Diputar di Bali, Film 'The Bajau' Ingatkan untuk Pelestarian Laut

Konten Media Partner
12 Januari 2020 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi film The Bajau di Taman Baca Kesiman - KR14
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi film The Bajau di Taman Baca Kesiman - KR14
ADVERTISEMENT
Ratusan orang dari berbagai elemen riuh memenuhi Taman baca Kesiman Sabtu malam (11/1). Mereka mengikuti acara nonton bareng dan diskusi film dokumenter “The Bajau” karya Watchdoc yang diputar secara serentak di 15 kota di Indonesia, salah satunya di Bali.
ADVERTISEMENT
Film yang berdurasi 1 jam 20 menit itu memperlihatkan perbedaan antara suku Bajo yang ada di Morombo, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. Pada awalnya, suku bajo memang terkenal dengan keperkasaanya di lautan. Bahkan sempat mendapat julukan gypsy laut.
Kini, suku nomaden yang tersebar di kawasan lautan Asia Tenggara itu harus berhadapan dengan kenyataan pelik. Mereka dipaksa menerima dan beradaptasi dengan perubahan yang kini tengah terjadi.
Lautan yang merupakan segalanya bagi suku Bajo tidak seramah dulu. Air laut kini tercemar karena pertambangan, dan perkebunan yang dilakukan oleh koorporasi kapitalis. Selain itu, terumbu juga karang rusak akibat aktivitas yang terjadi di hulu (daratan).
Pada film itu, suku Bajo di Gorontalo terlihat masih bisa menikmati tangkapan ikan yang melimpah dan hidup dari hasil laut yang berkecukupan. Sebaliknya, suku Bajo Morombu harus berjuang dengan perubahan yang terjadi. Air laut tercemar dan terumbu karang yang rusak akibat pertambangan nikel, membuat mereka harus bertahan fitengah kondisi itu.
ADVERTISEMENT
"Dari film itu banyak yang tertegun, ketika diputar di Gorontalo, penonton terkejut bagi mereka itu merupakan hal yang mengejutkan," ujar sutradara, Dandhy Dwi Laksono. "Mereka mulai lebih sensitif terhadap alam disekitar, seperti rencana perkebunan sawit ataupun pertambangan, sekaligus membuat kita menghargai atas apa yang dimiliki," ujarnya.
Ironisnya lagi, pada rilis yang tersebar, pada November 2014, sekitar 500 warga Bajau (Bajo) ditangkap aparat Indonesia di Kalimantan Timur. Alasan ditangkapnya mereka karena tak memiliki identitas kewarganegaraan dan dianggap nelayan asing yang mencuri ikan di Indonesia.
Padahal, selama berabad-abad mereka adalah suku pengelana laut yang telah mendiami perairan antara Malaysia, Indonesia, dan Filipina, jauh sebelum ketiga negara ini ada dan membuat batas-batas administrasi dan politik. Sungguh ini merupakan suatu ironi multidimensi.
ADVERTISEMENT
Direktur WALHI Bali Made Juli menyebut film ini juga menjadi peringatan bagi Bali yang wilayah lautnya dikepung oleh investasi pariwisata. "Itu juga yang jadi alasan kita menolak reklamasi, karena kita tidak mau kehilangan wilayah lautan kita," ujarnya. Selain di Teluk Benoa, reklamasi juga akan dilakukan untuk memperluas Bandara Ngurah Rai dan sebelumnya telah dilakukan di kawasan Pelindo Benoa.
Pemutaran film merupakan bentuk kerja sama dari berbagai pihak diantaranya, Wachdog, Taman Baca Kesiman, Pasar Hamburg, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Manik Bimi, Frontier Bali, AJI Denpasar, Walhi Bali, dan Kekal Bali.
Nobar dan diskusi itu juga turut dimeriahkan oleh musisi cilik, Yudis, Made Mawut serta pasangan suami istri yang kini tengah fenomenal Jerinx 'SID'-Nora. (kanalbali/KR14)
ADVERTISEMENT