Kasus Video Mesum 2 Remaja di Bali, Seksolog: Alarm Perlunya Edukasi Seks

Konten Media Partner
25 Februari 2022 9:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pendidikan seks di papan tulis. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan seks di papan tulis. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com – Dua remaja di Bali tertangkap kamera CCTV sedang beradegan mesum di tempat terbuka, tepatnya di lapangan Renon, Denpasar, Bali. Daripada sekedar menyalahkan kedua remaja, Seksolog dari Universitas Udayana (Unud) Oka Negara menilai, perlunya melihat masalah yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
“Itu akarnya karena kurangnya edukasi seksual pada remaja,” sebutnya, Jum’at (25/2/2022). “Mereka juga korban dari edukasi yang kurang berhasil untuk memberi pemahaman mengelola dorongan seksual yang tepat dan bertanggung jawab di usia remaja, terutama memahami risiko medis dan sosialnya,” jelas Dosen Andrologi dan Seksologi di Fakultas Kedokteran Unud ini.
Penggunaan internet dan media sosial yang tidak terkontrol bisa menjadi stimulus atau dorongan yang kuat saat ini buat remaja terkait perilaku seks. Stimulus itu adalah untuk mencoba debut pertama seksual, termasuk cara dan tempat melakukan hubungan seksual.
Ia menyebut, survey terakhir Edukaseks yang didukung Kementerian Kesehatan dan Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia tahun 2019 malah menyebutkan prosentase 33,3% dari remaja sudah melakukan hubungan seksual pra nikah.
dr Oka Negara, M.Biomed FIAS
Di sisi lain, dari riset yang pernah dilakukan LSM KISARA PKBI Bali yang didiseminasi tahun 2018 terungkap, masih ada 16,41 persen remaja SMA di Bali mengaku tidak paham mengenai risiko seksual dan reproduksi dari hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
“Ini tantangan bagi orang tua dan orang yang lebih dewasa untuk memberikan pemahaman yang benar,” tegasnya.
Terkait kasus video mesum, dia berharap, masyarakat menghentikan penyebarannya. Sebab, kedua remaja itu secara tidak langsung sudah pasti mendapatakan stigma dan sanksi sosial. “Kita belum bisa menduga, bagaimana mereka merespons beban psikologis yang dihadapi, bisa jadi mereka mengalami stress dan depresi, ” tegasnya.
Dia juga meminta, aparat atau pihak lain yang mengetahui identitas mereka, untuk tidak membukanya ke publik. “Cukup yang berwenang saja yang tahu untuk kepentingan pembinaan dan mengurangi dampak psikologisnya,” katanya. (Kanalbali/RFH)