Mengenal Ciri-ciri Toxic Productivity, Obsesi untuk Terus Produktif

Konten Media Partner
5 Agustus 2020 9:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bekerja dari rumah | Foto: Pexels/ Anna Shvets
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bekerja dari rumah | Foto: Pexels/ Anna Shvets
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi COVID-19, sebagian orang merasa dituntut untuk selalu produktif selama di rumah saja. Adanya waktu luang dibanding biasanya membuat kita merasa harus selalu untuk mencoba berbagai hal baru, mulai dari belajar memasak, berkebun, hingga mengikuti webinar.
ADVERTISEMENT
Apabila kita mampu menjadi produktif, tentu itu hal yang baik. Karena bagi sebagian orang, produktif menjadi sebuah coping mechanism terbaik untuk bertahan melewati situasi yang tidak pasti ini. Namun tak jarang, keinginan untuk menjadi terlalu produktif bisa menjadi tidak baik, atau disebut dengan toxic productivity.
Menurut Dr. Julie Smith, seorang psikolog, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Lantas, darimana datangnya tekanan toxic productivity ini?
Salah satu sumber tekanan harus menjadi produktif datang dari media sosial. Kita seakan-akan berkompetisi dengan orang lain untuk membagikan kegiatan atau hal baru yang dikerjakan. Tanpa sadar, kita akhirnya mengukur kelayakan diri berdasarkan produktivitas.
ADVERTISEMENT
Berikut ini 3 tanda dari toxic productivity yang mungkin sedang kita alami:
Ilustrasi stres bekerja | Foto: Pexels/Andrea Piacquadio
Berdedikasi pada pekerjaan tentu adalah hal yang positif, namun jika kita bekerja terlalu keras hingga mengabaikan kebutuhan utama sebagai manusia seperti makan, minum, tidur, atau bahkan mandi, maka ini bisa jadi toxic productivity.
Tidak hanya itu, kita juga cenderung mengabaikan hubungan dengan orang-orang di sekitar, seperti keluarga, sahabat, ataupun pasangan. Mereka akan mengeluh bahwa kita terlalu sibuk dan tidak pernah menghabiskan waktu berkualitas bersama.
Ilustrasi bekerja | Foto: Pexels/Andrea Piacquadio
Perubahan drastis yang terjadi akibat pandemi ini bisa berdampak cukup kuat terhadap kesehatan mental seseorang. Namun, tak sedikit orang-orang yang berharap bahwa tingkat produktivitas mereka akan sama seperti sebelum pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, muncul ekspektasi yang tidak realistis bahwa kita tetap harus bisa produktif. Hal ini dapat menyebabkan situasi menjadi lebih buruk dan melelahkan.
Ilustrasi tidur | Foto: Pexels/Andrea Piacquadio
Ada perasaan bersalah yang muncul ketika kita memutuskan untuk beristirahat setelah seharian penuh bekerja atau berkegiatan. Kita merasa gelisah dan hampa jika berlama-lama beristirahat, karena kita menganggap hal ini tidak produktif.
Kita merasa tidak berguna saat kita tidak melakukan atau mengerjakan sesuatu. Tidak hanya itu, kita juga cenderung membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang dirasa lebih produktif.
Jika kita merasa mengalami toxic productivity, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Sadari bahwa kita sebagai manusia tentu membutuhkan istirahat setelah beraktivitas. Buatlah capaian yang realistis di tengah pandemi ini dan cobalah untuk meluangkan waktu dengan melakukan hal-hal yang membuat kita merasa senang.
ADVERTISEMENT
Respon setiap individu tentu berbeda ketika dihadapkan pada sebuah situasi seperti di tengah pandemi ini. Maka, tidak ada faedahnya untuk membanding-bandingkan progress diri sendiri dengan orang lain.
Ingat, produktivitas bukanlah perlombaan untuk melihat siapa yang menang dan siapa yang paling hebat. Menjadi produktif adalah cara untuk mengenali diri, mengembangkan kemampuan yang ada dan menemukan makna dari kegiatan yang dilakukan.
#terusberkarya
Karja, we share creative and up to date content (entrepreneurship, inspiration, and social issues) for Indonesia’s millennials. Support and follow us on kumparan (click here) and Instagram (click here).