Danau Batur Kintamani, Riwayatmu Kini

Konten Media Partner
6 April 2019 9:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani di sekitar Danau Batur Kintamani (kanalbali/LSU)
zoom-in-whitePerbesar
Petani di sekitar Danau Batur Kintamani (kanalbali/LSU)
ADVERTISEMENT
BANGLI, kanalbali.com - Mungkin bagi sebagian orang Danau Batur di Kintamani, Bangli sudah tak asing lagi. Pemandangan nan elok dipadu kegagahan gunung Batur menjadikannya sebagai andalan pariwisata Bali. Kawasan ini pun telah ditetapkan sebagai geopark pertama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sayang, cerita yang beredar ternyata tak seindah keadaan danau itu sendiri. Bahkan kondisinya termasuk dalam 15 danau kritis yang harus diselamatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024. Padahal, danau itu juga merupakan salah-satu sumber cadangan air utama bagi Bali.
“Sangat disayangkan,” komentar singkat I Wayan Badan, seorang petani di kawasan itu.
Kondisi kritis tersebut berkaitan dengan pencemaran danau serta sedimentasi yang terjadi di kawasan. Danau tersebut dikelilingi oleh lahan pertanian yang dikelola warga, khususnya pertanian bawang putih di sela bebatuan. Dan proses pertanian itu masih mengandalkan pupuk kimia dan pestisida.
Badan yang kini mengelola Bali Organic Park menyebut adanya Karamba Jaring Apung (KJA) di danau juga memperberat pencemaran. Ia menambahkan tidak pernah ada evaluasi terkait KJA.
ADVERTISEMENT
“Ini harus dipikirkan jalan keluarnya, keramba yang mencemari jika ditutup dan masyarakat juga tidak boleh bertani, maka mata pencarian mereka akan hilang,” ujarnya.
Jalan alternatifnya adalah membuat cubang (penampungan air-red) diluar danau dan penggantian pelet ikan dari bahan yang minim dampak negatifnya. Misalnya saja seperti dari cacing yang dikombinasikan dengan perekat yang ramah untuk lingkungan.
Karamba Jaring Apung salah-satu penyebab pencemaran di Danau Batur (kanalbali/LSU)
Saat ini pelet yang dipakai lebih banyak adalah pelet non apung, yang hanya terserap sekitar 60 persen dan 40 persen lainya terendap bersama lumpur.
“Kalau di Cubang buatan saya, setiap musim panas akan dikuras. Otomatis tempatnya menjadi bersih kembali, namun di danau tidak bisa dilakukan hal yang demikian”, ungkapnya.
Ketua Forum Penyelamatan Danau Nusantara (Formadan), Ni Luh Kartini mengatakan, selama lima tahun kedepan danau ini akan diidentifikasi permasalahannya. Ini dilakukan untuk menyusun pengelolaan yang tepat sebagai langkah penyelamatan danau.
ADVERTISEMENT
“Semua tertuang dalam Pokja yang dipimpin oleh Sekda Kabupaten Bangli dan seluruh stake holder terkait”, tandas Kartini, bertempat di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Jumat (5/4).
Menurut Kartini ada 5 faktor yang menjadi permasalahan mendasar di danau Batur. Salah satunya adalah tingginya proses Sedimentasi, yang merupakan proses pengendapan material dalam danau.
Peternakan cacing bisa menjadi alternatif pengganti pupuk kimia dan pakan ikan ramah lingkungan (kanalbali/LSU)
Pada awal tahun 2013, Kartini mengungkapkan sedimentasi nyaris tidak ada yakni hanya sebesar 0.21 m2 per tahunnya. Sedangkan pada tahun 2015 sudah mencapai angka 1.949,49 m2 pertahun.
“Jadi kenaikannya sekitar 1.949,28 m2 dalam kurun waktu 2 tahun. Jika ini terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan danau akan hilang karena mengering”, ungkap Kartini.
Faktor penyebab sedimentasi di Danau Batur paling tinggi disebabkan karena tutupan lahan di sekitarnya banyak yang terbuka. Selain itu, penanaman bawang di batuan menyebabkan tanahnya hanyut ke danau dan tingginya tingkat pembabatan pohon di hutan konservasi.
ADVERTISEMENT
“Semua berawal dari lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah setempat”, tandasnya.
Senada dengan pihak Bali Organic Park, Kartini juga mengatakan masalah lain yang timbul adalah pencemaran danau dikarenakan adanya KJA.
“Danau Batur adalah jenis danau yang tertutup atau danau dengan cekaman terkungkung, maka seharusnya keramba tidak boleh ada.  Sebab tidak ada siklus air masuk dan air keluar sehingga segala sesuatu apapun yang masuk ke danau akan menjadi pencemaran”, tutur Dosen Fakultas Pertanian tersebut.
Kartini menambahkan pemerintah Kabupaten Bangli sendiri dalam Kebijakan Tata Ruang memperbolehkan adanya keramba sebesar 5 persen dari luasan danau. Meski saat ini jumlahnya baru sekitar 1,2 persen, namun hal itu sudah menyebabkan kerusakan yang besar.
ADVERTISEMENT
“Fokus kita saat ini menurunkan angka tersebut hingga menjadi 0 persen, meskipun akan banyak pro dan kontra terhadap kebijakan ini”, tegas Kartini.
Lebih lanjut, Kartini menawarkan solusi konkret terhadap masalah yang terjadi. Ia mencontohkan Demplot atau Demontration Plot pertanian terpadu yang ada di Desa Yeh Mampeh Batur. Pertanian ini memadukan antara sapi, biogas, cacing tanah, ikan, tanaman organik, lebah dan agrowisata yang lebih dikenal dengan istilahCabitaitala.
“Model ini yang bisa menyelamatkan danau melalui konsep Zero Waste (tanpa limbah). Ketika model ini nanti dibawa ke 15 danau kritis di Indonesia, kemungkinan besar danau dapat terselamatkan”, ungkapnya.
Dalam sistem tersebut semua proses dilakukan di luar danau, termasuk pembuatan KJA. Sehingga danau menjadi steril dan besar kemungkinannya alam akan dapat memperbaiki dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Semua tergantung pada kebijakan dan kerjasama antar stake holter, sebab danau khususnya di Bali merupakan sumber kehidupan manusia”, jelasnya. (kanalbali/LSU)