Cerita Pilu Keluarga Korban Saat Memperingati 17 Tahun Bom Bali

Konten Media Partner
12 Oktober 2019 14:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tatako Suzuki, warga Jepang yang kehilangan anaknya pada peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002.  Foto: Dok. Kanal Bali
zoom-in-whitePerbesar
Tatako Suzuki, warga Jepang yang kehilangan anaknya pada peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002. Foto: Dok. Kanal Bali
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR, Kanalbali - 17 tahun telah berlalu, tapi ingatan kelam tentang tragedi bom Bali belum bisa dilupakan. Begitu pula yang dirasakan Tatako Suzuki, warga Jepang yang kehilangan anaknya pada peristiwa 12 Oktober 2002 itu.
ADVERTISEMENT
Air matanya tak terbendung saat karangan bunga disematkan di depan Tugu Peringatan Bom Bali, Sabtu (12/10).
"Saya hampir setiap tahun datang ke tempat ini, dengan datang ke sini saya bisa lebih kuat untuk menjalani hidup. Karena di sini saya bisa lebih merasa bertemu dengan anak saya ," ungkapnya.
Tatako bahkan mengakui, hingga saat ini dirinya belum bisa menerima kepergian sang anak. Namun ia sadar, sang anak akan lebih tenang di alam sana saat melihatnya ikhlas melepas kepergiannya.
Menurut pangakuan Tatako, anaknya berlibur ke Bali bersama istrinya. Nasib buruk itu datang pada malam pertama sang anak di Bali.
Pada momen 17 tahun peringatan Bom Bali, Tatako berharap tidak ada lagi kejadian mengerikan seperi aksi terorisme atau yang lainnya. menurutnya keberlansungan hidup masyarakat baik di dalam ataupun dari luar negeri harus bisa dijamin oleh semua pihak.
ADVERTISEMENT
"Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah di Bali, karena selama ini mereka telah membantu banyak sejak peristiwa itu terjadi," jelasnya.
Monumen Bom Bali berdiri megah sebagai peringatan akan tragedi memilukan 16 tahun yang lalu Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Kini, agenda peringatan 17 tahun Bom Bali masih akan berlangsung hingga malam. Beberapa agenda akan dilangsungkan guna mengenang korban yang meregang nyawa akibat kejadian itu, salah satunya dengan berdoa bersama.
Selain Tatako, Devi seorang warga setempat, pun ikut mengenang kejadian itu. Tepat hari ini (12/10), 17 tahun lalu, jarum jam menunjukkan pukul 20.00. Saat itu, orang tuanya berencana pergi ke Kuta bersamanya.
Namun, saat akan berangkat, kendaraan menyesaki jalan dari Denpasar menuju Kuta dan menyebabkan lalu lintas macet. Ayah Devi pun lantas mengurungkan niatnya untuk ke Kuta.
ADVERTISEMENT
"Sabtu malam itu berjalan seperti biasanya. Orang tuaku sedang mengobrol di ruang tamu sembari menonton tv. Aku berdiam diri di kamar, hendak tidur. Tetapi, saat jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, kaca jendela di kamar bergetar," ungkap pemilik nama lengkap Devi Wulandari.
Ayahnya langsung lari menghampiri Devi. Sang ibu menyusul kemudian. Waktu itu Devi berusia 7 tahun.
"Waktu itu saya tanya ke ayahku kira kira apa yang terjadi, dia tidak menjawab. Seperti orang kebingungan aja," ungkapnya.
Suasana di Peringatan Tugu Bom Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan
Meski dilanda rasa penasaran, Devi akhirnya memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, rasa penasaran Devi terbalas. Stasiun televisi yang biasa menyiarkan tontonan favoritnya malah menayangkan program berita duka.
Berita Minggu pagi itu melaporkan, dua bom meledakkan Paddy's Irish Pub dan Sari Club di Kuta dan satu bom meledak di dekat Konsulat Amerika Serikat, Denpasar. Ledakan bom itulah yang membuat kaca jendela kamarnya bergetar.
ADVERTISEMENT
"Saat aku menonton berita itu, ayah langsung memelukku dengan rasa bersyukur karena malam itu tidak jadi pergi ke Kuta," jelasnya.
Meski begitu, keberuntungan yang berpihak pada Devi, tidak terjadi kepada ayah Made Yoga Pramana. Sore hari sebelum malam kelam itu terjadi di Kuta, Ayah Yoga memutuskan untuk mengambil jatah libur sebagai petugas keamanan di pintu masuk Sari Club. Namun, niat untuk mengambil libur urung diambil.
"Awalnya memang niatnya mau libur, karena malam itu sudah ada teman ayah yang biasanya kerja untuk sift malam. namun, akhirnya ayah saya yang berangkat karena temannya tidak bisa bekerja lantaran anaknya sedang sakit," terangnya.
Suasana di Peringatan Tugu Bom Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan
Yoga menyampaikan, sebelum berangkatpun tidak ada firasat berarti yang dirasakan keluarganya. "Tampak seperti hari-hari biasa, saya waktu itu masih kecil. Tapi masih ingat juga waktu ayah berangkat kerja kala itu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, Yoga masih merasakan duka mendalam. "Petugas keamanan itu kan jaganya di depan pintu. Sementara Bom meledak pas di parkiran depan pintu masuk Sari Club. Sudah pasti ayah saya yang menjadi korban terdekat dari kejadian itu," ungkap Yoga.
Yoga mengaku, sejak kepergian sang ayah akibat menjadi bom Bali tahun 2002 silam, ibunya langsung banting setir menjadi tulang punggung keluarga. "Beruntung saat ini saya juga sudah bekerja, jadi beban ibu bisa berkurang," imbuhnya. (kanalbali/KR13)