Pemda di Bali Justru Jadi Penghambat Penyelesaian Konflik Pertanahan

Konten Media Partner
18 September 2019 17:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi Pers Hari Tani Nasional di Kubukopi, Denpasar  (kanalbali/KR13)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Hari Tani Nasional di Kubukopi, Denpasar (kanalbali/KR13)
ADVERTISEMENT
DENPASAR, Kanalbali - Persoalan konflik pertanahan terus bergulir di berbagai daerah di Bali. Walaupun pemerintah pusat sudah mengeluarkan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang reformasi agraria yang dapat digunakan sebagai pendorong percepatan penyelesaian konflik agraria. Faktanya masih banyak konflik yang belum terjamah dan belum terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali, Ni Made Indrawati, Rabu (18/9), menyebut, justru Pemerintah Daerah (Pemda) di Bali yang juga menjadi penghambat.
"Sangat disayangkan sebenarnya, karena kan sudah ada Perpres No 86 Tahun 2018 tentang tentang reformasi agraria, namun arahan dari pemerintah pusat melalui Perpres tersebut tidak dijalankan secara maksimal oleh pemerintah daerah," tegas Made Indrawati saat ditemui setelah konferensi pers di Kubu Kopi.
Ketidakseriusan pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik agraria juga disampaikan oleh Agus Samijaya. Pendamping atau penasehat Hukum dari petani yang sering mengalami konflik lahan tersebut menyampaikan, selain ketidakseriusan, pemerintah daerah seolah ada kepentingan dibalik konflik lahan yang sering terjadi.
Made Indrawati (kanalbali/KR13)
"Kalau kita berkaca pada daerah lain misalnya, di Minahasa contohnya, Gubernur mendukung dan tidak ada kepentingan, masalah agraria disana terselesaikan. Bedanya dengan di Bali, disini Pemrov seolah olah punya kepentingan," katanya.
ADVERTISEMENT
Hal itu misalnya dalam kasus konflik tanah negara antara PT Margarana dengan petani dimana kemudian Pemprov Bali di masa Gubernur Mangku Pastika ikut masuk dengan menggugat aset PT Margarana. Akibatnya, nasib petani terkatung-katung meski PT Margarana sebetulnya sudah tidak lagi beroperasi.
Dirinya lantas berharap kepada pemerintah daerah, untuk meninggalkan kepentingan yang ada. Sehingga beberapa persoalan mengenai persoalan konflik agraria di beberapa daerah di Bali bisa segera terselesaikan. "Semoga ada niat baik dari pemerintah daerah, sehingga kita menemukan solusi untuk persoalan ini," singkatnya.
Sementara itu, konflik pun terjadi antara pihak petani dengan investor pariwisata seperti yang terjadi di dusun Selasih Desa Puhu, Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. Sumber ekonomi masyarakat penggarap kemudian terancam hilang. "Kebun-kebun pisang petani penggarap diterabas secara sepihak oleh tenaga pengaman dari investor hotel," ungkap Wayan Kariase Salah satu anggota Serikat petani selasih.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh petani penggarap seluas sekitar 25 hektar, jika dihitung kerugian materi oleh petani penggarap, adalah sebesar 300 juta rupiah dalam sekali panen," tambahnya.
Padahal status tanah itu masih disengketakan dimana pihak petani yang menggarap lahan sama sekali tidak tahu adanya perubahan kepemilikan meski mereka telah menempati tanah itu secara turun temurun. Sayangnya, Bupati Gianyar yang sempat menyampaikan undangan untuk memediasi kasus itu pada Rabu (18/9) ini ternyata tidak berada di tempat. (kanalbali/KR13)