Konten dari Pengguna

Peristiwa Raja Ampat : Paradigma Baru Kesetaraan Hak Asasi

Dykasakti Azhar Nytotama
Researcher Kamufisa Green Intiative- Postgraduate student at Galuh University, Constitutional Law Program, - A young Muhammadiyah cadre.
10 Juni 2025 12:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Dykasakti Azhar Nytotama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://www.shutterstock.com/id/search/raja-ampat-islands.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://www.shutterstock.com/id/search/raja-ampat-islands.
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau indah yang menghiasi brosur pariwisata. Ia adalah rumah bagi ekosistem laut terkaya di dunia, tempat hidup masyarakat adat yang menggantungkan nasib pada laut, hutan, dan tanah. Namun hari ini, surga biodiversitas itu menghadapi ancaman serius: pertambangan nikel yang membuka luka ekologis baru di kawasan konservasi.
ADVERTISEMENT
Dari laporan Greenpeace dan liputan berbagai media, lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat untuk membuka akses tambang di tiga pulau: Gag, Kawe, dan Manuran. Dampaknya, tanah hasil pengerukan melimpas ke laut, menyebabkan sedimentasi yang merusak terumbu karang. Padahal, terumbu karang bukan hanya aset ekowisata, tapi juga habitat penting bagi biota laut serta penjaga keseimbangan alam.
Namun persoalan ini bukan hanya soal lemahnya pengawasan di lapangan. Ini bukan semata soal teknis. Ia menyentuh akar dari kerapuhan sistem hukum lingkungan kita.
Celah Hukum yang Melegalkan Perusakan
Kita punya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini sesungguhnya memuat prinsip-prinsip mulia: kehati-hatian (precautionary principle), pencegahan pencemaran, hingga keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan lingkungan. Tapi, realitasnya tak semulus teorinya. Di kawasan-kawasan bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat, daya cegah hukum ini sering tak berfungsi. Mengapa?
ADVERTISEMENT
Salah satunya karena proses perizinan masih berbasis pendekatan administratif, bukan ekologis. Perusahaan bisa mengantongi izin tambang hanya dengan kelengkapan dokumen, meskipun kawasan yang akan dieksplorasi adalah ekosistem sensitif yang seharusnya tak tersentuh.
Tak kalah penting, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (dan peraturan turunannya) justru membuka jalan bagi eksploitasi. Melalui mekanisme "pelepasan kawasan hutan", status hutan lindung bisa diubah untuk kepentingan investasi, termasuk pertambangan. Inilah ironi yang selama ini luput dari perhatian publik: hutan bisa kehilangan statusnya hanya karena lembaran izin.
Konstitusi, Agama, dan Keadilan yang Dilanggar
Padahal, Konstitusi kita jelas berbicara soal tanggung jawab negara terhadap sumber daya alam. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
ADVERTISEMENT
Namun praktiknya, kemakmuran ini acap kali hanya dirasakan oleh investor, bukan masyarakat lokal. Bukan warga pesisir Raja Ampat yang tanahnya tergusur. Bukan nelayan yang lautnya tercemar limbah tambang. Negara tampak absen, bahkan ketika bencana ekologis mengintai.
Dalam Islam, tanggung jawab negara terhadap sumber daya alam disebut sebagai bagian dari masalih ‘ammah—kepentingan publik. Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya Syarah UUD 1945 Perspektif Islam menyatakan bahwa negara adalah penjaga sumber-sumber kehidupan. Dalam hadis Ibn Umar, pemegang kuasa negara seharusnya menjadi “payung Allah di muka bumi”—tempat rakyat yang teraniaya berlindung. Sayangnya, dalam isu lingkungan, negara sering kali tak hadir sebagai pelindung, tapi justru sebagai pemberi izin eksploitasi.
Krisis yang Lebih Dalam: Cara Pandang terhadap Alam
ADVERTISEMENT
Dalam disertasinya, Dadang Syaripudin menyebutkan bahwa krisis lingkungan yang kita hadapi hari ini bukan hanya hasil dari eksploitasi, tapi juga akibat dari cara pandang manusia terhadap alam. Alam dianggap objek, semata-mata untuk dimanfaatkan. Ini adalah warisan cara pandang antroposentrik yang menempatkan manusia di atas segalanya, tanpa mengindahkan hak-hak lingkungan itu sendiri.
Padahal dalam Islam dan berbagai filsafat keadilan ekologis, alam dipandang sebagai makhluk Tuhan yang juga punya hak. Ada relasi simetris antara manusia dan alam: keduanya saling memengaruhi dan bergantung. Ketika manusia melukai alam, manusia pula yang akan menerima dampaknya—entah hari ini, atau di masa depan.
Saatnya Revisi Regulasi: Dari Substansi hingga Filsafat Hukum
Sudah waktunya kita bicara lebih dalam. Masalah hukum lingkungan kita tidak cukup diselesaikan dengan penambahan pengawasan atau sanksi semata. Kita butuh revisi menyeluruh terhadap regulasi, mulai dari UUPPLH, UU Kehutanan, hingga aturan teknis turunannya.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal yang perlu dibenahi:
1. Larangan tegas eksploitasi di kawasan berstatus konservasi atau bernilai ekologis tinggi, termasuk kawasan adat dan geopark.
2. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan adat dalam proses perizinan, bukan hanya formalitas konsultasi publik.
3. Pengakuan hak-hak ekologis lingkungan—bahwa alam bukan sekadar sumber daya, tapi juga entitas yang perlu dilindungi.
4. Perluasan tafsir keadilan dalam hukum lingkungan, dari yang bersifat manusia-sentris menuju relasi timbal balik manusia-alam.
Penutup: Alam Tidak Bersuara, Tetapi Tidak Pernah Bohong
Kita hidup di era krisis lingkungan yang tak bisa disangkal. Dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga degradasi pesisir, semuanya berbicara dalam bahasa yang sama: bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara kita memperlakukan bumi ini.
ADVERTISEMENT
Kasus Raja Ampat adalah peringatan keras bahwa tanpa reformasi hukum yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan ekologis, kekayaan alam kita hanya akan jadi kenangan. Alam memang tak bisa menggugat ke pengadilan. Tapi ia akan tetap “bicara” dalam bentuk bencana yang pelan-pelan merenggut hak hidup kita semua.