Pembangkit Listrik dari Sampah: Ide Buruk yang Menambah Masalah

Konten Media Partner
17 Januari 2020 13:02 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Truk sampah di TPA Suwung Denpasar yang setiap harinya membawa puluhan ton sampah - IST
zoom-in-whitePerbesar
Truk sampah di TPA Suwung Denpasar yang setiap harinya membawa puluhan ton sampah - IST
ADVERTISEMENT
Membludaknya volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) memaksa pemerintah mengambil manuver cepat untuk mengatasinya. Salah-satu solusi yang diunggulkan adalah penggunaan insinerator (mesin pembakar sampah-red) untuk menjadikan sampah sebagai sumber energi listrik.
ADVERTISEMENT
Aktivis sekaligus ahli toksikologi dan kimia lingkungan, Paul Connett, merasa sangat sedih dengan ide buruk itu.
"Di negara seperti Eropa dan Amerika ide dan penerapan Insenerator pada tahun 1997, sekarang sudah ditinggalkan dan tidak relevan," lugasnya pada diskusi solusi Zero Waste yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali, Kamis (16/1) di Rumah Sanur.
Niat pemerintah Indonesia ditandai dengan penerbitan peraturan pemerintah yang melegitimasi adanya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) seperti Peraturan Presiden (Perpres) no.18 Tahun 2016, Perpres No. 97 Tahun 2017.
Pemerintah sudah mengajukan adannya Insenerator di 12 kota di Indonesia seperti TPA Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, Bekasi, Manado, Jakarta, Denpasar, Palembang, Makasar, Tanggerang, dan Kalimantan.
Paul datang ke Indonesia dalam rangkaian tur dunianya mengkampanyekan Zero Waste. Kedatangannya tahun 2020. Ini merupakan kali ketiganya ke Indonesia.
Sejak tahun 1999, ia ke berbagai tempat di Bumi membawa pesan utama yaitu mendorong implementasi konsep zero waste sebagai solusi yang berkelanjutan untuk permasalahan sampah di dunia, selain itu juga menolak penerapan false solution dalam pengelolaan sampah di Indonesia, seperti insinerator, pyrolysis, waste-to-energy, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, tantangan di abad 20 adalah soal keselamatan dan pada abad 21 yaitu keberlanjutan.
"Insenerator sama sekali tidak berkelanjutan," tegasnya.
“Ide ini merupakan rencana yang sangat salah dan sangat mahal jika dijadikan solusi mengelola sampah yang ada di Indonesia,” tegasnya.
“Satu alasan kenapa ide ini sangat buruk adalah karena sampah Indonesia telah bercampur dan tergolong sampah yang basah, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk memprosesnya,” tambahnya.
Berdasarkan pemaparannya, insenerator yang ia temui di negara-negara Eropa menghabiskan uang sangat banyak untuk pengoperasiannya. Untuk mencapai standar eropa, setidaknya untuk 1000 ton perhari membutuhkan dana 400 milyar dolar.
"Ini harus dibayar selama 30 tahun untuk mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan oleh para pengusaha," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari aspek pemerataan ekonomi insenerator sama sekali tidak mendukung. Menurutnya dengan pengeluaran sebesar pekerjaan yang dihasilkan sangat sedikit.
"Uangnya lebih banyak masuk ke perusahaan dan membiayai mesin daripada menciptakan pekerjaan seperti dalam bidang reduce ataupun recycle," lugasnya.
"Ini merupakan persoalan keadilan sosial, sebagain besar uang justru masuk ke komunitas pengusaha dibandingkan orang yang tidak memiliki pekerjaan,"terang pria lulusan Ph.D., dari Dartmouth College itu.
Belum lagi dampak yang dihasilkan. Hasil pembakaran oleh insenerator menghasilkan beberapa material abu berupa abu terbang (flying ash) dan abu tidak terbang (bottom ash). Material ini tergolong limbah Bahan Berbahaya, dan Beracun (B3). Mengandung zat dioksin yang dapat tersebar sewaktu waktu.
"Flying ash sangat halus, dapat terhirup ketika bernafas. Ketika keluar dari cerobong asap, dapat terbang dan menempel di berbagai benda,"ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menurut penuturannya, zat dioksin bersifat larut dalam lemak dan tidak bisa di cerna oleh hati sehingga bertumpuk dalam jaringan lemak dalam tubuh. Pada bayi merusak memproses perkembangan otak, seksual hormon dan sistem imun.
Paul mengatakan solusi yang semestinya ditelurkan adalah bukan berupa high-temperature approach seperti insinerator, tetapi adalah low-temperature approach, yakni anaerobic digestion yang dibantu mikroba pada pengelolaan sampah organik."Composting, rescyling, reuse adalah cara paling ampuh mengelola sampah," tegasnya.
Meski dipandang sederhana, terbukti cara ini merupakan zero waste yang sangat mungkin dilakukan oleh siapa pun. Salah satu penggiat zero waste di Bali adalah Catur Yuda Hariani. Ia mulai menerapkan sistem reduce, recycling, dan reuse pada setiap keluarga di kawasan Kesiman Kertalangu.
ADVERTISEMENT
"Pengelolaan sampah harus dilakukan mulai dari hulu (rumah-rumah-red) jika dari sana berjalan maksimal, mestinya permasalahan sampah dapat di atasi,"ujarnya.
Sementara itu Officer Program Zero Waste, Nindhita Probetno mengatakan kebijakan pemerintah untuk mempromosikan teknologi termal baik Waste-to-Energy maupun Waste-to-Fuel menggambarkan ketidakfokusan pemerintah dalam mendorong pemilahan sejak dari sumber. Ia juga menekankan program Pemerintah Pusat yang akan membangun proyek PLTSa di 12 kota Indonesia sangat bertentangan dengan prinsip zero waste. (kanalbali/KR14)