Sepi Turis, Begini Nasib Perempuan Porter Alat Selam di Tulamben, Bali

Konten Media Partner
8 November 2021 13:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Potret perempuan porter alat selam di Tulamben, Karangasem, Bali sebelum masa pandemi - IST
zoom-in-whitePerbesar
Potret perempuan porter alat selam di Tulamben, Karangasem, Bali sebelum masa pandemi - IST
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kawasan wisata Tulamben, Karangasem, Bali termasuk salah-satu area wisata selam yang paling ramai di Bali dalam situasi normal. Sejak pandemi, tak satu pun turis yang datang untuk menyelami keindahan di area bawah laut itu.
ADVERTISEMENT
Para perempuan porter jasa pengangkutan barang turis dan alat selam pun sudah berbulan-bulan gigit jari. Mereka yang tergabung dalam kelompok Sekar Baruna Tulamben, Karangasem menuturkan masalahnya dalam diskusi daring yang dihelat media jurnalisme warga BaleBengong dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) pada Sabtu (6/11/2021)
Para buruh porter itu sebelum pandemi mengaku bisa menghasilkan 7-8 juta penghasilan setiap bulan dari jasanya membawa tangki selam, "Kini bahkan 5 ribu saja sangat sulit didapatkan," kata Ni Luh Kadek salah satu porter Tulamben serayan menitikkan air mata.
Keindahan alam bawah laut Tulamben - foto: Bayu Saputra
“Kerja apapun saya mau saat ini, tapi pekerjaan sudah tidak ada sekarang di sini. Saya selalu berpikir apakah bisa menyediakan makan untuk hari ini dan besok?” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Penghasilan nol, namun pengeluaran terus berjalan. Apalagi sebagai perempuan adat ia harus tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan upacara adat.
Ni Made Wirani turut menambahkan, apalagi bulan ini upacara adat di daerah Tulamben sangat padat. Sebagai serati (pembuat banten/sesajen) tingkat desa ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk ngayah (gotong royong). “ Sedangkan anak-anak sekarang mulai sekolah, tidak bisa ngasi bekel buat beli bensin motornya,” cerita Wirani.
Ketika pandemi mengguncang Tulamben, tak banyak yang bisa dilakukan warga Tulamben untuk bangkit beradaptasi. Beralih ke pertanian pun menjadi hal mustahil. Menurut Luh Kadek, karena lahan pertanian tidak ada di pesisir. “Kalaupun ada nelayan, hasil tangkapannya tidak banyak, musim angin tidak bisa melaut,” katanya.
Ada sejumlah pelatihan yang diberikan dari pemerintah untuk mempersiapkan pekerja pariwisata di Tulamben beradaptasi. Misalnya memasak dan membuat kue.
Penyelaman di malam hari - foto: Bayu Saputra
Namun, menurut I Nyoman Suastika, Kepala Dusun Tulamben merasa ada genjalan. “Kami sangat antusias menerima masukan dan pelatihan yang diberikan, tapi kami pesimis karena pasca produk baru itu selesai dibuat, lalu produk itu dipasarkan di mana?” keluh Nyoman.
ADVERTISEMENT
Ia merasa kesulitan untuk menjual hasil produksi warganya. “Mohon dibantu agar kami bisa mengakses ke dinas, kasi kami petunjuk, kami sangat membutuhkan demi keberlangsungan warga di Tulamben,” pinta Nyoman.
Menurut Nyoman, warga di Tulamben lebih baik diberikan program padat karya. Ada pekerjaan yang dilakukan dan ada dana yang bisa dikelola sebagai upah.
“Ketimbang kami diberikan bantuan Rp 300 ribu tapi tidak ada hal yang kami kerjakan, seminggu saja sudah habis. Mending dikasi program dan upahnya ada lalu dikelola,” harap Nyoman.
Ia bercermin pada program padat karya yang diadakan KKP, melalui program rehabiliatsi terumbu karang ICRG di beberapa tempat di Bali. Secara kemampuan warganya sudah ada. Misalnya seperti program penanaman karang.
ADVERTISEMENT
Jika program semacam itu ada di Tulamben, selain bisa menghidupkan kembali roda akivitas masyarakat, program itu juga bisa memperbaiki karang dan lingkungan pantainya. Sayangnya, hingga 200 warganya yang memiliki kemampuan menyelam ikut ICRG di kabupaten lain, program berkelanjutan itu tak juga menjumpai Tulamben.
Sementara A.A. Istri Vera Laksmi Dewi, Kepala Bidang Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Dinas Pariwisata menyatakan, dinasnya sudah mempersiapkan pekerja melalui pelatihan. Begitu juga untuk pekerja nonformal. Ada pelatihan dan bantuan.
“Tapi kami memang kesulitan untuk mendata para pekerja yang tidak terorganisir ini. Sehingga masih banyak yang belum terjangkau dan terakses fasilitas,” ungkap Vera. (kanalbali/RFH)