'Sexy Killers' yang Menerangi Sambil Meracuni

Konten Media Partner
7 April 2019 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kisah tentang dilema Pembangkit Listrik Batubara
Pembangkit Listrik Celukan Bawang di Buleleng (dok.Kumparan)
DENPASAR, kanalbali.com - Judulnya menarik dan provokatif : Sexy Killers. Tapi ini bukan semacam film tentang pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang gadis nan cantik dan menggoda. Ini adalah kisah tentang energi listrik yang dihasilkan dari batubara dan dampaknya pada orang-sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Film dokumenter ke-12 dari tim Ekspedisi Indonesia Biru dan rumah produksi Watchdoc itu diputar di sejumlah kota dan di Denpasar salah-satunya, Sabtu (6/4) . Tepatnya, di Gedung Parkir Universitas Udayana yang lumayan temaram.
Bali menjadi istimewa di film ini karena menjadi salah-satu sorotan, bagaimana industri listrik dengan tenaga batubara membangun jaringannya, tepatnya di kawasan Bali Utara. Perlawanan masyarakat pun dihadirkan meskipun sampai saat ini masih mentok karena pihak pengusaha justru sudah mengantongi izin untuk pembangunan tahap kedua.
"Film ini menarik karena pesannya aktual. Setiap orang mengkonsumsi listrik sementara mereka sama sekali tak mengetahui mata rantai pasokan itu sampai di lampu rumah kita," kata Aam Wijaya, dari Greenpeace Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam mata rantai itu ada proses pencemaran lingkungan yang membahayakan banyak orang . Khususnya, kata Aam, adanya limbah batu bara yang disebut Faba merupakan hal yang paling berbahaya dari semoga proses produksi PLTU.
"Dia menyebarkan partikel yang berbahaya berupa B3, dia juga meninggalkan sisa dipabrik", tandasnya. Film pun menyinggung kegiatan bisnis dibalik saham besar perusahaan PLTU beserta orang-orang yang duduk sebagai petinggi di Negeri ini.
Menanggapi dilema itu, aktivis energi terbarukan, Gung Kayon mengakui, PLTU dengan batubara adalah cara yang paling mudah dan murah untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia, khususnya Bali yang mencapai lebih dari 900 Megawatt.
Ironinya, kata Kayon, hal itu karena dampak sosial budaya dan ekonomi yang ditimbulkan dari kerugian akan adanya PLTU Batu Bara tidak ditanggung oleh PLN, pemerintah, atau perusaha swasta. "Jika sakit kanker karena debu dari PLTU, masyarakat berobat pakai uang sendiri. Ini yang dimaksud murah", katanya.
ADVERTISEMENT
Namun dilema itu harus diakhiri karena kebutuhan akan listrik pasti akan meningkat bahkan hingga 5 kali lipat pada 2020 nanti. Di sisi lain, kerusakan lingkungan dan ancaman bagi warga juga harus ditekan. "Harus difikirkan solusi lainya bersama-sama. Seperti mengguankan energi terbarukan yang ada. Layaknya energi matahari, air dan angin", tutup Kayon. (kanalbali/LSU)