Siapa Itu Golongan Putih dan Apa Perannya Pasca-Pilpres 2019?

Kahfi Ananda Giatama
Suka sejarah dan sepakbola. Bisa diajak ngobrol dan berteman di @kahfiananda8 (Twitter) dan kahfiananda (Instagram).
Konten dari Pengguna
21 April 2019 11:19 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Ananda Giatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Golput. Sumber foto: https://medium.com/sayagolput/saya-golput-c0353fc84fc5
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Golput. Sumber foto: https://medium.com/sayagolput/saya-golput-c0353fc84fc5
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 22 Mei sebagai hari diumumkannya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2019-2024 berdasarkan hasil real count. Menjelang diumumkannya hasil real count, muncul spekulasi yang tak terhitung banyaknya.
ADVERTISEMENT
Kedua belah pihak mengklaim bahwa pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang mereka usung sahih menjadi pemenang Pemilu 2019, berdasarkan hasil penghitungan internal. Keduanya masih terus berjuang, baik yang ingin melegitimasi kemenangan maupun menolak kekalahan.
Sejak tulisan ini dipublikasikan, terdapat marjin empat hari dengan hari pencoblosan. Namun, yang terjadi di masyarakat--ditambah dengan kesimpangsiuran hasil penghitungan suara--adalah obrolan ihwal Pilpres 2019 menjadi tak ada habisnya.
Ketika Pilpres Malah Menjadi Candu
Ma'ruf Amin, Jokowi, Prabowo, Sandiaga Uno Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sebagai pemilih yang masuk dalam kategori milenial, saya merasakan bahwa partisipasi politik masyarakat Indonesia pada Pilpres 2019 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perdebatan mengenai sosok ideal yang pantas memimpin negeri terasa sangat begitu cair. Semuanya boleh mengoceh soal Pilpres 2019, tanpa mengenal batasan ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
Pilpres 2019 juga terasa begitu menggugah karena pasangan yang bertarung merupakan wajah-wajah lama dalam kontestasi perpolitikan nasional, yang sudah pasti memiliki basis massa yang fanatik tanpa memperhitungkan basis massa dari partai politik yang mereka usung. Begitu familiarnya capres dan cawapres pada Pilpres 2019 sangat mengundang partisipasi politik masyarakat untuk ikut serta dalam Pemilu 2019.
Partisipasi dan Polarisasi Politik di Tengah Masyarakat
Suasana kampanye akbar Prabowo-Sandi di GBK Foto: Dok. Tim Prabowo-Sandi
Namun, kapan sejatinya partisipasi politik kita meningkat?
Partisipasi politik masyarakat tak lepas dari pengaruh para politisi dan partai politik sebagai kendaraannya. Para politisi itu, dengan segala retorika dan propagandanya, berusaha mempersepsikan pandangan masyarakat sesuai dengan asumsi yang mereka anut.
Dalam kancah perpolitikan nasional, kasusnya adalah politisi menggunakan politik identitas ketika ingin mendulang suara kepada konstituen. Politisi menggunakan identitas untuk mempolarisasi masyarakat menjadi dua kubu yang bersebrangan secara ideologis.
ADVERTISEMENT
Contoh penerapan politik identitas yang paling menimbulkan efek masif, yaitu ketika Pilgub DKI Jakarta 2017, di mana Ahok berhasil masuk skenario besar politik identitas yang dibuat oleh para oposisinya dengan delik penghinaan agama. Politik identitas tersebut disertai gelombak populisme Islam yang tak bisa dianggap remeh dengan berbagai aksi massal. Dalam kasus ini, politik menggunakan identitas berupa agama untuk memobilisasi partisipasi politik masyarakat.
Meskipun Ahok sudah berhasil dilengserkan dan Anies Baswedan naik ke tampuk kekuasaan sebagaimana dikehendaki oleh suara umat, tetapi partisipasi politik masyarakat tidaklah lekas surut. Populisme Islam justru semakin menguat dengan beberapa hajat politik yang tersebar di berbagai daerah. Pengaruhnya sampai pada tataran Pilpres 2019, yang merupakan titik kulminasi partisipasi politik masyarakat semenjak gelombang populisme menghantam Pilgub DKI 2017.
ADVERTISEMENT
Populisme Islam hanyalah bagian kecil dari dampak yang dihasilkan politik identitas. Perlu diketahui bahwa politik identitas bekerja mengelompokkan kelas-kelas sosial di masyarakat, yang kemudian dikaitkan dengan program politik masing-masing partai guna menambah basis massa dari konstituen yang lebih luas.
Akibatnya, polarisasi pun tidak dapat dicegah. Semenjak Pilgub DKI 2017, semakin terlihat jelas dikotomi antara pendukung A dan B.
Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (tengah) didampingi Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kiri) dan Keta Dewan Pengarah TKN Jusuf Kalla (kanan) berpidato saat Konser Putih Bersatu di Stadion Utama GBK, Jakarta, Sabtu (13/4). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Dikotomi antarpendukung semakin tidak sehat dengan banyaknya cara-cara kotor seperti menebar berita bohong (hoaks), menyerang orientasi agama, ras, dan seksual lawan mereka yang jelas-jelas mengundang SARA, menyerang personal dan ujaran kebencian yang tak habis-habis mereka produksi. Menjadikan partisipasi politik yang berada pada level yang lebih tinggi dari sebelumnya, justru menjadi toxic bagi relasi-relasi sosial di luar politik yang sangat terkena imbasnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari, fenomena tersebut merupakan buah hasil politik identitas yang dilakukan masyarakat Indonesia dengan sangat menggebu-gebu. Melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Perdebatan panjang itu belum jua berakhir dan menyasar Pilpres 2019 sebagai panggung politik sebagai epic battle massal. Pilpres 2019 tak ubahnya padang pertempuran antar pendukung atas nama partisipasi politik. Pilpres. Strategi yang dipakai kedua pendukung paslon pun hampir sama, berkutat mengenai politik identitas.
Namun, medium yang dipakai tak melulu soal agama, terkadang menyasar persona seseorang seperti baik vs buruk, sekuler vs nasionalis, rakyat jelata vs elite. Semua itu membuat Pilpres 2019 dipersepsikan secara hitam putih.
ADVERTISEMENT
Polarisasi dan dikotomi pun makin terbelah secara ekstrem, patron dalam memilih orientasi politik dalam Pilpres 2019 juga berada dalam kadar ketakutan yang tinggi. Narasi ketakutan dipermainkan oleh kedua pendukung, menjadikan slogan “you’re either with us, or against us”.
Kelahiran Golput
Ilustrasi Golput. Sumber foto: https://medium.com/sayagolput/maklumat-memilih-untuk-tidak-memilih-428e6d73ddfa
Ketidaksehatan proses politik di Indonesia sekarang membuat jengah segelintir pihak yang menamakan dirinya sebagai Golongan Putih (Golput). Golput lahir pada 1971 sebagai aksi protes terhadap pemilu pertama Orde Baru yang jauh dari kesan demokratis, sangat kontradiktif dengan Pemilu 1955 yang oleh banyak pihak sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik nasional.
Secara singkat, Golput berisikan orang-orang yang jengah terhadap iklim politik yang stagnan, begitu-begitu saja. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena tingkat kepercayaan terhadap politik sangat kritis.
ADVERTISEMENT
Setelah direpresi begitu lama, kehadiran Golput kembali menguat pada gelaran Pilpres 2019. Ada banyak alasan mengapa Golput kembali menguat pada Pilpres kali ini. Namun, semuanya dapat dirangkum dengan satu kata, yaitu ideologis.
Namun, yang unik adalah kebanyakan masyarakat Golput ialah generasi milenial seperti saya, yang dengan bantuan informasi melalui berbagai platform kanal berita maupun media sosial mampu membangun analisis yang rasional untuk tidak memilih dalam Pilpres 2019 ini. Dengan polarisasi yang kian meruncing, kampanye penuh kebencian, hingga debat politik yang tak substansial sudah lebih dari cukup untuk memungkinkan mereka berkata “oke, gue Golput kali ini”.
ADVERTISEMENT
Pendukung petahana dan oposisi jelas mempunyai tugas mengawal kandidatnya sampai pada level yang dikehendaki. Namun, bagaimana dengan yang Golput? Indonesia adalah negara yang masih berkembang, Negara Dunia Ketiga yang masih berumur jagung. Artinya, Indonesia bisa dikatakan masih dalam proses demokrasi yang perlu evaluasi.
Evaluasi dalam proses demokrasi tersebut bisa dimulai dengan mencari kampanye politik yang menjual narasi ketakutan atau kebencian, memulai perdebatan substansial dengan harapan orientasi politik masyarakat benar-benar murni masalah program kerja yang paslon tawarkan. Harapan tersebut hanya dapat direalisasikan oleh orang-orang yang Golput? Mengapa?
Sebab, mereka yang memilih untuk Golput jelas tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap petahana maupun oposisi, sehingga mereka menjadi lebih objektif ketimbang pendukung kedua belah pihak. Objektivitas inilah yang menjadi prakondisi lahirnya ruang-ruang diskursif politik yang sehat, sekaligus pendidikan politik di level akar rumput yang sangat bermanfaat terhadap iklim politik nasional.
ADVERTISEMENT
Tugas Golput justru yang paling jelas. Kelompok ini bertugas menyeimbangkan kesalahan-kesalahan yang terjadi apabila pemerintah yang berkuasa tidak berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan rakyat. Golput juga bertanggung jawab atas peningkatan partisipasi politik di masyarakat supaya tidak diperdaya oleh kepentingan-kepentingan oligarki berkedok kesejahteraan sosial.
Jika pada 22 Mei nanti pendukung petahana maupun oposisi sudah dinyatakan purnatugas dalam pertarungan politik kali ini, di sisi lain, Golput baru memulai ikhtiar membereskan kekacauan-kekacauan yang diakibatkan pesta politik lima tahunan tersebut. Kembali bersama-sama merekonstruksi relasi-relasi di luar pilihan politik yang terancam runtuh akibat Pilpres.
Serta saling mengingatkan bahwa partisipasi politik masyarakat tidak selesai sampai bilik suara, karena masih ada lima tahun yang memerlukan perhatian ekstra keras untuk mengawal pemerintahan. Kritik-kritik jelas diperlukan karena kritik adalah bentuk dukungan yang paling loyal.
ADVERTISEMENT