Penanganan Radikalisasi di Indonesia Perlu Payung Hukum Khusus

Konten Media Partner
27 Agustus 2019 8:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seminar HUT KAI Bali ke -11
Pembicara Seminar (kiri-kanan) : Mustafid Amna (MUI Bali), Gede Pasek Suardika (Anggota DPD RI), Rofiqi Hasan (moderator), Marbawi A Katon (pengamat Sosial Keagamaan) dan Jimmy Usfunan (akademisi Universitas Udayana) - kanalbali/IST
zoom-in-whitePerbesar
Pembicara Seminar (kiri-kanan) : Mustafid Amna (MUI Bali), Gede Pasek Suardika (Anggota DPD RI), Rofiqi Hasan (moderator), Marbawi A Katon (pengamat Sosial Keagamaan) dan Jimmy Usfunan (akademisi Universitas Udayana) - kanalbali/IST
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali - Dari sudut pandang penegakan hukum, penanganan radikalisasi memerlukan payung hukum yang lebih jelas dan tegas sehingga kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa dapat lebih terlindungi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan itu muncul dalam diskusi ‘Mencari Payung Hukum Penanganan Radikalisasi’ serangkaian HUT Kongres Advokat Indonesia (KAI) Bali ke-11 di Hotel Inna Heritage, Denpasar, Sabtu (24/8). “Dengan batasan hukum yang lebih jelas penegak hukum tidak akan ragu-ragu lagi menindak pelanggaran yang terjadi seperti sekarang ini,” kata Ketua KAI Bali, Nyoman Sudiantara.
Dia menyebut, dengan dicabutnya UU Subversi, radikalisasi yang masih merupakan bibit radikalisme sulit diatasi. Tapi hal ini, tegas dia, jangan sampai menjadi alasan untuk memunculkan payung hukum yang memberi peluang bagi kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang.
Radikalisasi sendiri menurut pengamat sosial dan keagamaan Marbawi A Katon sebenarnya bertentangan dengan watak asli bangsa Indonesia yang terbiasa dengan keragaman dan interaksi dengan berbagai agama dan ideologi. Namun saat ini, berbagai agama, khususnya Islam mengalami proses transnasionalisme dan menyebarkan bibit-bibit eksklusifisme.
Marbawi A Katon S.Sos, Msi (ujung kanan) saat tampil dala seminar KAI di Denpasar (kanalbali/IST)
“Ini yang kemudian menimbulkan masalah dalam kehidupan kebangsaan kita,” ujarnya. Gagasan transnasionalisme umumnya menekankan eksklusifitas keagamaan dan pertentangan dengan pihak lain di luar agamanya.
ADVERTISEMENT
Anggota Gugus Tugas Nasional Revolusi Mental ini menekankan perlunya mengupayakan moderasi keagamaan di kalangan internal umat beragama sendiri seperti ditunjukkan oleh organisasi Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sementara untuk payung hukum, menurutnya yang perlu diatur adalah bagaimana ruang publik tetap menjadi ajang interaksi yang terbuka tanpa terbebani oleh anasir dan simbol agama. “Seperti di sekolah, kantor pemerintah dan tempat-tempat publik lainnya tidak boleh ada sekat-sekat berdasarkan agama, suku dan ras,” tegasnya.
DR Jimmy Usfunan SH, MH (ujung kanan) dalam seminar KAI Bali (kanalbali/IST)
Sementara itu politisi Gede Pasek Suardika menyebut, radikalisasi perlu diwaspadai sebagai modus politik yang dimainkan para elit. “Sebab cara itu yang paling mudah dan murah saat ini,” tegas Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini.
Saat duduk di komisi III DPR RI, menurutnya, sudah ada usulan dibuatnya UU tentang Wawasan Nusantara yang mewajibkan semua petinggi negara dan pejabat publik untuk memiliki kesamaan pandangan dalam masalah kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, usulan itu gagal direalisasikan sehingga radikalisasi menyebar dengan mudah di Perguruan Tinggi, Badan Usaha Milik Negara dan lembaga negara lainnya.”Semua itu ujungnya adalah untuk mencapai kekuasaan,” tegasnya.
Terkait dengan payung hukum, akademisi Universitas Udayana, Jimmy Usfunan menegaskan, perlunya menilai setiap produk hukum yang dikeluarkan agar konsisten pada 5 dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan. Sebab, UU itulah yang menjaga agar Pancasila tetap menjadi sumber dari segala sumber hukum sampai pada implementasinya di tingkat yang terbawah. (kanalbali/ADV)