Menyimak Made Taro, Maestro Dongeng Anak Bali

Konten Media Partner
28 Oktober 2019 10:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Made Taro (kanan) dalam sebuah diskusi di Denpasar (kanalbali/LSU)
zoom-in-whitePerbesar
Made Taro (kanan) dalam sebuah diskusi di Denpasar (kanalbali/LSU)
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali - Berawal dari dongeng penghantar tidur yang selalu didapat dari orang tuanya saat kecil, Made Taro mendirikan sanggar Kukuruyuk pada 15 Juni 1979 silam. Ia terobsesi untuk membuat sebuah wadah guna melestarikan dongeng, permainan tradisional dan lagu anak dari seluruh Nusantara.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin anak-anak dapat merasakan dunia mereka, yakni bermain serta mendengarkan dogeng, bukan hanya sekedar diam dan menatap layar handphone,” tuturnya dalam acara Lan Ngorta yang diselenggarakan oleh komunitas I Ni Timpal Kopi, pekan lalu di Taman Baca Kesiman, Rabu, 16 Oktober 2019.
Cta-cita itu juga didorong oleh keterlibatanya dalam dunia sastra. Tepatnya, saat bersekolah di Gianyar dan tinggal bersama seorang Patih Kerajaan Gianyar yang bernama Nyoman Jelada. Tuan rumah itu, kata Made, selalu berlangganan Koran setiap harinya yang memungkinkannya membaca segala jenis tulisan. Mulai dari Koran, buku hingga puisi.
Buku-buku karya kumpulan dongeng karya Made Taro (kanalbali/LSU)
“Dulu juga tetangga saya seorang guru, dia memiliki buku Gema Tanah Air, saya merinding membacanya, tapi saya menyukai buku tersebut,” katanya. Dari semenjak itu, Made yang masih berusia 14 tahun mulai menulis puisi yang dikirim kesalah satu media Koran besar di Jakarta, hingga berhasil dimuat.
ADVERTISEMENT
Beranjak dewasa, berhasil menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Udayana yang saat itu merupakan cabang dari Universitas Airlangga Surabaya. Selanjutnya, ia memilih profesi menjadi seorang guru, persis seperti yang dicita-citakan.
Ketika tinggal di Perumahan Guru, pada tahun 1973, ia yang sudah memiliki tiga orang anak berjalan menyusuri perumahan itu, hingga suatu ketik menemukan seorang anak Guru yang diam terbengong-bengong. “Melihat kejadian tersebut saya jadi sedih, kenapa ada anak yang bengong seakan tidak memiliki kegiatan apapun,” ucapnya.
Akhirnya, ia memutuskan membuat mainan baling-baling dari kertas karton, anak tersebut terlihat sangat senang. Kemudian kembali diajak bermainan layang-layang, anak itu nambah senang lagi. Hingga semua anak yang berada di perumahan Guru ikut bermain. “Saking senangnya saya melihat mereka bermain, saya sampai lupa bahwa saya sudah tua,” kata Made sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, Made berinisiatif untuk mengajak anak-anak mendengarkan dogeng di rumanhya setiap hari Sabtu. “Pertama datang delapan orang anak untuk mendengarkan dogeng yang sayasaya dapat dari orang tua sewaktu kecil,” ungkapnya.
Namun Sampai suatu hari Made merasa bingung harus mendogeng apa karena semua sudah habis untuk diceritakan. “Terpaksa saya membeli majalah anak, yakni majalah Bobo, Kawanku dan si Kuncung,” sebutnya.
Tapi lama kelamaan, lanjut Made, cerita dogeng dari majalah itu habis ia ceritakan, sampai Made harus membeli majalah dari luar negeri. Karena anak-anak senang mendengarkan, maka ia memutuskan untuk membuat peraturan jika ingin kembali mendengarkan dogeng.
Made Taro saat menerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers & Reader Festival 2019 (kanalbali/IST)
“Syaratnya, mereka harus sudah makan, harus sudah mandi, karena saat itu anak anak malas mandi. Bagi yang sudah sekolah harus mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) terlebih dahulu,” jelas Made. Ternyata syarat-syarat yang diberikan dipenuhi semua anak-anak dan orang tuapun sangat mendukung mereka untuk pergi ke rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Dari situ saya dapat simpulkan, mendogeng dapat membentuk karakter anak menjadi anak yang memiliki kepribadian luhur,” kata Made.
Saat ini, sanggar Kukuruyuk Made Taro sudah berada diempat lokasi dan dikelola bersama anak pertamanya. “Saya sudah mengantongi 200 permainan tradisional, 19 diantaranya saya ciptakan sendiri, untuk lagu daerah yang saya bukukan ada sekitar 250 buah, sedangkan buku dogeng baru sekitar 150 buku dan yang lainnya belum tergali,” ungkapnya. Kedepan, peraih Lifetime Achivement Awar dari Ubud Writers & Reader Festival ini berharap akan banyak anak anak muda yang tertarik untuk melestarikan tradisi lisan ini. (kanalnali/Luh Sugiari)