Preman Bersatu Tak Bisa Dikalahkan

Kahfi Ananda Giatama
Suka sejarah dan sepakbola. Bisa diajak ngobrol dan berteman di @kahfiananda8 (Twitter) dan kahfiananda (Instagram).
Konten dari Pengguna
5 Mei 2019 10:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Ananda Giatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi geng. Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi geng. Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
ADVERTISEMENT
Pada masa pra kemerdekaan, banyak laskar-laskar, geng dan para jago meleburkan dirinya ke kesatuan angkatan bersenjata pro Republik guna menghabisi kolonialisme dan imperialisme Belanda. Sesudah merdeka, mereka berserakan. Ada yang bergabung ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ada yang memilih independen dan tak ingin dikenal.
ADVERTISEMENT
Lompat ke era Orde Baru, mereka kemudian mendapatkan identitas baru yaitu preman. Sejak saat itu, mereka tak lebih dari pengganggu ketertiban bersama, pembuat onar, pelaku kejahatan kelas teri, dan banyak lagi kesimpulan bernada negatif.
Kesimpulan berkonjungsi negatif tersebut bukan tanpa sebab, penilaian tersebut didasarkan dari tingkah laku mereka di sekitar masyarakat. Bagaimana tidak, mayoritas preman yang sering kita jumpai tidak memiliki pekerjaan tetap, kerap meresahkan warga dengan aksi kekerasan, dan aktivitas nya kerap menggangu seperti mabuk-mabukan dan perjudian.
Akan tetapi, definisi preman ini masih kita terima dengan sangat abu-abu. Preman tidak disematkan terhadap salah satu kelompok sosial di masyarakat, atau preman juga tidak cocok bagi salah satu kelompok usia tertentu. Lalu bagaimana kita melakukan identifikasi terhadap seseorang bahwa ia termasuk preman atau bukan?
ADVERTISEMENT
Preman Etimologi
Sejumlah Preman digelandang aparat kepolisian. FOTO: Kumparan
Secara historis, preman memiliki akar yang sangat panjang apabila diurai. Penggunaan kata ini berasal dari serapan Bahasa Belanda yang kata awalnya adalah “vrijman”, yang berarti orang-orang merdeka. Seturut perkembangan jaman, dalam bahasa sekarang lazim digunakan untuk merujuk kepada penjahat kecil, tukang palak atau berandalan.
Atau juga dapat disematkan kepada yang mengenakan seragam loreng merah-hitam yang mencolok, sepatu bot, baret, dan lencana pangkat yang dipasok sesuai afiliasi mereka. Bagi yang tak lihai memandang, mereka tampak seperti personel militer.
Lalu sampai pada 1980-an, kata preman mengalami perluasan serta merujuk secara khusus kepada perwira militer tanpa seragam, namun seiring waktu semakin berkonotasi kriminalitas. Kini, mengapa preman memiliki sejarah yang panjang apabila mereka hidup hanya untuk mengacau?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan akar historis, preman di zaman kolonial memiliki peran sebagai pihak yang berwenang untuk mengontrol ketertiban di masyarakat secara partisan. Yang artinya bahwa pada zaman kolonial, preman cenderung memiliki teritorial masing-masing sesuai dengan siapa mereka bekerja. Pada asas tersebut, mereka biasanya bekerja kepada pengusaha-pengusaha kaya China ataupun menginduk kepada pemerintahan kolonial.
Lalu ketika Belanda angkat kaki sementara dari Indonesia melalui perjanjian Kalijati pada 1942, preman berbalik arah dengan tidak mengabdi kepada penjajah, melainkan turut serta membantu perjuangan Republik dengan membentuk laskar-laskar dan milisi independen berskala lokal. Sampai pada penyerahan kedaulatan tahun 1949, laskar-laskar dan milisi yang berisikan para jago dan preman tersebut berhak atas ganjaran akibat tindakan heroik tanpa memperdulikan latar belakang mereka di masa kolonial.
ADVERTISEMENT
Selepas itu, mereka berserakan. Bagi yang mujur, sebagian dari mereka ada yang bergabung ke kesatuan tentara nasional. Bagi yang tidak? Mayoritas dari para mantan preman membentuk organisasi atau perkumpulan semi legal yang bertujuan wirausaha. Organisasi dan perkumpulan tersebut memperjualbelikan jasa keamanan, dengan bantuan otot dan tampang yang garang semakin meyakinkan mereka bahwa lingkup tersebut cocok untuknya mencari sesuap nasi.
Ormas yang ricuh. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Preman-preman yang sudah dimobilisasi ke dalam bentuk ormas dan geng tersebut bebas melakukan kekerasan dalam taraf tertentu, biasanya mereka digunakan untuk kerja-kerja kasar seperti penagihan utang, pengamanan tempat-tempat tertentu sampai penggalangan suara politik.
Multifungsi nya preman tersebut melahirkan suatu masyarakat jatah preman secara harfiah akibat ketergantungan yang berbagai sektor informal. Premanisme menjual rasa kenyamanan melalui jaminan keamanan, premanisme secara resmi tampil sebagai aktor non negara yang berhak secara ilegal menggunakan kekerasan sampai batas tertentu.
ADVERTISEMENT
Premanisme dalam ormas dan geng tersebut tidak pandang bulu terhadap siapa klien mereka, yang mereka pikirkan hanya bayaran material yang harus sepadan dengan beban kerja mereka. Klien yang kerap menggunakan jasa kekerasan yang dibawa premanisme berasal dari beberapa pihak, mulai dari masyarakat, pengusaha, sampai negara itu sendiri.
Bagaimana negara menggunakan premanisme supaya menguntungkan kepentingan mereka? Dalam batasan tertentu, negara menginginkan suatu kondisi masyarakat yang tertib, aman dan nyaman, namun terkadang semuanya tidak sejalan dengan keinginan. Namun masyarakat tidak selamanya bisa diarahkan dengan cara yang halus, maka cara menggunakan kekerasan kerap dipilih.
Karena berbenturan dengan produk-produk hukum dan kebijakan hak asasi manusia yang mengikat, negara membutuhkan premanisme dalam ormas vigilante dan geng untuk “membereskan” kekacauan dalam masyarakat melalui kekerasan yang praktiknya tak jarang brutal. Negara tidak ingin tangan nya kotor.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, negara juga membutuhkan pihak yang mampu menjadi kambing hitam atas kekacauan yang terjadi agar tercipta suatu persepsi dalam masyarakat bahwa negara mampu meredakan konflik dan menjaga keamanan dan stabilitas nasional.
Lalu apa yang didapatkan para preman-preman tersebut? Mudah saja, mereka dibiarkan mengada dan terdokumentasikan dalam sejarah kekerasan yang dilakukan aktor non negara.
Preman Terminologi
Indonesia cukup dikenal sebagai negara yang memiliki indeks demokrasi terlembaga yang sangat tinggi, dan negara ini baru saja menyelesaikan hiruk pikuk demokrasi pada Pilpres 2019 yang penuh intrik dan momen yang tak terlupakan. Demokrasi elektoral sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru.
Tercatat semenjak agenda Reformasi digulirkan, Indonesia telah melangsungkan lima (5) kali pemilihan di tingkat legislatif (1999, 2004, 2009, 2014, 2019) dan empat (4) kali pemilihan di tingkat eksekutif (2004, 2009, 2014, 2019).
Ilustrasi pemiliha legislatif (kumparan.com)
Setelah Reformasi pula agenda politik nasional ialah diperkenalkannya otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan agar tidak ada penyelewengan yang terjadi apabila Indonesia tetap memakai modus operandi pemerintahan terpusat seperti yang terjadi pada era Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Adanya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan disatu sisi melahirkan “raja-raja kecil” di level daerah yang memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi daerah yang ia pimpin. Raja-raja kecil tersebut bisa berwujud bupati, wali kota, gubernur, pak RT, anggota dewan dan lain-lain.
Otonomi daerah sayangnya tidak dibarengi oleh kontrol ketat dari pemerintah pusat, hubungan patron-klien dalam politik justru hadir antara pemegang kekuasaan di level daerah dengan para korban nya. Otonomi daerah berpotensi (dan sudah terjadi) melahirkan praktik politik transaksional akibat ketiadaan kontrol dari pemerintah pusat ditambah kewenangan yang besar guna mengelola sumber daya di wilayah yang dibawahi nya. Politik transaksional tersebut juga membuat politik di level kedaerahan menjadi sistem “premanisme terlembaga” yang dilaksanakan orang-orang berkerah putih.
ADVERTISEMENT
Sistem premanisme terlembaga tersebut memiliki dua mekanisme yaitu trading in influence dan political capture. Pertama, yang disebut trading in influence secara singkat ialah bagaimana politisi memperdagangkan pengaruh dan sumberdaya yang ia miliki sebagai modal politik untuk merengkuh kepentingan pribadi.
Modal politik “premanisme jalanan” ialah jejaring relasi dan beking yang kuat, sedangkan “premanisme terlembaga” yaitu akses untuk melakukan lobi-lobi politik sampai ke lingkaran yang lebih tinggi.
Trading in influence ini paling jamak dijumpai pada politik lokal, sebagai contoh dalam kasus Meikarta jelas diperlihatkan bahwa Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin telah mempergunakan modal politiknya guna melobi pemangku kepentingan di atas nya agar setuju melanggengkan megaproyek yang jauh dari ketentuan procedural. Ia tidak bergerak secara sukarela, melainkan gelontoran dana sudah atau akan dijanjikan jika berhasil.
ADVERTISEMENT
Kedua, yaitu political capture. Model yang kedua ini dapat dikatakan sebagai manipulasi kebijakan di tingkat eksekutif maupun legislatif agar menghasilkan regulasi-regulasi yang justru menyengsarakan rakyat. Political capture lebih sistematis karena yang dihasilkan adalah produk hukum yang sifatnya melekat pada banyak pihak.
Film dokumenter “Sexy Killers” yang sempat menghebohkan jagat tersebut memperlihatkan bagaimana political capture bekerja sebagai sebuah sistem premanisme terlembaga yang menguntungkan segelintir pihak. Kebijakan-kebijakan seperti ijin AMDAL, ijin pertambangan, ijin penguasaan lahan tidak jarang yang kebal hukum dan menguntungkan oligarki bisnis maupun politik.
Akibat nyata dari political capture adalah pengrusakan ekosistem lingkungan yang masif, tata ruang permukiman yang carut-marut, dan semakin bermasalahnya penegakan hukum di Indonesia, dengan mengambil spesialisasi terkait kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pada dasarnya, premanisme jalanan ataupun premanisme terlembaga sama-sama memperjualbelikan jasa keamanan kepada klien-klien mereka, mereka menjamin rasa keamanan tersebut melalui berbagai macam aksi damai hingga kekerasan brutal. Praktik tersebut saling berkelindan dan tak jarang kedua belah pihak tersebut bekerja sama untuk merepresi kekuatan yang mengancam dominasi mereka.
Premanisme jalanan maupun premanisme terlembaga ialah buat perjalanan panjang dari pendewasaan proses demokrasi yang terus berjalan dan perlu diarahkan serta diawasi, dari sini kita wajib memetik hikmah bahwa hiruk pikuk soal politik dalam negeri tentu sayang sekali untuk dilewatkan demi ketiadaan distorsi dikemudian hari.