Sekali Lagi, Komunisme Bukanlah Ancaman

Muhammad Faris Rifqi
Co-exce bakul Indis Books 'n Clothings. Kognitariat dan penikmat sejarah sosial-politik.
Konten dari Pengguna
1 Juli 2020 21:01 WIB
Tulisan dari Muhammad Faris Rifqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Civitas akademika UGM mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila secara daring atau online melalui Google Meet dan siaran Youtub. Foto: Dok. Humas UGM
zoom-in-whitePerbesar
Civitas akademika UGM mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila secara daring atau online melalui Google Meet dan siaran Youtub. Foto: Dok. Humas UGM
ADVERTISEMENT
Berbekas di kepala saya, dalam beberapa hari terakhir telah ramai diperbincangkan orang, yakni RUU HIP yang lebur dengan riuhnya kembali isu kebangkitan PKI (isu kebangkitan PKI sebenarnya digarap lagi mulai bulan Mei). Sebagian ormas melakukan demonstrasi besar untuk menuntut dihentikannya pembahasan mengenai RUU tersebut oleh parlemen. Bahkan, ormas-ormas tersebut mengkaitkan esensi dari RUU HIP tersebut sebagai suatu upaya untuk memberikan keluasan terhadap PKI agar bangkit kembali. Sumpah serapah mereka tumpahkan dalam arena demonstrasi hingga menuduh presiden dan PDIP sebagai kawan seperjuangan bagi kaum komunis, sehingga mereka pun turut menuntut agar presiden diberhentikan saja dari jabatannya. Apalagi jika melihat berbagai kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi yang kurang tepat, dijadikan senjata tambahan oleh mereka untuk melemparkan kritikan paling cadas di muka kekuasaan sang presiden.
ADVERTISEMENT
Memahami Trisila
Bagian paling krusial yang mereka permasalahkan dari RUU HIP adalah keberadaan Trisila dan Ekasila yang mereka duga akan mereduksi Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, Trisila dan Ekasila sejatinya merupakan perasan konseptual dari Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Mengenai Trisila dan Ekasila ini tidak bisa dilepaskan dari pergulatan pemikiran Bung Karno selaku penggali Pancasila. Trisila dapat dikatakan sebagai tiga sila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Ketiga rumusan tersebut merupakan bentuk paduan yang solid dari kelima sila dalam Pancasila. Sosio-nasionalisme dalam karya intelektual Bung Karno adalah nasionalisme yang ber-perikemanusiaan, beorientasi tegas untuk menyelamatkan rakyat dari bahaya nasionalisme-ras yang akan membuyarkan persatuan bangsa Indonesia, apalagi chauvinisme yang tidak didasari akal sehat dan cita-cita persaudaraan seluruh bangsa di dunia.
ADVERTISEMENT
Esensi lain yang bisa kita nyatakan dari sosio-nasionalisme dalam pemikiran Bung Karno tidak lain adalah solidaritas global yang dijunjung tinggi dalam kehidupan antar bangsa dan antar negara, inilah suatu nasionalisme dan internasionalisme sekaligus, bersari padu untuk memberikan pondasi tekad merdeka setiap bangsa di dunia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. Singkatnya, sosio-nasionalisme adalah ramuan konseptual yang diracik dari sila ke-2 dan sila ke-3 dalam Pancasila. Adapun, Sosio-demokrasi merupakan ramuan konseptual yang diracik dari sila ke-4 dan sila ke-5 dalam Pancasila. Sejatinya, sosio-demokrasi merupakan demokrasi massa-rakyat seperti yang diimpikan oleh Bung Karno. Demokrasi massa-rakyat yang dimaksud adalah demokrasi yang berdiri di atas dua kaki sekaligus. Bukan hanya mewujud sebagai demokrasi politik, tapi juga mewujud sebagai demokrasi ekonomi seperti yang diidam-idamkan oleh kelas pekerja.
ADVERTISEMENT
Tak ketinggalan dari keduanya, sila ketuhanan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja sebagai pondasi berbangsa Indonesia. Dalam kenyataan sejarahnya, pada umumnya, kebanyakan kelompok masyarakat di nusantara (yang kemudian bersatu sebagai sebuah bangsa Indonesia) memang telah berkembang sebagai suatu kelompok yang kuat dalam religiusitasnya. Jauh sebelum kehadiran agama Islam, bahkan sebelum kehadiran Hindu-Budha, masyarakat-masyarakat yang mendiami nusantara telah mengembangkan suatu agama tersendiri sebagai identitas spiritual mereka. Mereka dahulu hidup dengan nafas kebudayaan yang harum, terbukti dengan peradaban yang telah mereka bangun. Pun, mereka telah hidup dengan jiwa spiritual dan berketuhanan. Hal inilah yang menjadikan sila ketuhanan dalam Pancasila juga penting untuk diperhatikan. Trisila juga menempatkan sila ketuhanan tersebut sebagai pondasi pokok, tapi tidak mungkin diperas lagi secara konseptual jika tanpa menyelaraskan kebermaknaan material dan spiritualnya dalam kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, memahami makna dari Trisila tidaklah serumit yang dikira. Kita hanya perlu merujuk kembali pada sejarah, dan menguak dengan cermat berbagai khazanah pemikiran pendiri bangsa dalam memaknai dan memberikan penegasan esensi dari Pancasila. Sebagai contoh, Bung Karno pernah mengutarakan Trisila itu tadi jauh sebelum Pancasila sebagai dasar negara disahkan secara formal pada 18 Agustus 1945. Konsepsi Bung Karno mengenai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sebenarnya tidak ada bedanya dari segi substansi dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung Hatta selaku wakil presiden pertama kita. Tidak ada yang salah dari Trisila sebagai perasan konseptual atas Pancasila sebagaimana telah hadir sebagai khazanah pemikiran para pendiri bangsa. Tapi, memang tepat apabila RUU HIP yang memuat Trisila dalam fungsi konseptual dari Pancasila dihentikan pembahasannya, apalagi pengesahannya.
ADVERTISEMENT
Kita harus mengingat bahwa hal ini (RUU HIP) tak serta-merta kita benarkan tanpa adanya konsensus berbagai pihak sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Lagipula, saya kira tidak perlu mengatur haluan ideologi negara dalam suatu undang-undang. Pancasila sebagai asas tertinggi negara sudah begitu universal untuk menjadi panduan tertinggi dari berbagai produk hukum yang akan dibuat dalam undang-undang hingga aturan-aturan di bawahnya. Pun demikian, Bung Karno tidak pernah mendesak agar perasan konseptual dari Pancasila yang diajukannya itu agar disahkan secara formal di dalam konstitusi. Sebab, apa? Pancasila sendiri sebagai dasar negara dan falsafah hidup berbangsa juga sudah jelas sebagai payung utama dari segala produk hukum yang hendak dirumuskan. Apabila ada pihak-pihak yang menafsirkan Pancasila ke arah yang berlawanan dengan esensi sila-silanya sebagaimana dijabarkan oleh pendiri bangsa kita, besar kemungkinannya mereka melakukan kesalahan. Kesalahan dalam memahami esensi Pancasila akan berimbas pada kesalahan praksisnya dalam tindak-tanduk sehari-sehari, entah itu dalam lingkup sosial organisasi terkecil hingga lingkup negara sebagai organisasi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka & Marxisme Founding Fathers
Lalu, dimanakah posisi Pancasila jika ia difungsikan sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara saat ini? Perlu digarisbawahi di sini, Pancasila sebagai dasar negara kita sebenarnya juga dapat difungsikan sebagai ideologi. Tapi, penting untuk ditegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Terbuka dalam pemahaman saya, yakni ia (baca: Pancasila) menerima adanya pergulatan atau dialektika berbagai macam ideologi dunia di wilayah Republik Indonesia ini selama ideologi tersebut memberikan sumbangsih praksis yang nampak jelas sebagai bentuk realisasi Pancasila yang semakin baik dari waktu ke waktu. Pancasila bertindak sebagai wadah dan gelas ukur untuk menilai kadar kandungan daripada ideologi-ideologi dunia yang masuk, kemudian dapat ditentukanlah sejauh mana kontribusi praksis ideologi tersebut dalam proses berkelanjutan dari tindakan merealisir nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
ADVERTISEMENT
Ideologi-ideologi besar dunia pernah mewarnai perjalanan bangsa kita dalam sejarah yang harum sekaligus anyir bau darah. Meninjau kembali sejarah kita sebagai bangsa adalah kunci untuk memahami sejauh mana intervensi ideologi-ideologi besar dunia dalam alam pikiran politik para pendiri bangsa, dan sejauh mana hal itu menjadi referensi dominan bagi konstruksi pandangan politik mereka dalam pergerakan nasional hingga pasca proklamasi kemerdekaan. Ambil saja contoh; presiden dan wakil presiden pertama selaku bagian di antara sekian pejuang utama sejak masa pergerakan nasional Indonesia, Bung Karno & Bung Hatta. Keduanya adalah seorang marxis, mereka mengakuinya sendiri. Artinya, mereka meyakini analisis tajam dan panduan pemikiran yang diberikan oleh Karl Marx untuk merespon dan menyikapi sistem kapitalisme (dan alat-alat ideologisnya) dalam suatu bentuk perlawanan/perjuangan yang taat dan konsisten dijalankan oleh kelas pekerja.
ADVERTISEMENT
Bung Hatta merupakan seorang marxis, tapi tidak menyukai praktik politik yang dijalankan oleh Uni Soviet -dalam mengejawantahkan marxisme plus interpretasi Lenin terhadapnya- di bawah kepemimpinan Stalin yang bermasalah. Hal utama yang menjadikan Bung Hatta sinis terhadap kepemimpinan Stalin atas Uni Soviet adalah diremehkannya penyelesaian politik secara demokratis. Stalin mengarahkan Uni Soviet ke dalam bentuk kediktatoran negara yang diperintah oleh partai komunis yang sangat birokratis dan menumpas kebebasan berpendapat maupun berpolitik bagi kelompok-kelompok oposisi progresif. Beberapa intelektual muslim yang juga seroang sosialis-religius seperti Mohammad Natsir (pemimpin Masyumi) juga seringkali merasa khawatir bilamana Uni Soviet akan mengekang kebebasan beragama warga negaranya. Mengenai hal itu, terdapat banyak perdebatan yang cukup menarik.
Suatu fakta yang akan sulit dibantah nampaknya potensial untuk menepis tudingan miring terhadap kelompok marxis-leninis. Ya, sebagaimana kita ketahui, Aidit selaku pimpinan PKI pernah menyatakan bahwa jumlah anggota partainya yang beragama Islam jika ditotal akan melebihi jumlah anggota partai Islam yang kecil-kecil. PKI pun dalam konstitusinya (AD/ART) mengakui kebebasan beragama bagi anggotanya. Memang betul, apabila merujuk pada pergerakannya dalam sejarah, kelompok marxis relatif lebih mudah beraliansi dengan kelompok nasionalis daripada kelompok islamis. Seorang nasionalis, bahkan di saat yang sama juga merupakan seorang marxis, sebagaimana Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan masih banyak pemimpin lainnya. Religiusitas Bung Hatta bahkan tak perlu kita pertanyakan lagi.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi sosial-politik yang dihadapi para pendiri bangsa kita, mau tidak mau gagasan marxis meresap dalam alam pikiran mereka. Sebab, pisau filsafat (marxisme) itulah yang nantinya berguna bagi mereka untuk membedah kondisi dan perkembangan masyarakat mereka yang dihantui oleh kolonialisme serta imperialisme sebagai bentuk kepanjangan tangan kapitalisme Eropa Barat yang baru saja menginjak masa remaja. Marxisme juga menginspirasi mereka untuk membulatkan tekad berjuang, melawan, & memberontak kepada sistem yang menindas dengan mempersatukan segenap manusia tertindas tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku, etnis, maupun bahasa, dll. Marxisme yang meresap sebagai referensi ideologis mereka sejatinya memang berangkat dari suatu penelaahan panjang atas kondisi material menyedihkan yang dialami oleh masyarakat di bawah penindasan kolonialisme dan imperialisme.
ADVERTISEMENT
Sebuah Seni Memandang Komunisme
Komunisme, kata yang sudah sering terdengar oleh kita dan seringkali diabaikan oleh sebagian dari kita mengenai kebenaran makna atau pengertian dari istilah tersebut. Begini, sebagai manusia tentu kita menyadari bahwa kita memiliki kebutuhan sosial yang kompleks. Salah satunya adalah kebutuhan melakukan dialog, komunikasi yang intens dan bermakna antara beberapa pihak untuk mencapai kesepahaman dan pengertian yang baik satu sama lain. Sudahkah ini berlaku di antara kita untuk mencapai kesepahaman dan pengertian yang baik mengenai sejarah kita sebagai bangsa yang pernah akrab dengan komunisme? Jawabannya tentu belum, jikalau sudah tentu tidak mungkin kita melihat kembali suatu aksi demonstrasi yang menggebu dalam meneriakkan, “PKI = Atheis”, atau “PKI = Liberal”.
ADVERTISEMENT
Mempelajari sesuatu memanglah harus sabar, demikian juga dalam memahami ideologi yang disebut komunisme itu. Sabar adalah kunci dalam belajar, dengan bersabar kita akan lebih mudah untuk mendialogkan sesuatu yang kita baca, bahkan sesuatu yang pada mulanya kita pertentangkan dengan pihak lain. Termasuk dalam memahami komunisme, kita perlu membedakan terlebih dahulu istilah-istilah yang kedengarannya sama seperti; komunis, masyarakat komunis, komunisme. Mungkin agar mudah, kita dedahkan dahulu apa itu komunisme. Komunisme adalah marxisme yang ditafsirkan lebih lanjut oleh Lenin sehingga cocok dengan praktik politik yang dipilihnya bersama kelompok Bolshevik dalam mewujudkan revolusi sosialis di Rusia yang masih semi-feodal pada dekade-dekade awal abad ke-20. Revolusi sosialis adalah revolusi sistemik yang dimulai dengan revolusi politik untuk kemudian merambah dalam aspek lainnya, sebagai upaya menyingkirkan pranata politik dan ekonomi kapitalisme dengan menggantinya dengan pranata politik dan ekonomi yang dipimpin oleh kelas pekerja. Praktik politik yang dipilih Lenin dalam barisan Bolsheviknya adalah perlawanan politik bersenjata pada mulanya, untuk meruntuhkan kekuasaan Tsar di Rusia yang sangat brutal terhadap kelompok progresif-revolusioner (sosialis & komunis). Pendekatan Lenin dan kelompok komunisnya berbeda dengan kelompok sosialis reformis di Jerman yang berupaya terintegrasi dalam sistem parlementer borjuis di Jerman, untuk mengubah pelan-pelan dari dalam sistem yang ada menuju penerapan sosialisme yang dimaklumi akan lama.
ADVERTISEMENT
Kaum komunis adalah kubu yang mencibir pendekatan kaum sosialis reformis, kaum komunis lebih memilih mengumpulkan kekuatan massa secara terorganisir dan ketat di bawah kepemimpinan mereka untuk merebut kekuasaan politik dari luar jalur parlementer, perjuangan bersenjata. Kaum komunis ini sebelumnya disebut sebagai sosialis-revolusioner, hingga kemudian mereka memisahkan diri dari barisan yang padu bersama kaum sosialis reformis, untuk kemudian mendirikan partai sendiri. Partai itulah yang kemudian mereka sebut sebagai partai komunis. Adapun, masyarakat komunis sebenarnya merupakan terma/istilah yang dapat kita sepadankan sebagai masyarakat adil & makmur, masyarakat tanpa kelas, sebuah tahap akhir dari perkembangan sistem kemasyarakatan yang telah diidam-idamkan oleh kaum tertindas.
Jika merujuk pendefinisian terma-terma tersebut seperti disebut dalam paragraf-paragraf di atas, kita mungkin akan bertanya-tanya mengenai posisi PKI dalam kerangka ideologis yang melahirkannya. Nyatanya PKI (khususnya sejak 1951 di bawah kepemimpinan Aidit, Njoto, & Lukman) tidak pernah berencana melaksanakan revolusi sebagaimana yang dicontohkan oleh kaum komunis di Rusia pada 1918. Konteksnya sudah berbeda bila membandingakn kondisi di Rusia kala itu, dengan kondisi Indonesia. Bahkan, secara meyakinkan, PKI mantap untuk berpartisipasi dalam Pemilu 1955 dan berhasil keluar sebagai salah satu partai yang paling didukung oleh rakyat Indonesia. Pemilu 1955 bisa dinilai sebagai pemilu yang terselenggara paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia, di tengah keberagaman asas dan ideologi yang dianut masing-masing partai peserta kala itu. Suatu prestasi tersendiri yang diraih bangsa kita pada masa demokrasi liberal/parlementer.
ADVERTISEMENT
Komunisme adalah gagasan mendunia pada abad ke-20 yang bercita-cita mulia: menumbangkan penindasan atas kelas pekerja (kaum tertindas) oleh sistem kapitalisme. Komunisme sebagai turunan dari gagasan Marx adalah hasil interpretasi Lenin yang berangkat dari kondisi sosial-politik maupun sosial-ekonomu yang dihadapinya pada abad ke-20. Apabila komunisme dalam wujud dogmatisnya yang lahir pada abad ke-20 itu diterapkan di masa sekarang oleh kelompok kiri, tentu tiada guna, kuno, bahkan ketinggalan jaman! Kondisi baru mengkondisikan kita untuk mengalami hal baru dan merefleksikannya secara kritis dari waktu ke waktu, hingga terbentuklah teori-teori baru, analisis-analisis terbaru untuk menyikapi secara tangguh perubahan-perubahan dalam tubuh kapitalisme dewasa ini.
Tidak perlu menyibukkan diri untuk takut terhadap “hantu” yang bukan hantu, “momok” yang bukan momok. Takutlah jika pemegang otoritas negara semakin bertindak represif tapi permisif terhadap segala tipu daya kaum kapitalis yang rakusnya bukan main. Rakus merampas tanah-tanah kaum tani, rakus melahap lahan-lahan konservasi, rakus melahap nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja, rakus menggasak usaha-usaha kecil rakyat, rakus menguasai media, rakus membeli keadilan yang dijual oleh para penegak hokum, dan rakus untuk menguasai parlemen melalui lobi-lobi politiknya dengan partai yang bisa dibeli. Rakus-rakus yang lain, hayati saja sendiri. Tulisan ini akan terlalu panjang nanti. “Sekian, terima kasih.”
ADVERTISEMENT