandang ras, warna kulit, dan latar belakang pendidikan.
Semua manusia berpeluang menjadi baik dan buruk, termasuk Douwes Dekker.