Mengenal Rangda, Tokoh Magis dengan Sejarah Panjang di Bali

Konten Media Partner
5 Maret 2021 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rangda dan Barong, dua tokoh yang menjadi simbol dualitas kehidupan yang abadi, yakni keburukan dan kebaikan - dok. Yayasan Gases
zoom-in-whitePerbesar
Rangda dan Barong, dua tokoh yang menjadi simbol dualitas kehidupan yang abadi, yakni keburukan dan kebaikan - dok. Yayasan Gases
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR - Rangda dan tariannya kini menjadi perbincangan serius di Bali. Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Bali bahkan merasa perlu menggandeng sejumlah lembaga kebudayaan untuk menggelar webinar khusus. Pemicunya, seorang anak muda tewas saat ia mementaskan tarian itu dalam upacara Napak Pertiwi.
ADVERTISEMENT
Nah, sebenarnya seperti apa keberadaan tokoh ini di Bali?. Praktisi seni Calonarang sekaligus Ketua Yayasan Gases, Komang Indra Wirawan menyebut, sejarahnya sudah lumayan panjang dalam perkembangan budaya Bali.
“Rangda dimaknai sebagai simbol dari sifat-sifat buruk yang disandingkan dengan Barong sebagai lambang dari kebaikan, kedua figur itu merupakan wujud sejati dari dualitas yang abadi,” sebutnya.
Dalam pementasan Calonarang, Rangda dan Barong dilakonkan selalu bertempur satu sama lain tanpa henti. Perseteruan abadi itu pada hakikatnya adalah upaya saling menyeimbangkan antara kebaikan dan keburukan agar kehidupan berjalan dengan harmonis.
Rangda menjadi simbol tokoh keburukan dalam harmoni kehidupan - IST
Rangda, menurut etimologinya berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata ‘randa’ yang berarti janda. Keberadaan Rangda diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad 14 hingga 16 Masehi. “Ada prasasti yang dipercaya bahwa raja Dalem Waturenggong saat itu abad ke 14 sampai 16 melestarikan budaya (Calonarang) yang ada. Tapi mungkin keberadaan Rangda sudah ada sebelum itu,” ungkapnya saat diwawancarai di Pasraman Gases, Sesetan, Denpasar beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya istilah Rangda untuk janda semakin jarang didengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang aeng (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu jahat.
Sementara itu, mengenai keberadaan Rangda sebagai seni tari, menurutnya, merupakan salah satu jenis budaya yang amat disakralkan yang begitu lekat dengan hal-hal diluar nalar manusia.
Pria yang kerap disapa Komang Gases itu bercerita, menarikan Rangda tak bisa hanya dilakukan dengan keahlian atau kepiawaian semata, namun ada sisi niskala (spiritual) yang juga perlu diperhatikan. Syarat utama seorang penari dalam menarikan rangda adalah menjalani upacara pewintenan (upacara pengesahan secara gaib), disamping kepiawaian menarikan tarian ini.
Selain itu, sesungguhnya banyak pantangan yang harus dilakukan bagi seorang penari rangda. “Seseorang yang menari rangda, sepatutnya mawinten, malukat, dan membersihkan diri. Mengingat tarian Rangda adalah tarian sakral, dan otomatis banyak hal yang harus diikuti oleh seorang penari,” ungkapnya.
Ketua Yayasan Gases, Komang Indra Wirawan dalam kostum penari - IST
Ia mengatakan, sesungguhnya tak ada batasan umur dalam menarikan rangda, hanya saja yang perlu ditekankan, saat melakukan tarian itu penari harus memiliki kestabilan baik emosi, maupun laku spiritual. “Harus mempersiapkan diri jaga kondisi, kalau saya sebagai seorang penari saya harus menyerahkan segalanya kepada dewa penari Siwa Nataraja, itu keyakinannya, tidak sepatutnya membawa kekebalan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saat menarikan Rangda terdapat pakem yang harus ditaati seperti mengerti gerakan, ekspresi, dan penjiwaan terhadap jenis tarian itu. “Itu harus dipahami dulu, menari rangda harus mewinten (upacara) itu upacara sakral yang berfungsi melegalkan orang yang menari tersebut. Selain itu, pewintenan tidak bisa satu dua kali, seperti SIM harus diupdate, begitu juga dengan pewintenan yang memiliki tahapan,”ujarnya.
Meskipun tarian rangda dilakukan tidak di pura, kata dia semisal di sanggar dan acara ulang tahun yang berisi Calonarang, jika sudah ada banten yang dihaturkan maka sakralisasi pasti terjadi. Selain itu, nuansa magis begitu menyelimuti saat tarian itu dilakukan, salah satunya adalah prosesi menusukan keris ke tubuh penari Randa yang diistilahkan ngurek.
ADVERTISEMENT
Dalam pentas Calonarang, tarian Rangda dan Ngurek merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan, karena sejatinya Rangda sendiri adalah perlambang dari sifat-sifat buruk, sementara Ngurek merupakan upaya Nyomiang Bhuta kala (mendamaikan sifat-sifat kejahatan di dunia).
Ketua Yayasan Gases, Komang Indra Wirawan - WIB
“Somia itu bisa dengan air, api, dan keris. Sehingga tajamnya keris, adalah menajamkan pikiran pada diri manusia agar terpusat dan terkendali dari Sad Ripu (enam sifat buruk yang dimiliki manusia-red),” bebernya.
Saat Ngurek terjadi, sang penari acap kali mengalami kerauhan yang membuatnya tak sadarkan diri. Percaya atau tidak, kata Komang Gases, jika secara SOP dalam menarikan Rangda tetap dilakukan maka si penari akan baik-baik saja.
“Kita (penari) harus mawas diri, dan melindungi diri dengan baik serta nunas ica kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jangan sampai teledor, selain faktor niskala, faktor skala yakni keamanan diri juga harus sangat diperhatikan. Caranya adalah dengan melengkapi diri dengan pakaian yang tepat dan benar,” ungkapnya. (Kanalbali/WIB)
ADVERTISEMENT