Menuju Demokrasi Terpimpin: Makin Kukuhnya Tripartit Kekuatan

Kahfi Ananda Giatama
Suka sejarah dan sepakbola. Bisa diajak ngobrol dan berteman di @kahfiananda8 (Twitter) dan kahfiananda (Instagram).
Konten dari Pengguna
22 Januari 2017 19:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Ananda Giatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semenjak Indonesia diakui secara sah bahwa berdaulat terhadap seluruh wilayah nya dari Sabang sampai Merauke pada tahun 1949, berbagai macam bentuk pemerintahan sudah pernah dicoba. Mulai dari Demokrasi Parlementer hingga Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai landasan awal.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, Demokrasi Terpimpin adalah fase yang paling menentukan wajah politik Indonesia beberapa dekade mendatang. Menentukkan siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia kelak manakala Sang Penyambung Lidah Rakyat sudah mangkat dan tak jadi presiden seumur hidup, menentukkan siapa yang akan menjadi korban dan pahlawan.
Karena sejarah yang sifatnya ahistoris, maka mustahil apabila Demokrasi Terpimpin yang bisa terjadi sedemikian hebohnya dalam gelanggang politik nasional. Tak mungkin tanpa dilandasi dengan ekses-ekses politik yang membuat peristiwa selanjutnya mengarah kepada suatu visi atau arah tertentu.
Sudah dapat dipastikan bahwa apa yang terjadi selama periode Demokrasi Terpimpin, sedikit banyak ada tindak campur dari peristiwa yang mengiringinya terdahulu. Peristiwa-peristiwa politik itu tadi yang mempengaruhi sekaligus membentuk karakter nya kelak sehingga tercatat dalam kronik sejarah nasional.
ADVERTISEMENT
Situasi politik di Indonesia memang tak pernah terlihat adem ayem, senantiasa diwarnai dengan saling tuding, tuduh, dan sikut. Hal itu tak jauh berbeda dengan konstelasi politik pada era Demokrasi Terpimpin, ketika itu tiga kekuatan makro yang sebelumnya hanya berani saling tuding pada kesempatan yang berbeda. Kini secara terang-terangan menyatakan akta kebencian terhadap satu sama lain.
Ketiga kekuataan makro dalam politik era Demokrasi Terpimpin itu adalah Presiden Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia. Nama yang terakhir disebut lebih memilih membebek kepada Soekarno dan bergabung dengan koalisi nya, namun PKI juga tak segan-segan untuk berkonfrontasi secara langsung dengan Angkatan Darat.
Cara berfikir seorang politikus adalah bagaimana secepat mungkin dapat merebut kekuasaan dari status quo, maka jangan tanya latarbelakang konflik segitiga paling kolosal ini. Jelas ini merupakan perebutan kekuasaan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana hal itu bisa terjadi?
ADVERTISEMENT
Pertama, konflik antara Angkatan Darat dengan Presiden Soekarno sudah mulai terlihat setelah peristiwa Doorstoot Naar Djokja pada tahun 1948, dimana terjadi silang pendapat dalam menentukan jalan perjuangan mana yang akan ditempuh Indonesia dalam menghadapi gempuran Belanda. Diplomasi atau gerilya?
Di sinilah friksi terjadi, pemimpin sipil yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta memilih untuk menyerah dan mencoba melanjutkan perjuangan beralaskan meja runding. Sedangkan Soedirman dan bala tentara nya lebih setia kepada patron gerilya yang sudah mendapatkan bukti ketika perang kemerdekaan. Strategi gerilya ini yang akan digunakan Nasution sebagai strategi perang nasional, mengingat kekuatan Angkatan Laut dan Udara belum sekuat Angkatan Darat.
Menyerahnya pimpinan sipil membuat Soedirman kecewa dan tak suka kepada pemimpin sipil, dan sialnya kemenangan pun diraih oleh pihak Republiken (tentara) sehingga rasa jumawa sebagai satu-satunya pihak yang sampai titik darah penghabisan membela Indonesia disaat para pemimpin sipil meringkuk menjadi tahanan politik.
ADVERTISEMENT
Sesudah Soedirman mangkat dan Soekarno resmi menjadi presiden, perselisihan tak pernah padam. Kali ini akibat peristiwa 17 Oktober 1952 di mana militer dengan segala peralatan perangnya berkonvoi menuju Istana untuk menuntut pembubaran parlemen. Meski aksi berjalan damai, namun Soekarno tak senang dengan peristiwa itu. Nasution yang kini kena batunya, padahal kelompok reformis dalam tentara seperti Kemal Idris dan Soetoko lebih berperan penting.
Walhasil Nasution pun segera dicopot sebagai Kepala Staf Angkatan Perang, namun tak lama karena kapabilitas nya masih diatas rata-rata ia pun kembali dijadikan KSAP kembali oleh Soekarno. Namun dengan beberapa tindakan “ospek” terlebih dahulu seperti mencopot jabatan Ketua Panitia Retooling Aparatur Negara dan digantikan dengan Ahmad Yani yang merupakan “orangnya” Soekarno.
ADVERTISEMENT
Kedua, konflik Angkatan Darat dan PKI mungkin yang paling menyita perhatian, terutama perihal tahun 1965-1966. Namun artikel ini tidak sampai pada pembahasan seperti itu, awal mula pertengkaran antara kedua kubu ini disinyalir pada pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 yang ditumpas oleh Angkatan Darat.
Setelah itu AD seperti diatas angin karena PKI telah hancur sementara, namun golongan muda pada 1950-an awal kembali mencoba merekonstruksi PKI supaya terlihat modern. Alhasil konflik itu pun lambat laun pasti akan berkobar, hingga mencapai klimaks nya pada bulan September nanti.
Sebelum era Demokrasi Terpimpin, kondisi Indonesia sedang diberlakukan Darurat Perang atau SOB (state van orloog en beleg) supaya stabilitas nasional tidak terguncang seperti revolusi fisik. Kewenangan tertinggi diberikan kepada AD untuk mengawal pelaksanaan keadaan darurat perang, melihat hal itu PKI tak tinggal diam.
ADVERTISEMENT
Akhirnya mereka mencoba mengusulkan untuk membentuk Angkatan Kelima dimana para buruh dan tani ikut dipersenjatai supaya bisa melakukan aktifitas bela negara, mereka beralasan pula bahwa tugas untuk mengamankan Indonesia bukan hanya tugas tentara dan aparat-aparat yang lain. Melainkan tugas semua warga negara, namun sayang hal itu gagal terwujud.
Berikut tadi sedikit penjabaran singkat tentang asal muasal bagaimana ketiga kekuatan besar di politik nasional akan saling sikut pada era Demokrasi Terpimpin, beberapa contoh peristiwa tersebut dipilah mengingat masih banyak lagi kontradiksi yang tercipta dalam jalan merebut kursi Indonesia nomor 1.