news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Barangkali Dunia Kerja yang Indah Itu Hanyalah Sebuah Gincu

Konten dari Pengguna
17 Desember 2019 11:37 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nur Alam Tejo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi seorang lelaki berangkat kerja Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi seorang lelaki berangkat kerja Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saya tak habis pikir bagaimana mungkin anak muda generasi saya suka sekali memamerkan betapa serunya kehidupan kerjanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari teman saya bahkan secara rutin meng-upload aktivitas lembur dengan memasang mimik muka bahagia seolah-olah kerja adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Tagar-tagar semacam '#hustle', '#ThankGodItsMonday', dan '#WorkAddict' menghiasi foto-foto yang mereka upload baik di feed atau instastory Instagram mereka.
Barangkali mereka sudah meyakini betul bahwa di dunia ini kerja keras adalah segalanya untuk meningkatkan status sosial. Sudut pandang yang sedemikian optimis menurut saya naif karena berusaha melihat kemungkinan dan cahaya terang di ujung terowongan, padahal seperti yang dikatakan filsuf Slavoj Zizek: Di ujung terowongan hanya ada cahaya lampu kereta api yang siap untuk menabrakmu.
Teman-teman saya mungkin ingin menyampaikan secuil kesan di balik tampilan Instagram mereka bahwa kerja sebenarnya tidaklah suram-suram amat. Namun, nyatanya ia cenderung abai terhadap selubung gelap eksploitasi di balik aktualisasi diri yang diciptakan dari fenomena tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari Kisah Heroik Ini lah Semuanya Dimulai
Kerja (ilustrasi). Foto: Pixabay
Sebagian besar generasi saya hidup di kelilingi oleh kisah-kisah superhero, inovator muda, dan segala epos orang-orang sukses di usia muda yang kerap didengungkan di berbagai platform digital.
Banyak kesan ‘inspiratif’ yang akhirnya menempel dari kisah tersebut membentuk figur manusia ideal di masyarakat bahwa seorang yang berani ambil risiko, gigih dalam memperjuangkan nasib, dan kreatif dalam menyelesaikan persoalan hidup yang semakin kompleks adalah prototipe manusia ideal zaman sekarang.
Kesan-kesan ideal ini semakin memuncak ketika para influencer, intelektual, para politisi genit, dan media massa kita membicarakan hal tersebut dari hari ke hari.
Banyak teman saya telanjur yakin untuk menelusuri jalan ninja ini. Belajar dengan rajin, bergaul dengan banyak orang, memperbanyak aktivitas, dan berasumsi bahwa seluruh jargon tersebut memang benar adanya.
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya hidup semacam itu, setidaknya bagi saya, hanya akan jadi semacam remah-remah kue yang tertinggal di dalam toples. Ia menjadi tak begitu penting dan relevan untuk diperjuangkan jika kita mengetahui bahwa ada banyak privilege yang berpengaruh menentukan sukses tidaknya seseorang.
com-Ilustrasi kerja sama di kantor. Foto: Shutterstock
Selepas teman-teman saya diwisuda, kebingungan eksistensial seketika menyeruak. Kesalahan awal itu bermula ketika mereka telanjur yakin bahwa segala perencanaan hidup yang mereka susun akan berjalan mulus.
Sisanya bisa tebak, hidup laksana kotak pandora yang tak berhenti membuat kejutan, sebab kita tak benar-benar tahu ke mana jalur kehidupan itu akan membawa kita pergi. Rasa gamang tiba-tiba hadir dari ruang gelap ketidakpastian pekerjaan, hampir mustahilnya mempunyai tempat tinggal yang layak, kehancuran iklim yang ekstrem, dan segala rasa was-was mempertahankan diri dari ganasnya ekosistem pasar kerja.
ADVERTISEMENT
Seolah ada dorongan yang membuat banyak teman saya pasrah atas apa yang ditawarkan kehidupan. Mereka menjadi bersikap permisif dan terlanjur meyakini bahwa hidup ini adalah transisi dari, "yaudah yang satu ke yaudah yang lain".
Penyesalan datang hilir-mudik tanpa henti menghujani hidup generasi ini beberapa tahun belakangan sehingga membuat generasi ini belajar menerima apa yang sudah terjadi, untuk kemudian bersiap-siap mengalami penyesalan berikutnya.
Ilustrasi di tempat kerja. Foto: Shutterstock
Saya yakin mereka sadar bahwa sikap demikian adalah sikap seorang pengecut dan merupakan bentuk sinisme yang berlebihan. Tapi ajaibnya, kita selalu menemukan pembelaan-pembelaan atas keputusan yang kita buat tanpa benar-benar mencari solusi untuk keluar dari persoalan tersebut.
Misalnya saja ketika teman-teman saya mulai menyesali kenapa mereka tak belajar lebih giat, kenapa mereka harus terlahir sebagai orang melarat, dan apakah mungkin mereka bisa berbahagia.
ADVERTISEMENT
Dan, apa jawaban dari kegelisahan itu semua? Mereka main game online lebih sering, kecanduan menonton film porno, dan beberapa orang jatuh menjadi pecandu alkohol.
Saya tak menyalahkan mereka atas sikap yang mereka ambil, sebab saya yakin memang dunia ini selalu punya dua sisi yang sama sekali berlainan. Di permukaan kita dituntut untuk menjadi orang baik-baik; punya penghasilan, membangun keluarga, dan menjalani hidup sesuai dengan peranan sosial yang diberikan masyarakat.
Tapi, jauh di dalam ekosistem tatanan masyarakat yang ada saat ini, segala gambaran kehidupan ideal tersebut hanyalah mitos belaka.
Bagaimana mungkin generasi saya punya penghasilan tetap? Bagaimana caranya generasi saya dapat mantap untuk membangun keluarga tanpa harus terseok-seok memikirkan biaya hidup yang terus melonjak? Dan, dalam situasi macam apa yang memungkinkan peranan sosial dapat dijalankan dengan baik di dunia yang berbeda sama sekali dari 20 tahun sebelumnya ketika media sosial belum semarak sekarang?
ADVERTISEMENT
Kehidupan generasi kami dari hari ke hari menciptakan dualitas yang semakin hari makin jauh untuk dijembatani. Parahnya, di tengah kebimbangan ini, selalu saja ada orang-orang optimis yang mempromosikan motivasi megalomaniak di berbagai platform media sosial.
Segala jenis jargon workaholic digaungkan untuk memotivasi anak-anak muda generasi saya untuk berkompetisi menjadi pribadi unggul yang mampu mengusai banyak hal.
Ilustrassi freelance. Foto: Shutter Stock
Beberapa kawan saya setelah lulus berhasil menjadi pegawai tetap, dan kebanyakan dari mereka, termasuk saya, berjuang menghidupi diri dengan bekerja freelance, menjadi mitra platform ride-hailing, dan tentu saja menunggu lamaran CPNS.
Hal yang mengherankan adalah tendensi bahwa kita semua dituntut untuk menyukai pekerjaan yang kita lakukan sebusuk dan seeksploitatif apa pun itu.
ADVERTISEMENT
Sialnya, ketika mereka mulai berubah menjadi pribadi yang rajin dan giat bekerja, banyak dari mereka terbeli dengan berbagai rayuan macam, Just do it! Don’t stop when you’re tired, stop when you are done! Dan, do what you love! Sulit sekali melepaskan cengkeraman jargonistik ini di dimensi psikologis generasi saya. Banyak orang berusia sepantaran saya (di antara usia 20-25 tahun) bilang, “emang kek gini idup, udah, sih, ikutin aja!”.
Mulai saat itu, mereka mulai meng-upload kegiatan mereka ketika bekerja, memasang muka bahagia di Instastory dengan hashtag '#ThanksGodItsMonday', dan beragam twit omong kosong tentang betapa menyenangkan lingkungan kerja mereka. Bagi saya, fenomena ini hanyalah romantisme yang menipu.
Ilustrasi mengantuk di tempat kerja. Foto: Shutter Stock
David Heinemeier Hansson, salah satu pendiri sebuah perusahaan perangkat lunak Basecamp, menjelaskan fenomena romantisme kerja dengan baik di dalam bukunya It Doesn’t Have to Be Crazy at Work.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, meskipun data menunjukkan jam kerja yang panjang tidak berimplikasi pada peningkatan produktivitas atau pun kreativitas, mitos tentang kerja keras tetap dipertahankan karena hal tersebut memberikan dan dapat memperkaya sekelompok kecil elit.
Artinya, segala romantisme yang dibangun dari kerja keras saat bekerja hanyalah merupakan bentuk penipuan untuk menutupi kisah eksploitatif di belakangnya.
Elon Musk adalah contoh yang baik untuk memberikan gambaran bagaimana elit berusaha memotivasi para pekerjanya bekerja keras. Ia memuji pekerjanya lewat cuitannya di Twitter pada bulan November 2018, “There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week”.
Ketika ditanya, berapa jumlah kerja yang tepat untuk mengubah dunia? Ia menjawab, Varies per person, but about 80 sustained, peaking above 100 at times. Pain level increases exponentially above 80.”
ADVERTISEMENT
Elon Musk, yang sekarang memiliki lebih dari 30 juta followers di Twitter, lebih lanjut mengatakan bahwa, “if you love what you do, it (mostly) doesn’t feel like work”.
Ketika John Maynard Keynes dalam esai "Economic Possibilities for Our Grandchildren" (1930) meramalkan bahwa di abad ke-21 manusia cukup untuk bekerja 15 jam seminggu, seorang inovator teknologi mendadak menjadi seorang motivator megalomaniak mempromosikan kerja 80 jam seminggu! Sebuah prestasi yang hebat bukan?
Kerja Sebagai Ritus Sosial
Ilustrasi rekan kerja Foto: Shutterstock
Dari kisah-kisah yang telah saya paparkan sebelumnya, saya meyakini bahwa kerja saat ini telah dianggap sebagai ritus suci di masyarakat. Semacam atheisme baru yang sedang menjangkiti generasi saya.
Terdapat tendensi yang meyakini bahwa kerja menciptakan aktualisasi diri paling paripurna ketika aspek religiusitas keagamaan mulai menurun.
ADVERTISEMENT
Menurut pandangan saya, konsep produktivitas dalam kerja telah memasuki dimensi yang hampir spiritual—dalam studi sosiologi, kita dapat melacak akar etika kerja Protestan di dalam fenomena ini. Kerja bukanlah sesuatu yang kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, melainkan pekerjaan itu sendiri adalah segala-galanya.
Menurut survei Job Seeker Nation (Jobvite) di tahun 2019, 42% pekerja di Amerika mendefinisikan diri mereka dengan pekerjaan yang mereka lakukan dan atau perusahaan tempat mereka bekerja, dan jumlah itu naik menjadi 45% di antara mereka yang berusia di bawah 40 tahun.
Selanjutnya, dari 42% yang mengatakan bahwa mereka mendefinisikan diri mereka melalui pekerjaan mereka, 65% mengatakan kerja "sangat penting" untuk menjelaskan identitas mereka sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Hal semacam ini merupakan dekadensi bagi kemanusiaan karena mengerdilkan miltiplisitas dimensi yang dimiliki manusia menjadi sekadar dimensi kerja.
Barangkali ini merupakan fenomena pertama dalam sejarah umat manusia, ketika kita mengasosiasikan kerja sebagai satu kesatuan dari kehidupan spiritual. Dalam proses bekerja kita seolah memperoleh inspirasi, kesuksesan, makna, tujuan, dan identitas biasanya kita temukan di dalam tradisi dan kepercayaan.
Ketika kita sudah menganggap kerja sebagai kepercayaan yang absolut, maka problem berikutnya adalah kita sulit untuk membayangkan bagaimana bisa kita hidup tanpanya. Ketika robot, artificial intellegence (AI), dan Internet of Things (IoT) mulai mengancam pekerjaan manusia. Kapitalisme memanfaatkannya dengan menggencarkan promosinya untuk membuat kerja semakin menarik.
Bad mood dapat meningkatkan produktivast kerja Foto: Unsplash
Dalam kapitalisme kontradiksi selalu diatasi dengan baik. Di satu sisi terdapat kebutuhan untuk mempropagandakan kerja sebagai sesuatu yang menyenangkan untuk memastikan pasokan tenaga kerja yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, terdapat juga dorongan untuk mendapatkan laba maksimum (mengganti sebanyak mungkin pekerjaan manusia dengan mesin yang lebih murah). Kita sama-sama paham dalam 10 tahun ke depan, robot, AI, dan IoT akan menggantikan pekerjaan repetitif manusia.
Dari kontradiksi yang ada di dalam tubuh kapitalisme, keadaan tersebut disiasati dengan menciptakan inovasi ekonomi semacam gig work, sharing economy, dan crowdsourching yang mengatasnamakan fleksibilitas kerja sebagai jawaban.
Para pengusaha start-up dan pemerintah memperkenalkan inovasi ekonomi ini sebagai juru selamat manusia dari keadaan tanpa kerja. Manusia akan tetap bekerja dengan menggunakan kreativitasnya untuk dieksploitasi dalam kerja-kerja fleksibel berupah rendah.
Teman-teman saya yang doyan selfie dan berpura-pura bahagia di kantor nyatanya juga bekerja di bawah standar jaminan hak-hak pekerja. Karena tidak memiliki pilihan lain, mereka menerima kenyataan dan berusaha hidup dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Artinya, untuk bertahan hidup dan mendapatkan status sosial, mereka rela bekerja di sektor-sektor informal yang rentan dan biasanya tak disertai jaminan hari depan.
Ilustrasi berangkat kerja. Foto: Shutterstock
Dalam situasi kacau balau tersebut, alih-alih menjadi proletar, teman-teman saya telah menjadi prekariat. Istilah yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The Precariat: the New Dangerous Class (2014) mendapatkan relevansinya pada teman-teman yang segenerasi dengan saya.
ADVERTISEMENT
Menurut Standing, prekariat adalah seseorang yang menjadi “pekerja rentan” dengan jam kerja, jaminan kerja, kontrak kerja, lingkungan kerja, upah kerja, mekanisme kerja, atau sistem kerja yang tak menentu. Sebaliknya, meski sama-sama memerlukan peningkatan kualitas hidup, kaum proletar atau kelas pekerja lebih memiliki kejelasan kerja, hak pekerja, bahkan jaminan masa depan.
Fenomena prekariatisasi melekat pada generasi saya, di antaranya tercermin dari nasib para pekerja kontrak (outsourcing), pekerja magang (intership), pekerja lepas (freelance), pekerja paruh waktu (part time) atau menjadi mitra kerja dari perusahaan, lembaga masyarakat maupun pemerintah.
Merekalah generasi prekariat, individu-individu yang kapan saja dapat disingkirkan dengan mudah atas nama kepentingan dan keuntungan yang ditopang oleh sistem Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja fleksibel yang bertujuan mengalihkan risiko dan meminimalisir kerugian pemberi kerja dengan menjaminkannya kepada tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Jadi, teman-teman saya yang baik, apakah kalian harus menipu diri sejauh itu untuk menutupi eksploitasi besar-besaran yang sedang menggerogoti masa mudamu?
Saya paham, anak muda zaman sekarang dalam masyarakat selalu dituntut untuk berjuang lebih keras, kokoh meski dihantam ancaman berlapis, dan merencanakan masa depannya sendiri yang semakin tidak pasti.
Barangkali dunia kerja yang indah itu hanya sebuah gincu belaka untuk menutupi borok eksploitasi di keseluruhan tubuh pekerja.