news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aktivis Bali Soroti UU TPKS: Waspadai Kasus Kawin Paksa dan Trauma Korban

Konten Media Partner
26 April 2022 11:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustasi: Korban Kekerasan Seksual - IST
zoom-in-whitePerbesar
Ilustasi: Korban Kekerasan Seksual - IST
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com - Diskusi publik terkait Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali pada Selasa (12/4/2022). Pada kesempatan itu disepakati perlunya pengawalan terhadap sejumlah isu, khususnya di Bali.
ADVERTISEMENT
"Meski sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, UU TPKS harus terus dikawal karena tahapnya masih panjang hingga menjadi lembaran negara dan baru dapat dikatakan sah, bukan RUU lagi," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Sagung Putri ME Purwani.
Menurut Sagung, meskipun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berubah menjadi RUU TPKS yang dinilai ruang lingkupnya lebih sempit dan kekerasan seksual murni disebut tindak pidana. Namun publik diminta untuk memberikan waktu bagi UU TPKS agar bekerja menjalankan cita-cita konsiderannya.
"Kalau tidak bergerak, tidak tahu kelemahannya. Jadi sekarang yang penting sudah punya dulu payung hukum, nanti kita benahi bersama kalau ada kurang," jelasnya.
Diskusi di LBH Bali pada Selasa (12/4/2022) - LSU
Direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primalinaring mengatakan, kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sehingga hak-hak perempuan dapat terlindungi.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, mayoritas kekerasan seksual dialami oleh perempuan, dan pelakunya  dari berbagai kalangan. Terlebih lagi, kekerasan seksual seringkali terjadi di tempat menimba ilmu seperti sekolah, kampus dan pondok pesantren.
Perempuan sering menjadi pihak yang dipersalahkan dan dianggap lemah. "Dalam posisi ini, perempuan sering tidak mempunyai ruang yang luas seperti laki laki dalam melakukan pembelaan," kata dia.
Ia menilai, masih ada banyak Pekerjaan Rumah yang harus diselesaikan dalam menjalankan amanah dari UU tersebut. Ia mencontohkan, dalam UU TPKS terdapat poin yang menyebutkan terkait perkawinan paksa.
Sedangkan, Indonesia sangat menjunjung tinggi budaya dan adat. Khususnya membicarakan Bali, dimana perkawinan paksa masih sering terjadi karena beberapa alasan, seperti masih adanya tingkatan warna atau kasta, kehamilan di luar perkawinan, hingga perjodohan akibat faktor ekonomi.
ADVERTISEMENT
"Sebagai korban dalam perkawinan paksa akan merasa bingung untuk melapor, karena adat yang dijalankan dan yang dilaporkan juga nantinya adalah orang tua sendiri," jelasnya.
Poin lainnya, korban kekerasan seksual juga wajib lapor 3x24 jam. Berdasarkan kasus yang ditangani oleh LBH Bali, biasanya korban belum tentu memiliki keberanian untuk langsung melapor karena masih mengalami trauma pasca kejadian.   Bahkan dalam kebanyakan kasus, laporan yang diterima sudah melebihi dari tenggat waktu tersebut.
Sementara itu Kepala Divisi Psikiatri Forensik Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah, Dokter Lely Setyawati Kurniawan menyebutkan bahwa alat bukti forensik menjadi pertimbangan dan bukti yang kuat di pengadilan untuk kasus kekerasan seksual yang tertera dalam UU TPKS.
ADVERTISEMENT
Adanya aturan 3x24 jam agar korban melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, agar bukti-bukti kuat yang tersisa dapat ditemukan oleh petugas.
Dari sisi lain, bukti psikiatri juga dapat digunakan dalam kasus seperti ini. Hanya saja ia memberikan catatan, agar dalam kasus kekerasan seksual proses penyidikan yang dilalui korban tidak panjang dan tidak terus menerus menimbulkan ingatan mengenai kejadian yang dialaminya.
"Proses penyidikan jangan terlalu lama, beberapa orang kecewa dengan layanan hukum kita. Kalau korban tidak mendapatkan terapi dengan baik akan berpotensi menjadi pelaku nantinya," jelas Dokter Lely. (kanalbali/LSU)