Que Sera Sera, Kita Kuat dan Biasa Saja

Kahfi Ananda Giatama
Suka sejarah dan sepakbola. Bisa diajak ngobrol dan berteman di @kahfiananda8 (Twitter) dan kahfiananda (Instagram).
Konten dari Pengguna
20 April 2020 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Ananda Giatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penjarakan sosial. FOTO: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penjarakan sosial. FOTO: Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selain sandang, pangan dan papan yang dikenal sebagai triumvirat kebutuhan manusia, diketahui bahwa bersosialisasi merupakan kebutuhan material manusia yang sama pentingnya dari ketiga unsur yang disebutkan terdahulu. Bersosialisasi dibutuhkan agar menjaga manusia tetap memiliki eksistensi nya sebagai Yang Mengada, menumbuhkan perasaan bahwa ia masih diperlukan dalam tatanan sosial terkecil sekalipun.
ADVERTISEMENT
Pada situasi normal, bersosialisasi lazim dilakukan dengan sekadar kumpul bersama keluarga atau teman sampai bertatap muka seperlunya saja. Mengingat pandemi Corona sedang hebat-hebat nya, maka pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghindari penyebaran virus tersebut sekaligus membatasi mobilitas sosial.
Hal itu secara langsung berdampak pada pola sosialisasi manusia, penjarakan sosial membuat manusia tidak leluasa bergerak sehingga jika sosialisasi ingin tetap berjalan maka teknologi yang akan mengambil alih sesuai dengan marwah mengapa ia diciptakan. Melalui aplikasi seperti Zoom atau Google Hangouts, aplikasi tersebut membantu manusia menuntaskan gairah akan bersosialiasi meski terbentuk layar.
Akibat diberlakukan nya penjarakan sosial dalam skala besar-besaran serta tempo yang tidak bisa ditentukan menggiring manusia menuju titik nadir ketidaksehatan mental. Dalam lanskap yang lebis besar, penjarakan sosial jelas merugikan perekonomian negara karena proses produksi sebagai prasyarat akumulasi kapital tidak dapat diwujudkan karena tenaga kerja tidak melakukan fungsinya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada taraf individu, manusia mulai merasa putus asa dan bosan #dirumahaja karena mobilisasi dan sosialisasi yang mereka biasa lakukan tidak terpenuhi. Saluran pemenuhan itu disumbat dan konsekuensi nya ialah gangguan mental seperti depresi ringan, tingkat sensitifitas tinggi sampai lupa cara bersosialiasi.
Jika situasi terus seperti ini bukan tidak mungkin bersosialisasi akan menjadi mitos dalam waktu dekat. Namun apakah ada orang-orang yang dengan sengaja menjaga jarak dengan masyarakat? Apakah mereka mampu? Bagaimana para introvert dan kaum rebahan merespon hal ini?
Awas Jaga Jarak!
Pemaknaan eksistensi. FOTO: Kumparan
Manusia dikatakan selain sebagai makhluk ekonomi, juga disebut makhluk sosial yang dimana manusia membutuhkan orang lain untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan nya. Cara mewujudkan hal tersebut yaitu dengan bersosialisasi. Pada taraf tertentu, sosialiasi menghasilkan hal-hal positif seperti relasi yang kian menggurita sampai tingkat popularitas pribadi semakin menjulang tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun seperti ungkapan moralis klasik yang mengatakan bahwa semua hal yang berlebihan itu tidak baik pun berlaku bagi sosialisasi. Keberlebihan tersebut menimbulkan konflik-konflik yang jika dibenturkan terus menerus berakibat pada relasi yang tidak sehat, karena pada dasarnya manusia seperti landak yang membutuhkan waktu menyendiri agar tidak terlalu lelah bersosialiasi.
Menjaga jarak menjadi hal yang penting agar kesehatan mental tidak terganggu oleh relasi toxic sekalipun, dan pada masa pandemi sekarang ini hal tersebut menjadi semakin penting mengingat sekarang inilah waktu yang tepat untuk sejenak merenungkan relasi-relasi sosial yang mungkin belum baik dan berusaha mencari cara untuk memperbaiki nya.
Penjarakan sosial sudah terlebih dahulu dilakukan dalam tradisi gerakan anarkis yang kerap dijadikan kambinghitam oleh aparat atas tindak vandalisme yang terjadi belakangan ini. Gerakan pertama kali hadir pada masa Yunani Kuno ini merupakan gerakan moral yang memutuskan untuk keluar dari tatanan polis (negara-kota) dan membentuk sebuah masyarakat otonom dengan menekankan prinsip kebebasan individu yang sebesar-besarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Martin Suryajaya, gerakan anarkis merupakan gerakan kosmopolit yang menentang segala bentuk hierarki sosial. Pada perkembangan nya, gerakan anarkis dapat dibagi menjadi tiga aliran besar yaitu Anarkis Sosialis yang kerap tumpang tindih dengan kaum Marxis, Anarkis Primitivis, dan Anarkis Individualis yang dipopulerkan oleh Max Stirner, seorang cendekiawan Jerman.
Anarkis Individualis sangat cocok jika dikaitkan dengan konteks penjarakan sosial sekarang ini, individu memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan eksistensial nya tanpa intervensi hierarkis apapun. Aliran anarkis ini juga kerap disebut sebagai Anarkis Egois mengingat keleluasaan yang besar diberikan kepada individu merdeka sekalipun hidup dalam masyarakat kolektif sekalipun.
Selain anarkis yang menonjol sebagai gerakan politik dewasa ini, dalam tradisi filsafat juga dikenal aliran Eksistensialisme yang digawangi oleh beberapa filsuf antara lain Soren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, Carl Jaspers hingga Friedrich Nietzsche yang kesohor. Aliran ini pertama kali dimunculkan oleh Kierkegaard lalu menjadi popular berkat Sartre.
ADVERTISEMENT
Premis utama Eksistensialisme yang menjadi erat kaitan nya dengan penjarakan sosial ialah bahwa bersosialisasi kerap kali menghilangkan eksistensi individu yang otentik. Mengingat nilai-nilai mayoritas yang dengan cepat menjadi dominan kadangkala memengaruhi penilaian kita terhadap fenomena apapun, maka tak heran jika Kierkegaard menganjurkan agar setiap individu tidak memiliki kesamaan pendapat dengan publik karena hal itu hanyalah penghiburan kosong.
Kierkegaard juga menganjurkan agar tiap-tiap individu tidak tenggelam dalam keriuhan publik karena akan menekan kekhasan dan kreatifitas individu menjadi sebatas salah satu atom yang membentuk persepsi umum masyarakat. Eksistensi otentik tidak pernah terjadi apabila individu berada dalam kerumunan publik.
Pada situasi normal kerap kali saya mengalami sekaligus mengamati perilaku manusia di dunia maya maupun nyata yang kerapkali hidup mengikuti standar yang normal ketika itu. Publik menjelma menjadi institusi represif yang memaksakan kehendak normatif tentang apa yang baik dan buruk.
ADVERTISEMENT
Efek buruh jika individu larut dalam kerumunan narasi publik ialah setiap manusia tidak memiliki fungsi sebagai Yang Menentukan. Menurut Kierkegaard, manusia terlihat menarik karena kekhasan pilihan yang ia hasilkan ketika problem eksistensial terjadi, bukan ketika menjadi poser dan hanya ikut-ikutan ketika yang lain melakukan. Sekali lagi, subjektifitas menjadi penting pada masa penjarakan sosial karena kita yang sebelumnya hidup hanya untuk menyenangkan orang lain kini bisa lebih menghargai dan mencintai diri sendiri dengan pilihan eksistensial yang sesuai dengan hati nurani.
Stay Zen Like Haaland
Apakah kita sanggup menghadapi situasi social distancing seperti ini terus menerus? Saya teringat kepada salah satu petuah dari film Whiplash, salah satu karakter yang diperankan oleh J.K. Simmons dengan sangat-sangat baik memberikan quote penyemangat menghadapi situasi pelik ini. Seperti ini bunyinya:
ADVERTISEMENT
Pada saat-saat sulit seperti ini dimana kebutuhan akan berinteraksi dengan lingkungan sekitar dibatasi merupakan sebuah ujian. Guna menghadapi ujian mental ini, filsafat Stoisisme menawarkan cara elegan dan ampuh dengan mengenal konsep dikotomi kendali.
Konsep dikotomi kendali menekankan perbedaan antara hal-hal yang berada di bawah kendali kita dan hal-hal yang bergerak di luar kendali kita. Menurut Epictutes, hal-hal yang berada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang berada tidak di bawah kendali kita bersifat lemah bagai budak, terikat, dan milik orang lain.
Hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita antara lain tindakan dan opini orang lain, reputasi/popularitas kita, kekayaan kita, kesehatan kita, kondisi saat kita dilahirkan, dan segala sesuatu yang berada di luar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya.
ADVERTISEMENT
Kesehatan sudah jelas berada di luar jangkaian kemampuan manusia. Tempo hari saya melihat ada yang membentangkan spanduk bertuliskan “Jangan Takut Virus Corona, Tapi Takutlah Pada Allah”. Perasaan saya campur aduk. Pertama karena masih banyak orang yang belum cakap dalam memilah mana urusan yang bisa diselesaikan oleh akal budi ketimbang memberikan pemahaman sesat dengan menyerahkan semuanya kepada Yang Trenseden untuk membereskan kekacauan ini.
Kedua, kebahagian sejati hanya bisa dating dari “things we can control”, hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Merasa bosan, depresi, putus asa karena tidak bisa keluar rumah harusnya dipandang sebagai ikhtiar untuk kembali menumbuhkan relasi-relasi harmonis dengan keluarga, tetangga, dan saudara yang terlupakan ketika kehidupan normal telah kembali.
ADVERTISEMENT
Melalui dikotomi kendali juga kita diajarkan bahwa kita wajib menggunakan nalar dan rasionalitas agar selaras dengan alam dan terhindar dari kebiasaan menyalahkan Tuhan dan orang lain. Memang benar bahwa urusan rejeki, reputasi atau kesehatan semua di bawah kendali Yang Kuasa, namun sebagai makhluk yang hidup di sekitar wilayah etis – meminjam istilah Kierkegaard yang mempertimbangkan baik dan buruk dalam pengambilan keputusan – harusnya dapat bertindak secara lebih bijaksana.
Selain melalui penghargaan lebih kepada diri sendiri melalui filsafat eksistensialisme di atas, filsafat Stoisisme juga menganjurkan agar belajar untuk mengendalikan persepsi melalui dikotomi kendali agar terhindar dari ketakutan yang tidak selalu seperti dalam bayangan.
Penutup
Penjarakan sosial sebetulnya memaksa untuk kita beristirahat sejenak, cobalah sebentar untuk rehat. Pada kondisi normal kita acapkali mengeluh pada rutinitas yang taka da habis-habisnya, kerjaan yang meminta perhatian 24/7, hubungan pertemanan dan asmara yang tak jarang membuat suasana tambah pelik. Inilah saatnya kita rehat.
ADVERTISEMENT
Tentu masih tanda tanya kapan semua ini akan berakhir, membayangkan nya saja saya belum berani. Tapi yang pasti selalu ada “blessing in disguise” dari setiap sesuatu. Seusai pandemi ini berakhir, kita harus tumbuh sebagai individu yang lebih menghargai diri sendiri melalui subjektifitas, individu yang lebih pandai mengendalikan persepsi agar tidak sakit hati, dan individu yang lebih bijak menghadapi persoalan eksistensial manusia yang tak berkesudahan.
Bella Ciao!