Pendidikan Yang Fleksibel dan Kontekstual di Era Pandemi

Karina Adistiana (Anyi)
Psikolog Pendidikan, inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Jaringan Pendidikan Alternatif
Konten dari Pengguna
2 Mei 2020 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Adistiana (Anyi) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fasilitasi pembelajaran jarak jauh
ADVERTISEMENT
Covid-19 mempengaruhi pendidikan hampir semua anak Indonesia. Ketika pertama kali Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) digaungkan, muncul gurauan sekarang semua menjalani homeschooling atau model pendidikan alternatif lain. Persepsi bahwa pelajar di model pendidikan alternatif tidak terpengaruh masifnya penyebaran virus ini keliru. Pegiat pendidikan alternatif juga harus beradaptasi. Dunia pendidikan secara umum mengalami kegamangan dalam menghadapi efek dari virus ini. Bentuk kegamangan ini terlihat dari berbagai keraguan untuk mengambil keputusan dan pembuatan kebijakan pendidikan. Banyak pendidik bingung karena alih-alih mengadaptasi metode agar sesuai dengan pembelajaran jarak jauh, pengambil kebijakan hanya memindahkan cara mengajar ke depan gawai. Kalau ada yang harus segera ditiru oleh sistem pendidikan nasional dari berbagai model pendidikan alternatif di Indonesia, maka fleksibilitas dan kontekstual adalah dua kata kunci.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang psikologi, fleksibilitas dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental di era pandemi ini. Menerima bahwa ada banyak perubahan dapat membantu individu lebih nyaman secara psikologis. Namun demikian, individu juga perlu untuk diajak melihat bahwa walaupun ada banyak kondisi yang tidak dapat dikendalikannya, ia tetap dapat memegang kendali akan sebagian besar hal. Untuk anak, hal ini tidak selalu mudah. Terlebih anak tinggal bersama orangtua yang juga harus beradaptasi dengan pola kerja dari rumah yang ternyata justru menuntut lebih banyak waktu. Pemindahan proses belajar-mengajar dari sekolah ke rumah tanpa adaptasi materi kurikulum bukanlah solusi yang tepat. Hal ini mendorong banyak masalah, fisik maupun psikologis. Berbagai keluhan seperti sakit punggung dan mata lelah akibat terlalu lama duduk menghadap gawai mulai terdengar. Belum lagi keluhan fisik yang sebenarnya merupakan dampak stress. Orangtua bingung mendampingi anak, beban finansial untuk membeli kuota internet bertambah, konflik akibat pembagian gawai yang terbatas untuk keperluan satu rumah juga terjadi. Ini di perkotaan. Masih banyak daerah susah sinyal, atau kelompok ekonomi yang tak memungkinkan membeli gawai apalagi kuota bulanan untuk pembelajaran jarak jauh.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas apa yang dapat membantu kesejahteraan psikologis dan bagaimana mewujudkannya? Salah satu syarat utamanya adalah memunculkan kesadaran terlebih dahulu bahwa ini adalah situasi yang tidak biasa dan karenanya tujuan dan proses pendidikan harus berubah. Kita tak lagi bisa berharap semua standar kompetensi yang ada di kurikulum tercapai. Para ahli tak ada yang bisa meramalkan dengan pasti kapan situasi ini berakhir. Maka penting untuk sesegera mungkin melakukan adaptasi. Kurikulum tetap penting, ini menyangkut alur pendidikan dan memberi rasa aman pada anak bahwa di tengah semua ketidakpastian ini, masih ada aspek kehidupannya yang akan berjalan, yaitu pendidikan. Namun penyederhanaan teramat dibutuhkan. Di sinilah peran MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dapat dioptimalkan untuk mengurai Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam bidag pelajaran, serta menerjemahkan materi dalam konteks kehidupan sehari-hari. Penguatan konteks ini menjadi sangat penting, terutama untuk menyingkat waktu anak berhadapan dengan layar gawai.
ADVERTISEMENT
Di era pandemi ini kita melihat ketergantungan besar pada pemerintah pusat. Semua orang menunggu – atau bahkan menekan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengeluarkan kebijakan radikal dalam mengatasi beragam kesulitan di era pandemi ini. Padahal, inilah saatnya kepemimpinan lokal muncul. Kepala daerah, kepala dinas, bahkan kepala sekolah harus lebih berani mengambil keputusan yang menunjang adaptasi pendidikan di era pandemi ini. Para pemimpin daerah hendaknya memberi lebih banyak keleluasaan untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan melihat serta mengintegrasikan kebutuhan daerah dalam pendidikan. Pendidikan yang kontekstual adalah konsep yang biasa dijalankan oleh para pegiat pendidikan alternatif. Materi dan metode banyak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, mereka ini bisa menjadi sumber informasi untuk pengembangan kebijakan. Kepala dinas dan kepala sekolah hendaknya juga memberi keleluasaan dalam aturan. Kewajiban yang sifatnya gimmick atau aksesoris belaka, seperti foto dan absen setiap pagi untuk guru dan murid menggunakan seragam ataupun pengumpulan video individu sebagai bentuk tugas perlu dievaluasi. Ini adalah kesia-siaan yang bahkan merugikan karena gawai menjadi penuh oleh foto dan video yang tak jelas gunanya itu. Sebaliknya, penekanan pada inklusivitas yang mempertimbangkan karakter semua peserta didik di sekolah perlu ditingkatkan. Kepemimpinan lokal inilah yang akan membantu mengatasi banyak tantangan sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada, termasuk guru honorer yang saat ini juga terdampak.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang baik akan menghasilkan “aktivis”, individu yang tidak hanya peduli pada dirinya tapi juga mau menjadi bagian dalam upaya pencarian solusi terhadap masalah-masalah di lingkungannya. Maka materi kontekstual ini menyangkut dua hal penting: keterampilan hidup (life skills) dan literasi. Salah satu keluhan anak-anak di era pandemi ini adalah soal tersitanya waktu mereka untuk tugas sekolah, yang kebanyakan materinya tidak nyambung dengan kegiatan sehari-hari. Contoh nyata yang saya dapat adalah guru yang meminta anak membuat video praktek berenang untuk pelajaran olahraga, tapi karena tidak ada kolam renang, maka anak melakukannya di atas kasur. Masa di rumah saja ini harusnya justru dimanfaatkan untuk mendorong anak lebih melek terhadap aneka keterampilan yang benar-benar dibutuhkannya. Materi hendaknya melibatkan anak dalam tugas rumah, mendorong anak untuk mengenal pekerjaan orangtua dan warga di daerahnya. Anak juga perlu mengenal kebutuhan keluarga, masyarakat dan negaranya. Misalnya, terkait ramalan krisis pangan, anak belajar tentang kedaulatan pangan, mengenali dan mengolah potensi pangan lokal, hingga menumbuhkan sendiri makanannya. Masa pandemi ini juga bisa dilihat sebagai kesempatan melakukan intervensi nyata terhadap hasil tes-tes seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS yang selalu diramaikan setiap tahun karena Indonesia seringkali berada di kelompok bawah untuk urusan literasi. Tentu intervensi yang dilakukan hendaknya bukan sekadar menyangkut baca tulis karena kalau begini alternatif program yang muncul hanya meminta anak membaca buku dengan jumlah tertentu. Literasi yang digarap hendaknya juga menyangkut keenam literasi dasar yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewargaan.
ADVERTISEMENT
Guru dan orangtua memegang peran penting dalam pendidikan di era pandemi ini, khususnya dalam menjaga kesejahteraan psikologis anak. Koordinasi dan komunikasi yang baik akan membantu belajar anak lebih optimal. Kedua belah pihak hendaknya menyadari bahwa peran mereka kini turut berubah. Selain sebagai fasilitator belajar, juga sebagai penjaga harapan anak. Melalui koordinasi yang baik, anak akan mendapatkan gambaran bahwa terlepas dari semua perubahan yang dialaminya, terlepas dari semua kondisi yang tidak bisa dikendalikannya, masih ada keteraturan dan suasana belajar yang kondusif untuk mendorongnya mempelajari banyak hal. Jangan lagi berorientasi pada ujian dan KKM, toh penilaian guru berdasar low-stakes testing dan portofolio hasil kerja anak telah diakui sebagai cara yang baik untuk mengevaluasi murid. Justru inilah saatnya kompetensi guru diuji untuk mengenali kelebihan dan kebutuhan setiap murid serta mengkomunikasikannya dengan orangtua untuk membuat intervensi nyata, karena inilah makna pendidikan yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah seorang Psikolog Pendidikan, anggota Presidium Jaringan Pendidikan Alternatif(JPA), dan Wakil Ketua Yayasan Peduli Musik Anak Indonesia.