Tim Thomas Indonesia 'Melawan' Tragedi 1998: Sebagian Ingin Pulang

17 Mei 2018 16:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kemenangan Hendrawan di Thomas Cup (Foto: AFP/GOH Chai Hin)
zoom-in-whitePerbesar
Kemenangan Hendrawan di Thomas Cup (Foto: AFP/GOH Chai Hin)
ADVERTISEMENT
Piala Thomas dan Uber 1998 akan selalu menjadi bagian dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Pasalnya, di tengah karut-marut kondisi Jakarta pada Mei 1998, Tim Thomas Indonesia muncul sebagai pahlawan yang menyelamatkan martabat bangsa di mata dunia.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, tim Thomas Indonesia bisa mempertahankan gelar juara hanya bermodalkan api semangat yang tak pernah padam dikobarkan. Ya, semangat tim itulah yang begitu dibanggakan Ricky Soebagdja, ganda putra yang ikut menyumbang poin saat itu.
Untuk mereka yang mengalaminya langsung, Mei 1998 masih segar dalam ingatan. Gentingnya situasi menyusul kerusuhan yang terjadi pada 13-14 Mei 1998 adalah momen-momen yang bisa dibilang cukup bikin ngeri. Kerusuhan itu sendiri pecah tepat sehari sebelum turnamen Piala Thomas dan Uber dibuka pada 15 Mei 1998 di Hong Kong.
Kerusuhan Mei 1998 tak dimungkiri menyasar etnis Tionghoa sebagai korbannya, yang juga menjadi etnis mayoritas sekaligus kekuatan terbesar dalam skuat bulu tangkis Tanah Air. Selama kerusuhan rasial itu, tak terhitung berapa banyak toko, rumah, bangunan milik etnis Tionghoa yang dirusak dan dijarah. Saat itu, nasionalisme pun seakan ikut 'terbunuh'.
ADVERTISEMENT
Namun, pada saat itulah, gelar yang diraih pada final Piala Thomas, Minggu 24 Mei 1998, menjadi jejak bahwa nasionalisme masih dijunjung tinggi oleh skuat bulu tangkis Indonesia dengan segala perjuangan melawan ketakutan pribadi di Hong Kong.
Pada Senin, 25 Mei 1998, berbagai surat kabar pun menulis berita tentang kemenangan tersebut, tak terkecuali koran Kompas dengan judul penuh haru: "Republik Indonesia Masih Ada".
"Peristiwa yang luar biasa, bagaimana kondisi di Indonesia begitu mencekam. Dan, kami Tim Thomas dan Uber sedang berjuang juga untuk bisa bertanding. Pastinya kami prihatin, dan begitu ada kejadian, kami harus berjuang, sementara di waktu yang bersamaan Indonesia sedang genting. Ini bukan hal mudah bagi kami untuk terus bertahan, fokus, dan konsentrasi," ujar Ricky mengawali perbincangan dengan kumparanSPORT, Kamis (17/5/2018).
ADVERTISEMENT
Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky (Foto: AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
zoom-in-whitePerbesar
Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky (Foto: AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
"Dan di sana (Hong Kong) juga hampir semua saluran televisi memberitakan kondisi Indonesia. Saat itu Manajer Tim (Almarhum) Agus Wirahadikusumah mengumpulkan tim, memberitahu supaya kami tetap konsentrasi. Keluarga dan segala macam lainnya di Indonesia serahkan kepada pengurus. Para pemain hanya diminta fokus bertanding," ucapnya mencoba kembali menyelami kenangan akan tragedi itu.
Di final melawan Malaysia, Ricky bersama Rexy Mainaky menjadi ganda putra yang tampil kedua sekaligus menyelamatkan poin Indonesia. Sebelumnya, sebagai tunggal pertama, Hariyanto Arbi kalah. Lalu, kemenangan Hendrawan dan Candra Wijaya/Sigit Budiarto mampu memastikan gelar bisa dipertahankan Indonesia. Sayangnya, Piala Uber sendiri terlepas dari Indonesia di final satu hari sebelumnya, yakni pada 23 Mei 1998.
Ricky kembali menggulirkan cerita bagaimana perjuangan setiap pemain, khususnya mereka yang berlatar belakang Tionghoa seperti Haryanto Arbi, Hendrawan, Candra dan Indra Wijaya, Tony Gunawan, hingga Susy Susanti dan Mia Audina.
ADVERTISEMENT
Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky (Foto: AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
zoom-in-whitePerbesar
Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky (Foto: AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
"Tidak mudah, tapi kami coba karena ada satu misi yakni bagaimana Tim Thomas dan Uber mempertahankan gelar. Memang ada sebagian yang begitu ingin pulang karena khawatir kondisi keluarganya di Indonesia. Tapi, setelah dikumpulkan dan di-briefing, tetap diminta untuk fokus bermain," kata Ricky.
"Kenyataannya hampir semua tidak fokus. Tapi ini 'kan pertandingan tim, tak ada lagi istilah pribumi atau bukan. Kami di sana semua termasuk saya, ikut merasakan kengerian itu. Yang perlu diapresiasi, Tim Thomas masih bisa berjuang hingga juara. Semua pasti ingin pulang, dan saya salut kepada teman-teman yang lain. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian Tim Thomas 1998," tegasnya.
Hingga akhirnya, saat kembali ke Tanah Air dengan fakta bahwa presiden telah berganti, bulu tangkis Indonesia masih memiliki akar yang sama. Pemain Tionghoa maupun pemain pribumi tak berubah; tetap beralaskan satu nama: Indonesia. Kini, Ricky sendiri ikut menemani perjalanan Tim Thomas dan Uber Indonesia untuk mengikuti turnamen pada 20-27 Mei 2018 di Impact Arena, Bangkok, Thailand.
ADVERTISEMENT
Dan, sudah 20 tahun berlalu sejak Piala Thomas 1998, Ricky menyebut semangat bulu tangkis Indonesia masih sama: merebut juara. Saat ini, selain latihan keras dan ambisi untuk membawa pulang gelar, dukungan dan doa dari seluruh bangsa Indonesia tentu bisa menjadi amunisi tambahan bagi para atlet.
Tim Thomas dan Uber Indonesia (Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Tim Thomas dan Uber Indonesia (Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari)
Kini nama-nama seperti Ricky Soebagja, Hendrawan, dan Susy Susanti berganti kepada Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, Firman Abdul Kholik, Marcus Fernaldi Gideon, Kevin Sanjaya Sukamuljo, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, Fajar Alfian, Muhammad Rian Ardianto, Fitriani, Gregoria Mariska Tunjung, Ruselli Hartawan, Dinar Dyah Ayustine, Greysia Polii, Apriyani Rahayu, Della Destiara Haris, Rizki Amelia Pradipta, Ni Ketut Mahadewi Istarani, dan Nitya Krishinda Maheswari.
ADVERTISEMENT
Ya, ke-20 nama itu yang nantinya akan berjibaku sekuat tenaga untuk membawa pulang Piala Thomas dan Uber ke pangkuan Ibu Pertiwi. Semoga.