Alunan Kidung dari Pejeng untuk Merawat Keberagaman Indonesia

Konten Media Partner
8 Juli 2019 6:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Festival Tepi Sawah
Lantunan Kidung 'Pangraksa Jiwa' di Festival tepi Sawah, Minggu (7/7) - kanalbali/RFH
zoom-in-whitePerbesar
Lantunan Kidung 'Pangraksa Jiwa' di Festival tepi Sawah, Minggu (7/7) - kanalbali/RFH
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com - Lagu 'Melati Putih' mengalun pelan. Dinyanyikan oleh Nita Aarstsen dalam iringan jazz orkestra dan permainan kendang Made 'Ciat' Wardana. Karya Guruh Soekarnoputra untuk ibundanya Fatmawati itu membuat suasana Festival Tepi Sawah di Pejeng, Gianyar terasa mengharu biru.
ADVERTISEMENT
Namun sejenak kemudian, nuansa ceria muncul oleh gaya Made Ciat. Seniman Bali yang sudah melanglang buana memadukan keelokan permaian kendang dengan olah vokal dan tarian dengan gaya yang jenaka.
Ia mengeksplorasi gaya penarik Cak tapi dengan membebaskan diri dari pakem-pakem penari tradisional. Beberapa kali dia bahkan mengajak penonton untuk berinteraksi dan mengiringi penampilannya.
Puncak dari sesi ini adalah saat Dayu Ani menyambungnya dengan lantunan kidung 'Pangraksa Jiwa'. Lalu, sepasang penari, seorang perempuan dan anak kecil, muncul lamat-lamat dalam iringan piano Nita Aartsen.
Penampilan Made Ciat di Festival tepi Sawah (RLS)
Aksi teaterikal keduanya menggambarkan peristiwa saat seorang anak hadir ke dalam tubuh perempuan, kemudian dilahirkan dan dipisahkan ari-arinya. Sang ibu senantiasa menjaga dengan doa-doanya.
Menurut Dayu Ani, pembacaan kidung 'Pangraksa Jiwa' adalah tradisi yang hidup di Desanya Budakeling, Karangasem. Tapi ternyata juga bisa ditemukan di Jawa Tengah dan dikenal sebagai kidung 'Hikayat Nabi' , pun di daerah Sunda dengan nama 'Rumekso Iwonge'.
ADVERTISEMENT
"Dibacakan saat bayi sudah terlepas pusernya," ujarnya. Dengan menyanyikannya di Festival ini, dia merasakannya sebagai penghormatan terhadap keberagaman sekaligus doa agar hal itu bisa terus terjaga. "Seperti seorang anak yang terus terjaga jiwanya," ujarnya.
Malam pun dilanjutkan dengan sesi jamming bertema Papua. Kacir, salah satu penyanyi di stage Uma menyanyikan beberapa lagu berbahasa Papua. Diantaranya bercerita hal yang sederhana, yaitu menggoda perempuan berbaju polkadot yang terlihat berjalan mondar-mandir.
Penampilan musisi dan seniman Papua di Festival Tepi Sawah 2019 (kanalbali/IST)
“Nona kalau tidak punya rumah, mending ke rumah saya saja,” celetuknya dan disambut tawa para penonton.
Selanjutnya, lagu yang ia bawakan menceritakan tentang perjalanan ke kampungnya di pelosok Papua yang panjang dan berat. Terakhir adalah lagu Yamko Rambe Yamko, dimana para penari berbaju tradisional Papua mengajak penonton untuk ikut menari bersama di tengah penampilan.
ADVERTISEMENT
Closing night Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh Bonita, Bhismo, Iqua, dan FRC dalam sesi Folklore. Disini, mereka membawakan lagu-lagu tradisional dari penjuru nusantara seperti Kicir-Kicir, Rasa Sayange, dan Ampar-Ampar Pisang.
Balawan, gitaris handal asal Gianyar juga hadir dan sempat mengisi workshop Irama Bali di sore harinya, lalu jamming berkolaborasi dengan Made Ciaaattt di malam harinya. (kanalbali/IST)