Dari Ranjang Ke Meja Hijau, Prahara Ranjang Memicu Perceraian

Kanz El Ibrahim
saya adalah seorang mahasiswa fakultas syariah dan hukum jurusan hukum keluarga di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2021 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kanz El Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi perceraian sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi perceraian sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Maraknya Perceraian
Dilansir oleh Komnas Perempuan tanggal 5 Maret 2021, menyatakan bahwa faktor terjadinya perceraian sangat didominasi oleh perselisihan dua pihak, yakni antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Konteks perselisihan di sini bisa memiliki banyak makna, mulai dari perkara perbedaan pandangan hidup sampai kepada perkara kurangnya uang dapur. Bahkan terkadang perkara sepele pun dapat memicu terjadinya perceraian.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2013, Kepala Bagian Humas Pengadilan Agama (PA) Sleman, Marwoto menyampaikan mengenai kasus perceraian yang dipicu oleh faktor aktivitas di atas ranjang. Dia berujar bahwa dia tidak menemukan kasus perceraian akibat vitalitas suami yang menurun. Namun pada 2014 terjadi tiga kasus. Sementara pada 2015, perceraian akibat perkara tersebut jumlahnya meningkat, yakni di atas lima, tetapi masih di bawah sepuluh kasus. Dengan adanya indikasi motif perceraian yang diungkap oleh Humas Pengadilan Agama (PA) Sleman, mengenai vitalitas suami walaupun jumlahnya terbilang sedikit. Sebuah prahara di atas ranjang bisa menjadi sebuah alasan mendasar yang tak diungkap di meja pengadilan dari sebuah perselisihan di antara pasutri baik yang baru ataupun yang sudah lama berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan fakta berdasarkan lingkungan kita, dapat diketahui bahwasanya pasangan baik pria maupun wanita akan menutupi motif utama mereka mengajukan perceraian di Pengadilan. Pihak laki-laki cenderung akan digugat dengan alasan perselingkuhan dan poligami, sedangkan pihak perempuan akan digugat dengan alasan perselisihan di antara dua pihak, yang padahal motif sesungguhnya adalah kurangnya vitalitas salah satu dari pasutri, bahkan bisa jadi bukan sebatas kurangnya vitalitas melainkan karena gejala kelainan seksual yang diidap oleh salah satu dari pasangan.
Perceraian Dalam Kacamata Islam
Perceraian merupakan suatu perkara yang halal tetapi sangat tidak disukai oleh Allah. Penggabungan antara dua belah insan dalam ikatan pernikahan tak hanya sekadar bergabungnya dua orang manusia, melainkan juga sebagai proses bersatunya dua karakter yang memiliki banyak perbedaan. Perselisihan dalam rumah tangga mungkin saja atau bahkan pasti terjadi, bahkan tak jarang dari perselisihan itu berujung pada perceraian. Oleh karena itu, Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa mengenai regulasi perceraian. Tentang apa saja yang boleh dan bisa dijadikan landasan yang kuat untuk mengajukan perceraian.
ADVERTISEMENT
Jika perselisihan dalam sebuah rumah tangga sudah tak lagi dapat diatasi, atau bahkan mungkin telah mencapai titik di mana jika tidak bercerai maka akan mendatangkan kerugian kepada kedua belah pihak, maka perceraian bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan masalah. Meskipun sebenarnya dalam agama islam pun tidak dianjurkan jika masalah tersebut masih bisa selesaikan lewat jalur damai. Namun jika tidak, maka mau tak mau perceraian bisa dilakukan.
Dalam perceraian pun terdapat rukun yang menjadi syarat utama apakah perceraian sepasang suami istri dapat diterima secara esensi agama.
Rukun perceraian untuk suami dan istri
Perceraian hanya akan sah apabila perceraian dilakukan oleh seorang suami yang berakal sehat, baligh dan dilakukan dengan kemauan sendiri. Dengan begitu, apabila perceraian dilakukan karena ada paksaan dari pihak lain, misalnya ada paksaan dari orang tua ataupun keluarganya, perceraian pun menjadi tidak sah.
ADVERTISEMENT
Bagi seorang istri, perceraian baru akan sah jika akad nikahnya dengan suami sudah dianggap sah dan istri belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.
Berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibnu Abbas bahwasanya wanita tidak boleh dikembalikan ke walinya kecuali disebabkan karena beberapa aib seperti: gila, lepra, kusta, dan cacat pada kemaluannya. Kemudian perkara ini pun diperjelas kembali oleh para ulama yang menarik hukum. Sebagaimana yang tertera pada Fathul Qarib karangan Syaikh Ibnul Qasim Al Ghazi pada pembahasan tentang pernikahan. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa seorang perempuan atau laki-laki boleh dipulangkan karena sebab-sebab tertentu.
Seorang perempuan boleh dikembalikan ke walinya jika perempuan tersebut gila, kusta, lepra, dan memiliki penyakit kelamin. Sedangkan Seorang laki-laki boleh digugat oleh istrinya jika laki-laki tersebut gila, kusta, lepra,terpotong kepala kemaluannya, dan impoten.
ADVERTISEMENT
Setelah jelas dalil yang tertera di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwasanya seseorang boleh menggugat cerai pasangannya dengan alasan-alasan tertentu. Jelas yang menjadi alasan untuk bercerai menurut kitab tersebut adalah adanya aib pada pasangan tersebut, jika dikaitkan dengan perkara urusan ranjang,tentu saja alasan tersebut merujuk kepada permasalahan secara lahiriah. Lalu jika yang dikaitkan dengan perkara urusan ranjang ini adalah kemungkinan seseorang mengidap kelainan seksual, itu berada diluar cakupan dalil berdasarkan yang termaktub dalam kitab tersebut. Jika memang diperbolehkan untuk bercerai, yang dapat dijadikan alasan kuat dari perceraian tersebut adalah untuk menghindari atau meminimalkan kemudaratan yang akan didapat oleh seseorang yang pasangannya mengidap kelainan seksual tersebut.
Editor : Kanz Luzman Ibrahim
ADVERTISEMENT
Publisher :Kanz Luzman Ibrahim
Website : https://about.me/kanzibrahim