Ambon, Kota Penuh Cahaya

Kamaruddin Azis
Blogger di www.denun.id. Cinta pesisir dan laut Indonesia.
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2017 14:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ambon, Kota Penuh Cahaya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bersama AS Dg. Nyarrang (Dok. Pribadi)
Agus Salman Daeng Nyarrang, telah sedia di Bandara Pattimura pada sore tanggal 5 Juni 2017. Dia memang menjanji untuk jemput. “Kabari saja kalau jadi ke Ambon,” katanya via Whatsapp di akhir Mei.
ADVERTISEMENT
Bersama manajer di Grup Matahari cabang Kota Ambon itu, kami menyusuri jalan dari bandara ke pusat kota. Kota yang belakangan ini menjadi salah satu destinasi wisata yang menggairahkan di Indonesia bagian Timur.
Kesan ini terbukti ketika kami menyusuri jejalan yang melintasi jembatan Merah Putih. Jembatan yang merupakan salah satu ikon wisata di kota berjuluk Ambon Manise ini. Pemandangan sungguh indah dari atas jembatan. Melihat ke segala penjuru.
Di jembatan sepanjang 1,140 dan selebar 22 meter dan diresmikan di tanggal 4 April 2016 oleh Presiden Jokowi itu, kami mampir menghangatkan kenangan. Memamerkan rasa gembira. Mengirim gambar ke Path dan Facebook. Kami bersuka cita di jembatan yang terletak di Hative Kecil. Sirimau.
ADVERTISEMENT
Pada sinaran cahaya sore itu, saya melepaskan pandangan ke timur, ke Galala, ke kampung-kampung pesisir di tepian kota. Terkenang saat mendarat di sini di tahun 1994. Saat itu, sempat transit bersama KM Kerinci setelah bertolak dari Kota Bitung di bulan Januari yang berombak.
Setelah check-in di Hotel Amaris Kota Ambon, saya diajak Agus ke salah satu café di tengah kota sembari menunggu adzan untuk berbuka puasa dan shalat magrib. Salman bercerita tentang geliat kota Ambon yang semakin menyenangkan. Sebagai professional, Salman mengaku betah dan bahagia.
Ambon, Kota Penuh Cahaya (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari Amaris (foto: KA)
Pada pagi tanggal 6 Juni 2017 saya menyaksikan keindahan pemandangan kota Ambon yang luar biasa. Menyentuh dan damai. Melihat pucuk Al Fatah dan Gereja Silo Ambon tersapu cahaya, kabut tipis masih bertahta di puncaknya, sungguh indah dari balik jendela hotel. Rumah-rumah membuka jendela, lampu-lampu jalan mulai padam, satu per satu kendaraan mulai memenuhi jalan raya. Dari jendela hotel saya menghirup aroma harapan.
ADVERTISEMENT
Sebelum ke kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, saya bergegas ke jembatan Merah Putih lagi. Tujuannya ingin menjaring garis-garis cahaya dari sunrise di timur kota. Sungguh tak meleset dari angan-angan sebab pagi itu saya panen pemandangan luar biasa.
Cahaya pukul 6 pagi sungguhlah menawan kali ini. Nyiur melambai, cahaya menyusup di dedaunan, menyinari kampung-kampung pesisir. Pemandangan pagi ini seperti lukisan dari tinta tanah yang menjelma garis-garis.
Kabut tipis masih terlihat di atas Kawasan Galala, di atas laut, pantai dan perumahan warga. Bebilah cahaya yang mengingatkan saya pada jalur perdagangan rempah nun lampau. Pada aroma cengkeh dan pala yang melatari sejarah panjang Maluku dan sekitarnya dimana Kota Ambon sebagai simpulnya.
ADVERTISEMENT
Di Kota Ambon, saya juga beruntung sebab Muhammad Husein Kaplale yang membawa saya menyusur kota memperlihatkan Swalayan Citra, tempat yang pertama saya kunjungi ketika kapal Pelni yang kami tumpangi dari Bitung transit di Ambon. Swalayan ini terlihat imut dan terjepit di antara bangunan-bangunan yang kian padat merapat. Senang saja sebab ini mengantar saya ke kunjungan itu.
Ambon, Kota Penuh Cahaya (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sunrise di atas Kota Ambon (foto: KA)
Ambon, Kota Penuh Cahaya (3)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pagi Kota Ambon (foto: KA)
Sepulang dari lokakarya yang saya ikuti di kantor DKP Provinsi, saya berjalan-jalan ke Masjid Al Fatah. Suasana sedang ramai. Ada festival seni Islami anak muda. Cara mengisi Ramadhan di Kota Ambon.
Saya berjalan ke utara. Menyusur kota dengan jalan kaki. Setelah saya cek di Google Map, rupanya jarak Al Fatah ke hotel Amaris tidak terlalu jauh. Meski demikian, karena ini Ramadhan saya kepikiran untuk naik becak.
ADVERTISEMENT
Saya pun memeriksa isi dompet. Masih ada ada uang 10 ribu dan dua lembar uang 100ribu (psssst, jujur saja, saya enggan menukar uang seratusan ini). Dalam hati saya berujar. “Ini tidak jauh, saya kira si tukang becak mau dibayar 10 ribu.” Batinku.
Si tukang becak tidak mau dengan harga 10 ribu. Kalau saya lihat mimik wajahnya sepertinya setengah hati juga, dia ingin rehat di sore itu. Seperti saya. Belakangan saya tahu kalau harga ini terlalu murah, apalagi ini bulan Ramadhan. Saat tahu bahwa si tukang becak, enggan dibayar 10ribu ke Amaris, seorang anak berbaju merah merogoh kantongnya dan memberikan ke saya uang 5 ribu.
“Ini om,” katanya sembari menyemburkan senyum persahabatan. Glek!
ADVERTISEMENT
Anak itu terlihat charming. Dia menggemaskan. Seorang temannya yang lain duduk santai di atas becak sembari mengangkat kakinya. Dia tersenyum.
“Oh seng, tidak apa, saya cukup jalan kaki,” kataku ke mereka dengan perasaan grogi. Tiba-tiba wajah saya bersemu merah. Halah!
Ambon, Kota Penuh Cahaya (4)
zoom-in-whitePerbesar
Dua anak kecil (foto: KA)
Saya berjalan ke arah Amaris. Belakangan saya sadar kalau jaraknya lumayan jauh tapi karena kadung pede jalan kaki saya terus saja melangkah. Lulut dan betis saya memberi tanda tapi saya tetap jalan.
Saya melangkah, menyusuri jalan ke timur kota, jalan-jalan yang terasa lempang. Saya juga mencatat tentang pengalaman indah dan menyenangkan sehari ini, tentu saja termasuk dari si anak kecil yang menggemaskan itu. Teringat senyum dan sorot matanya.
ADVERTISEMENT