Kumpul di Bali, LSM dari Indonesia Timur Suarakan Ancaman Krisis Iklim

Konten Media Partner
1 September 2022 13:53 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi-Gelombang Besar-Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi-Gelombang Besar-Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR, Kanalbali.com -- Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Paris Ridwanudin mengatakan ribuan desa di Indonesia Timur terancam tenggelam akibat krisis iklim. Paling rentan adalah di wilayah pesisir Maluku 1.064 desa, menyusul Nusa Tenggara Timur (NTT) 1.018 desa, dan Sulawesi Tengah 1.011 desa.
ADVERTISEMENT
Desa-desa di wilayah lain seperti Bali 175 desa, NTB 297 desa, Sulawesi Utara 783 desa, Sulawesi Tengah 297 desa, Sulawesi Selatan 527 desa, Sulawesi Tenggara 954 desa, Gorontalo 201 desa, Sulawesi Barat 152 desa, Maluku Utara 934 desa, Papua Barat 570 desa dan Papua 662 desa juga tidak luput dari ancaman krisis iklim.
Hal ini dikatakan Ridwan dalam diskusi yang digelar Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada Kamis (1/9) di Hotel Amaris-Denpasar.
Jumpa pers Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada Kamis (1/9) di Hotel Amaris - Denpasar - ROB
"Kalau dulu isu keamanan didominasi perang, tapi saat ini didominasi krisis iklim, di Indonesia Timur, khususnya di wilayah kepulauan mengalami penyusutan. Krisis iklim telah mengancam tenggelamnya ribuan desa pesisir," kata Parid.
Namun, di saat yang sama pemerintah tidak melakukan melakukan atau adaptasi yang benar. Sering dikenal dengan mal adaptasi. Kondisi ini diperparah oleh ancaman ekspansi industri ekstraktif yang menghancurkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Timur Indonesia. Khususnya tambang nikel yang didorong oleh pemerintah untuk mengembangkan kendaraan listrik berbasis baterai.
ADVERTISEMENT
"Masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan laut kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi tambang nikel," tambah Parid.
Karena itu diperlukan langkah konkret dari pemerintah. Bisa dimulai dengan mengesahkan dan merevisi sejumlah Undang-undang. Di antaranya adalah mengesahkan RUU perubahan iklim, merevisi UU Kebencanaan serta disahkannya RUU masyarakat adat.
Untuk RUU perubahan iklim diharapkan bisa mengatur soal mitigasi dan adaptasi, terutama pulau-pulau kecil. Lalu RUU Desa adat mengatur dan mendorong percepatan pengakuan wilayah adat dan aktor-aktor di dalamnya.
Kemudian mengenai revisi UU kebencanaan dipandang perlu untuk direvisi karena belum memasukkan bencana Industri. Saat ini hanya dikenal bencana alam non alam. Padahal bencana alam kerap disebabkan oleh praktik tidak sehat korporasi yang mengeksploitasi dan berdampak pada terjadinya bencana.
ADVERTISEMENT
"Kita mendorong bencana itu tidak hanya alam dan non alam, tapi memasukkan bencana industri. Sehingga warga punya hak untuk menggugat korporasi dan pemerintah yang memberikan izin," ucap Parid. (Kanalbali/ROB)